Usai Amblas 1% Dipicu Timur Tengah, Harga Minyak Mulai Stabil

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
18 June 2019 09:50
Usai Amblas 1% Dipicu Timur Tengah, Harga Minyak Mulai Stabil
Jakarta, CNBC Indonesia - Pergerakan harga minyak masih cenderung terbatas setelah amblas lebih dari 1%. Risiko perlambatan permintaan minyak global masih menjadi sentimen utama yang membebani harga minyak.

Namun ancaman gangguan distribusi akibat konflik Timur Tengah, serta rencana Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) untuk melanjutkan pemangkasan produksi di semester II-2019 dapat membatasi pelemahan harga.

Pada perdagangan hari Selasa (18/6/2019) pukul 09:00 WIB, harga minyak Brent kontrak pengiriman Agustus naik tipis 0,02% ke level US$ 60,95/barel. Sementara harga light sweet (WTI) terkoreksi terbatas 0,04% menjadi US$ 51,91/barel. Sehari sebelumnya (17/6/2019), Brent dan WTI ditutup melemah masing-masing sebesar 1,73% dan 1,1%.



Pekan lalu, produksi barang-barang industrial China bulan Mei diumumkan hanya tumbuh sebesar 0,5% YoY (year on year). Selain lebih rendah dibanding ekspektasi analis sebesar 5,4% YoY, angka pertumbuhan tersebut juga merupakan yang paling lambat dalam 17 tahun terakhir.

Dampak dari perang dagang AS-China yang sudah berkecamuk sejak tahun 2018 masih terus mempengaruhi gairah ekonomi Negeri Tirai Bambu.


Apalagi saat ini risiko eskalasi perang dagang keduanya masih cukup tinggi.

Jumat (14/6/2019) pekan lalu, Presiden AS, Donald Trump sebenarnya sudah memberi sinyal ingin bertemu dengan Presiden XI Jinping demi melanjutkan dialog dagang. Trump mengatakan bahwa dirinya 'tidak ada masalah' bila Xi Jinping menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Osaka pada 28-29 Juni mendatang.

"Kita akan lihat. Nantinya mereka [China] akan membuat kesepakatan," pungkas Trump dalam sebuah wawancara dengan Fox News.

Akan tetapi hingga hari ini, pihak China masih belum mengonfirmasi rencana pertemuan Trump-Jinping di sela-sela KTT G20.

Bila sampai tidak ada perkembangan yang positif terkait perang dagang, AS sudah memberi sinyal akan mengenakan tarif baru sebesar 25% pada produk China lain senilai US$ 325 miliar yang sebelumnya terbebas dari bea impor.

Bahkan Kantor Perwakilan Dagang AS mulai kemarin sudah melakukan jajak pendapat dengan pelaku pasar, termasuk penjual eceran, perusahaan manufaktur, dan pelaku usaha lain demi mengkaji dampak dari tarif baru tersebut.

Dampak eskalasi perang dagang antara dua raksasa ekonomi dunia tentu saja akan merembet kemana-mana. Perlambatan ekonomi global yang saat ini sudah cukup dalam, akan semakin sulit untuk dihentikan.

Pertumbuhan permintaan minyak, yang seringkali searah dengan pertumbuhan ekonomi, berisiko semakin tertekan.

"Semua agensi besar melaporkan permintaan akan melemah," ujar Phil Flynn, analis Price Futures Group, mengutip Reuters.

Memang benar apa kata Flynn. Pekan lalu tiga lembaga yang memantau perkembangan keseimbangan fundamental (pasokan-permintaan) pasar minyak, kompak menurunkan proyeksi pertumbuhan permintaan di tahun 2019.

Tiga lembaga tersebut adalah US Energy Information Administration (EIA), OPEC, dan International Energy Agencu (IEA). Masing-masing menurunkan proyeksi pertumbuhan permintaan tahun 2019 sebesar 160.000 barel/hari, 70.000 barel/hari, dan 100.000 barel/hari.

BERLANJUT KE HALAMAN 2>>>
Meski demikian, sentimen positif yang membatasi pelemahan harga minyak juga masih ada. Salah satunya adalah ketegangan yang terus meningkat di Timur Tengah.

Setelah menuding Iran sebagai pelaku penyerangan dua kapal tanker di Selat Hormuz, Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo mengatakan bahwa pihaknya akan mengambil semua langkah yang diperlukan untuk mengamankan pelayaran di Timur Tengah.


"Kami tidak ingin perang. Kami telah melakukan apa yang kami bisa untuk mencegah hal ini [perang]," ujar Pompeo dalam sebuah wawancara dengan Fox News, mengutip Reuters, Minggu (16/6/2019).

Bulan lalu, kejadian serupa juga terjadi, dimana ada penyerangan pada empat kapal tanker, yang disusul dengan tuduhan Iran sebagai pelakunya. Bahkan kala itu, Arab Saudi sampai membalas dengan melancarkan serangan udara pada Ibu Kota Yaman, Sanaa yang mana dianggap memiliki hubungan dengan Iran.

Ancaman terkait keamanan pelayaran di Selat Hormuz membuat perusahaan kargo minyak makin enggan untuk melalui perairan tersebut. Pasokan minyak akan semakin sulit dilepas ke pasar, mengingat satu per lima konsumsi minyak global diantar melalui wilayah itu.

Ada pula sinyal-sinyal dari OPEC untuk terus menurunkan tingkat produksi yang memberi dorongan ke atas pada harga minyak.

Beberapa waktu lalu, Menteri Arab Saudi, Khalid al-Falih mengatakan bahwa OPEC masih akan terus mengurangi produksi secara bertahap dan menjaga pasokan di level yang 'normal' pada semester II-2019.

Menteri Energi Uni Emirat Arab (UEA), Suhail bin Mohammed al-Mazroui juga mengatakan bahwa anggota OPEC sudah sangat dekat pada kesepakatan kelanjutan pemangkasan produksi, mengutip Reuters, Selasa (11/6/2019).

Artinya, peluang OPEC untuk dapat membuat keseimbangan pasar terjaga masih besar. Keputusan akhir perihal kebijakan tersebut akan diambil pada pertemuan OPEC dan sekutunya dalam beberapa minggu ke depan.

Jadwal awal pertemuan OPEC+ (OPEC dan sekutunya adalah pada 25-26 Juni. Namun perhimpunan tersebut tengah mempertimbangkan untuk mengundur hingga 3-4 Juli.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular