Bursa Saham Asia Menghijau, IHSG kok Jatuh Nyaris 1%?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
17 June 2019 16:40
Bursa Saham Asia Menghijau, IHSG kok Jatuh Nyaris 1%?
Foto: Ilustrasi Bursa. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Sempat dibuka menguat 0,15%, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) justru mengakhiri perdagangan pertama di pekan ini di zona merah. Per akhir sesi 2, Senin (17/6/), IHSG melemah 0,96% ke level 6.190,53.

Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam mendorong IHSG melemah di antaranya: PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (-2,26%), PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk/CPIN (-6,81%), PT Kalbe Farma Tbk/KLBF (-6,35%), PT Bank Danamon Indonesia Tbk/BDMN (-5,76%), dan PT Astra International Tbk/ASII (-0,67%).

Kinerja IHSG berbanding terbalik dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang justru ditransaksikan di zona hijau: indeks Nikkei naik 0,03%, indeks Shanghai naik 0,2%, dan indeks Hang Seng naik 0,4%. Sementara itu, indeks Straits Times dan indeks Kospi ditransaksikan melemah masing-masing sebesar 0,37% dan 0,22%.


Optimisme bahwa The Federal Reserve selaku bank sentral AS akan memangkas tingkat suku bunga acuan pada tahun ini menjadi sentimen positif yang menyelimuti perdagangan di bursa saham Benua Kuning.

Pada Rabu (19/6/2019) waktu setempat atau Kamis (20/6/2019) dini hari waktu Indonesia, The Fed dijadwalkan mengumumkan keputusan terkait tingkat suku bunga acuan terbarunya.

Walaupun Jerome Powell (Gubernur The Fed) dan kolega diperkirakan masih akan mempertahankan tingkat suku bunga acuan di level 2,25%-2,5% pada pertemuan kali ini, pelaku pasar optimistis bahwa tingkat suku bunga acuan akan dipangkas dalam pertemuan-pertemuan berikutnya.


Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 17 Juni 2019, probabilitas bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 75 bps pada tahun ini berada di level 36%. Untuk pemangkasan sebesar 50 dan 25 bps, probabilitasnya masing-masing adalah sebesar 32,9% dan 12,1%.

Sementara itu, probabilitas bahwa tingkat suku bunga acuan akan dipertahankan di level 2,25%-2,5% sepanjang tahun ini hanya tersisa sebesar 1,5% saja, dari yang sebelumnya 26% pada bulan lalu.

Sebelumnya, Powell memang telah memberi sinyal pemangkasan tingkat suku bunga acuan yakni dengan mengubah standar referensinya dari The Fed yang "sabar" dalam menentukan suku bunga menjadi bank sentral akan memperhatikan dampak perang dagang dan akan mengambil tindakan "yang sesuai".

"Kami tidak tahu bagaimana atau kapan isu-isu (perdagangan) ini akan terselesaikan," kata Powell, dilansir dari Reuters.

"Kami memantau dengan ketat dampak dari berbagai perkembangan ini terhadap proyeksi perekonomian AS dan, selalu, kami akan mengambil tindakan yang sesuai untuk mempertahankan pertumbuhan (ekonomi), dengan pasar tenaga kerja yang kuat dan inflasi yang ada di sekitar target simetris 2% kami," lanjutnya.

Sementara itu, Presiden The Fed St. Louis James Bullard mengatakan dalam sebuah pidato bahwa pemotongan tingkat suku bunga acuan mungkin perlu segera dilakukan.

Bagi pasar saham dunia, pemangkasan tingkat suku bunga acuan oleh The Fed merupakan kabar positif karena akan membuka ruang bagi bank sentral negara-negara lain untuk melakukan pelonggaran yang pada akhirnya akan memacu laju pertumbuhan ekonomi.

LANJUT KE HALAMAN BERIKUTNYA>>

Di sisi lain, potensi eskalasi perang dagang AS-China menjadi sentimen negatif yang membebani kinerja bursa saham regional. Hingga kini, rencana pertemuan antara Presiden AS Donald Trump dengan dengan Presiden China Xi Jinping di gelaran KTT G-20 pada akhir bulan ini di Jepang masih juga belum jelas.

Semakin mendekati akhir bulan Juni, belum ada kepastian bahwa keduanya akan bertemu, walau memang Washington masih ingin kedua pemimpin negara bertemu guna membuka jalan menuju damai dagang.

"Namun belum ada proses formalisasi," ujar Lawrence Kudlow, Penasihat Ekonomi Gedung Putih, mengutip Reuters.

Memang, Trump mencoba meredakan situasi dengan menyuarakan optimismenya bahwa pada akhirnya, AS-China akan mampu mengesampingkan segala perbedaan dan meneken kesepakatan dagang.

“Pada akhirnya mereka akan meneken kesepakatan,” kata Trump dalam wawancara dengan Fox News Channel pada hari Jumat (14/6/2019) waktu setempat, dilansir dari Channel News Asia.


Namun tetap saja, perang dagang berpotensi tereskalasi terlebih dahulu lantaran Trump sebelumnya sudah mengancam bahwa dirinya akan membebankan bea masuk tambahan bagi produk impor asal China jika Xi sampai tak menemuinya di sela-sela KTT G-20 nanti.

Perang dagang belum tereskalasi lagi saja, perekonomian China terlihat sudah begitu tertekan. Menjelang akhir pekan kemarin, produksi industri periode Mei 2019 diumumkan hanya tumbuh 5% secara tahunan, di bawah konsensus yang sebesar 5,5%, dilansir dari Trading Economics.

Kemudian, investasi barang modal tercatat hanya tumbuh sebesar 5,6% secara tahunan dalam periode Januari-Mei 2019, di bawah capaian pertumbuhan periode Januari-April 2019 yang sebesar 6,1%. Capaian tersebut juga berada di bawah konsensus yang sebesar 6,1%, dilansir dari Trading Economics.

Mengingat posisi China sebagai negara dengan nilai perekonomian terbesar kedua di dunia, tekanan terhadap perekonomian China pastilah memberi dampak negatif yang relatif signifikan bagi negara-negara lain.

LANJUT KE HALAMAN BERIKUTNYA>>

Lebih lanjut, faktor domestik ikut berkontribusi dalam membuat IHSG menutup hari di zona merah. Bank Indonesia (BI) mencatat bahwa per akhir Mei 2019, cadangan devisa bertengger di angka US$ 120,3 miliar atau ambruk hingga US$ 4 miliar jika dibandingkan dengan posisi per akhir April 2019.

BI menyebut bahwa penyebab turunnya cadangan devisa pada bulan lalu adalah tingginya kebutuhan dolar AS untuk pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berkurangnya penempatan valas perbankan di bank sentral guna mengantisipasi siklus pembayaran dividen beberapa perusahaan asing.


Dengan menipisnya cadangan devisa, amunisi yang dimiliki BI untuk menstabilkan rupiah kala terdapat guncangan menjadi berkurang sehingga mata uang Garuda akan lebih rentan.

Pada perdagangan hari ini, rupiah melemah 0,07% di pasar spot ke level Rp 14.330/dolar AS. Terhitung sejak angka cadangan devisa dirilis pada hari Kamis (13/6/2019) lalu, rupiah selalu mencetak depresiasi.

Pelemahan rupiah pada akhirnya membuat investor asing melego saham-saham di tanah air. Hingga akhir perdagangan, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 206,4 miliar di pasar saham tanah air (pasar reguler).

Kala rupiah terus melemah, investor asing berpotensi menanggung yang namanya kerugian kurs sehingga wajar jika aksi jual dilakukan di pasar saham tanah air.

Saham-saham yang banyak dilego investor asing pada perdagangan hari ini di antaranya: PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (Rp 88,6 miliar), PT Media Nusantara Citra Tbk/MNCN (Rp 47,4 miliar), PT Bank Danamon Tbk/BDMN (Rp 45,8 miliar), PT Jasa Marga Tbk/JSMR (Rp 38,3 miliar), dan PT Bank Negara Indonesia Tbk/BBNI (Rp 28,1 miliar).

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular