Sri Mulyani & Wimboh Meminta, Apa BI Bakal Turunkan Bunga?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
12 June 2019 18:44
Sri Mulyani & Wimboh Meminta, Apa BI Bakal Turunkan Bunga?
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Namanya roda kehidupan, kadang di atas dan kadang di bawah. Seiring perjalanan waktu, roda itu bergerak seakan semakin cepat. Dalam waktu setahun, semua bisa berubah dengan drastis. 

Contohnya adalah tren kebijakan suku bunga global. Tahun lalu, tren yang terjadi di dunia adalah bank sentral di berbagai negara seperti berlomba-lomba mengerek suku bunga acuan setinggi-tingginya. 

Biang keroknya adalah Amerika Serikat (AS). Tahun lalu, The Federal Reserves/The Fed, bank sentral Negeri Paman Sam, menaikkan suku bunga acuan sampai empat kali. Kebijakan yang membuat arus modal berkerumun di sekitar AS (karena termovitasi ingin mendapat imbalan tinggi) sehingga dolar AS menjadi raja mata uang dunia.



Untuk menjaga nilai mata uang agar tidak terlalu babak-belur dihajar dolar AS, bank sentral di sejumlah negara mengikuti jejak The Fed. Salah satunya adalah Bank Indonesia (BI). 

Sepanjang 2018, BI menaikkan suku bunga acuan  sampai enam kali. Menurut Gubernur Perry Warjiyo, salah satu tujuan kenaikan BI 7 Day Reverse Repo Rate adalah membuat pasar keuangan Indonesia tetap menarik. 



Itu tahun lalu. Sekarang, roda kehidupan berputar dengan cepat. Kini yang ada malah mulai ada tren pelonggaran kebijakan moneter. 

Penyebabnya adalah risiko perlambatan ekonomi global yang semakin nyata. Dalam proyeksi terbarunya, Bank Dunia merevisi ke bawah perkiraan pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini dari 2,9% menjadi 2,6%. 

Baca:
Duh, Bank Dunia Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Global di 2019

Akibatnya, bank sentral pun harus memainkan peran yang berbeda. Jika tahun lalu bank sentral berperan sebagai peredam, rem, agar pertumbuhan ekonomi tidak terlalu cepat, tahun ini berganti menjadi agen pendorong pertumbuhan ekonomi. Salah satunya adalah dengan menurunkan suku bunga acuan untuk mendukung ekspansi dunia usaha dan rumah tangga. 

Sejumlah bank sentral sudah melakukannya, seperti Bank Sentral Australia (RBA) dan Bank Sentral India (RBI). Bahkan The Fed pun diperkirakan bakal menempuh kebijakan serupa. 

Mengutip CME Fedwatch, probabilitas Federal Funds Rate bertahan di 2,25-2,5% pada akhir 2019 hanya 2,1%. Peluang paling besar adalah The Fed menurunkan suku bunga acuan 50 bps ke 1,75-2% yaitu 34,5%. Bahkan kemungkinan penurunan 75 bps menjadi 1,5-1,75% juga lumayan tinggi yaitu 33,8%. 


Dunia sudah berubah, yang namanya suku bunga tinggi sudah bukan musimnya lagi. Pertanyaannya, apakah BI juga akan melakukannya? 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)



Sejumlah pejabat negara sudah menyuarakan wacana agar MH Thamrin mempertimbangkan penurunan suku bunga acuan. Di antaranya adalah Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. 

"Pada saat kondisinya berubah di negara negara maju, termasuk direction kebijakan moneter dan adanya tanda-tanda pelemahan ekonomi, saya rasa BI juga akan melakukan adjustment atau penyesuaian dari stance monetary policy-nya. Bagaimana BI akan melakukan, saya tentu hormati BI karena mereka akan menggunakan policy suku bunga dan makroprudensial," kata Sri Mulyani.


 

Agak sulit untuk menentukan sikap, apakah sekarang adalah waktu yang tepat bagi BI untuk menurunkan suku bunga acuan atau belum. Masing-masing pilihan punya keuntungan dan risikonya sendiri. 

Kalau BI menurunkan suku bunga acuan, dampak positif paling besar adalah (semoga) bunga kredit di perbankan ikut terkoreksi. Dengan begitu, konsumsi rumah tangga dan investasi dunia usaha akan tumbuh lebih cepat.  

Jika dua komponen itu perkasa, maka pertumbuhan ekonomi dijamin bakal kencang. Asumsi pertumbuhan ekonomi 5,3% dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 bisa lebih mudah terwujud. 

Saat bunga acuan turun, biaya dana penerbitan obligasi (baik pemerintah maupun korporasi) juga bisa ikut berkurang. Artinya, keuangan negara dan perusahaan bakal lebih kuat karena risiko yang menurun. Jika fiskal dan kas korporasi semakin kuat, maka peringkat utang (rating) Indonesia berpeluang terus naik.




Kalau rating Indonesia semakin tinggi, maka posisi di mata pelaku pasar kian kuat sehingga tidak mudah dipojokkan. Biaya dana akan semakin murah. 

Namun penurunan suku bunga acuan bukan tanpa risiko. Saat bunga acuan turun dan ekonomi bergeliat, penyakit Indonesia akan kumat lagi yaitu pembengkakan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD).  

Maklum, industri dalam negeri belum mampu memenuhi peningkatan permintaan sehingga mau tidak mau harus impor. Impor yang deras tentu membuat transaksi berjalan berdarah-darah. 



Sementara transaksi berjalan adalah fondasi penting bagi nilai tukar, karena mencerminkan pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Jika pos ini bermasalah, maka rupiah pasti bakal goyah. 

Apabila rupiah goyah dan cenderung melemah, BI tentu tidak bisa tinggal diam. Sebab menjaga stabilitas nilai tukar adalah salah satu tugas utama BI. 

Bagai lingkaran setan, bisa-bisa BI terpaksa harus menaikkan suku bunga acuan lagi demi menarik arus modal di pasar keuangan. Kalau BI sampai menaikkan lagi suku bunga acuan yang baru diturunkan, kredibilitas mau ditaruh di mana? 

Jadi, kalau memang BI harus menurunkan suku bunga acuan, yang namanya defisit transaksi berjalan harus diamankan terlebih dulu. Kembali terpilihnya Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden (walau belum pasti 100%, harus menunggu putusan Mahkamah Konstitusi) bisa membawa harapan program reformasi struktural akan berlanjut. 




Defisit transaksi berjalan sudah menjadi salah satu prioritas utama di pemerintahan Jokowi pada periode 2014-2019. Jika Jokowi kembali menjadi presiden untuk 2019-2024, semoga upaya perbaikan defisit transaksi berjalan dilanjutkan dan diperkuat. 

Namun kalau belum ada jaminan defisit transaksi berjalan bisa dijinakkan, ada baiknya BI melanjutkan kontemplasi. Dipikir-pikir dulu kalau mau menurunkan suku bunga acuan...


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular