
AS-China Ribut Dagang, Bisnis Indo-Rama Terganggu
Monica Wareza, CNBC Indonesia
27 May 2019 19:30

Jakarta, CNBC Indonesia - Emiten milik salah satu orang terkaya di Indonesia, Sri Prakash Lohia yakni PT Indo-Rama Synthetics Tbk (INDR) menyebutkan penjualan perusahaan di tahun ini mengalami penurunan karena rendahnya permintaan dari pasar.
Tensi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China cenderung membuat beberapa perusahaan berbasis ekspor memilih untuk wait and see dengan menekan produksinya.
Presiden Direktur Indo-Rama Vhisnu Swaroop Baldwa mengatakan permintaan dari pasar yang cukup rendah ini tercermin dari kinerja perusahaan sepanjang kuartal I-2019 yang pendapatannya lebih rendah 6,76% secara year on year (YoY).
"Permintaan turun, karena ada ketidakpastian karena trade war antara AS dan China. Diperkirakan masih akan berlanjut sampai akhir semester I-2019. Nanti semester kedua diperkirakan akan meningkat lagi," kata Vhisnu di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (27/5).
Dia menjelaskan, karena mayoritas penjualan perusahaan berbasis ekspor, maka ketegangan hubungan dua negara adidaya itu membuat kinerja perusahaan terganggu. Adapun penjualan perusahaan berbasis ekspor mencapai 60%-65%, sedangkan penjualan domestik porsinya hanya sebesar 35%-40%.
Pada kuartal I-2019, meski pendapatan turun, tapi laba bersih perseroan meningkat cukup tajam menjadi US$ 32,8 juta atau setara dengan Rp 472 miliar (asumsi kurs Rp 14.400/US$) dari periode yang sama tahun sebelumnya senilai US$ 13,6%.
Dari jumlah itu, senilai US$ 30 juta merupakan hasil divestasi saham dari perusahaan terafiliasinya, sehingga hasil operasional hanya senilai US$ 2,8 juta atau Rp 40,3 miliar.
Namun demikian, perusahaan optimistis penjualan akan kembali meningkat di paruh kedua tahun ini. Untuk itu perusahaan mematok target laba bersih di level US$ 55 juta.
Indo-Rama juga menargetkan dapat meningkatkan kapasitas produksi benang polyester dan benang pintalnya di kisaran 5%-7% dari tahun lalu. Peningkatan kapasitas ini dilakukan karena dua jenis produk ini memiliki tingkat permintaan yang tinggi dan merupakan produk dengan nilai tambah yang lebih baik dibanding produk lain.
Untuk meningkatkan produksi tersebut, perusahaan telah menganggarkan belanja modal (capital expenditure/capex) senilai US$ 44 juta atau Rp 634 miliar. Dananya akan berasal dari kas internal perusahaan dan fasilitas pinjaman dari perbankan.
"Di kuartal pertama sudah dipakai US$ 12 juta untuk peningkatan kapasitas benang polyester dan benang pintal. Tapi diperkirakan baru akan beroperasi penuh di kuartal terakhir tahun ini dan awal 2020," kata dia.
(tas/tas) Next Article 6 Tahun Puasa Dividen, Indo-Rama Akhirnya Bagi Keuntungan
Tensi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China cenderung membuat beberapa perusahaan berbasis ekspor memilih untuk wait and see dengan menekan produksinya.
Presiden Direktur Indo-Rama Vhisnu Swaroop Baldwa mengatakan permintaan dari pasar yang cukup rendah ini tercermin dari kinerja perusahaan sepanjang kuartal I-2019 yang pendapatannya lebih rendah 6,76% secara year on year (YoY).
"Permintaan turun, karena ada ketidakpastian karena trade war antara AS dan China. Diperkirakan masih akan berlanjut sampai akhir semester I-2019. Nanti semester kedua diperkirakan akan meningkat lagi," kata Vhisnu di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (27/5).
Dia menjelaskan, karena mayoritas penjualan perusahaan berbasis ekspor, maka ketegangan hubungan dua negara adidaya itu membuat kinerja perusahaan terganggu. Adapun penjualan perusahaan berbasis ekspor mencapai 60%-65%, sedangkan penjualan domestik porsinya hanya sebesar 35%-40%.
Pada kuartal I-2019, meski pendapatan turun, tapi laba bersih perseroan meningkat cukup tajam menjadi US$ 32,8 juta atau setara dengan Rp 472 miliar (asumsi kurs Rp 14.400/US$) dari periode yang sama tahun sebelumnya senilai US$ 13,6%.
Dari jumlah itu, senilai US$ 30 juta merupakan hasil divestasi saham dari perusahaan terafiliasinya, sehingga hasil operasional hanya senilai US$ 2,8 juta atau Rp 40,3 miliar.
Namun demikian, perusahaan optimistis penjualan akan kembali meningkat di paruh kedua tahun ini. Untuk itu perusahaan mematok target laba bersih di level US$ 55 juta.
Indo-Rama juga menargetkan dapat meningkatkan kapasitas produksi benang polyester dan benang pintalnya di kisaran 5%-7% dari tahun lalu. Peningkatan kapasitas ini dilakukan karena dua jenis produk ini memiliki tingkat permintaan yang tinggi dan merupakan produk dengan nilai tambah yang lebih baik dibanding produk lain.
Untuk meningkatkan produksi tersebut, perusahaan telah menganggarkan belanja modal (capital expenditure/capex) senilai US$ 44 juta atau Rp 634 miliar. Dananya akan berasal dari kas internal perusahaan dan fasilitas pinjaman dari perbankan.
"Di kuartal pertama sudah dipakai US$ 12 juta untuk peningkatan kapasitas benang polyester dan benang pintal. Tapi diperkirakan baru akan beroperasi penuh di kuartal terakhir tahun ini dan awal 2020," kata dia.
(tas/tas) Next Article 6 Tahun Puasa Dividen, Indo-Rama Akhirnya Bagi Keuntungan
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular