Newsletter

The Fed Galau Nih, BI Bagaimana?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
21 February 2019 05:37
The Fed Galau <i>Nih</i>, BI Bagaimana?
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia mencatat kinerja yang memuaskan pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), nilai tukar rupiah, dan obligasi pemerintah sama-sama menguat. 

Kemarin, IHSG ditutup naik 0,28%. Laju IHSG tidak mulus, sempat bolak-balik di zona merah dan hijau. Namun IHSG berhasil finis dengan penguatan dan menembus level 6.500, kali pertama sejak 8 Februari. 


Kemudian rupiah mengakhiri perdagangan pasar spot dengan apresiasi 0,44% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Tidak seperti IHSG, rupiah melenggang mulus di jalur hijau tanpa pernah sedetik pun merasakan pelemahan. 

Sementara imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun terkoreksi 8,1 basis poin. Penurunan yield adalah cerminan bahwa harga instrumen ini sedang naik akibat tingginya minat pelaku pasar. 


Sebenarnya tidak hanya di Indonesia, pasar keuangan Asia juga berbinar-binar. Sentimen positif dominan mewarnai jalannya perdagangan, terutama karena optimisme investor terhadap perundingan dagang AS-China di Washington. 

Setelah sepekan penuh menggelar dialog di Beijing, pekan ini kedua negara melanjutkannya di Washington. Pada Kamis dan Jumat waktu setempat, akan berlangsung pembicaraan tingkat menteri yang kabarnya akan merumuskan nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) AS-China untuk menuju damai dagang. 

Aura positif bertebaran dalam pertemuan tersebut. Presiden AS Donald Trump kembali menegaskan bahwa dirinya membuka opsi perpanjangan waktu 'gencatan senjata' yang seyogianya berakhir pada 1 Maret mendatang. 

"Ada pembicaraan yang kompleks, tetapi semua berjalan sangat baik. Saya tidak bisa mengatakan, tetapi tanggal itu (1 Maret) bukan sesuatu yang magis. Banyak hal yang bisa terjadi," kata Trump kepada wartawan di Oval Office, mengutip Reuters. 

Sebagai informasi, dalam pertemuan Trump dengan Presiden China Xi Jinping di Argentina awal Desember 2018 disepakati bahwa AS dan China tidak akan menaikkan bea masuk selama 90 hari yang berarti berakhir pada 1 Maret. Selama 90 hari itu, kedua negara akan mengadakan rangkaian dialog untuk mencapai kesepakatan damai dagang. 

Apabila tidak tercapai kesepakatan, maka AS awalnya menegaskan bakal menaikkan tarif bea masuk untuk impor produk China senilai US$ 200 miliar dari 10% menjadi 25%. Namun kini Trump semakin melunak karena sepertinya perundingan dengan China berjalan di jalur yang benar. 

"Saya hanya bisa bilang bahwa pembicaraan dengan China soal perdagangan berjalan dengan sangat-sangat baik," ujarnya. 

Hawa damai dagang AS-China yang semakin terasa membuat pelaku pasar agresif berburu cuan di aset-aset berisiko. Negara berkembang Asia menjadi tujuannya, termasuk Indonesia. 

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)


Dari Wall Street, tiga indeks utama berhasil membukukan penguatan meski relatif terbatas. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,24%, S&P 500 terangkat 0,18%, dan Nasdaq Composite bertambah 0,03%. 

Perjalanan bursa saham New York hari ini tidak mulus. Bahkan beberapa kaii sempat terpeleset ke zona merah. Penyebabnya adalah sepertinya pelaku pasar butuh sedikit waktu untuk mencerna notulensi rapat (minutes of meeting) The Federal Reserves/The Fed edisii Januari 2019 yang baru saja dirilis.

Hasil rapat itu memang sudah ketahuan, yaitu Jerome 'Jay' Powell dan sejawat mempertahankan suku bunga acuan di kisaran 2,25-2,5% atau median 2,375%. Hal yang ingin dikulik oleh investor adalah 'suasana kebatinan' dalam rapat tersebut.

Kira-kira apa saja hal yang menjadi perhatian The Fed? Bagaimana arah kebijakan moneter (khususnya suku bunga) ke depan? 

"Para peserta rapat berpandangan bahwa laju inflasi umum dan inflasi inti yang lambat menjadi alasan untuk lebih bersabar. Komite Pengambil Kebijakan condong untuk memilih bersabar sambil melakukan observasi terhadap dampak kenaikan suku bunga yang ditempuh tahun lalu," sebut notulensi rapat The Fed. 

Sabar, sabar, sabar, dan tunggu. Itu jawaban yang diterima pasar. Terlihat bahwa posisi (stance) The Fed sudah jauh berubah dibandingkan tahun lalu, yang menaikkan suku bunga acuan sampai empat kali. The Fed sudah tidak lagi hawkish

Namun hal itu seolah bertentangan dengan kalimat lainnya. The Fed ternyata masih galau menentukan arah kebijakan suku bunga ke depan, dan potensi kenaikan tidak bisa dikesampingkan.  

"Sebagian besar peserta rapat menilai belum bisa dipastikan apakah kenaikan suku bunga lebih lanjut dibutuhkan pada sisa tahun ini. Akan tetapi, beberapa peserta rapat berpendapat kenaikan suku bunga bisa ditempuh saat inflasi lebih tinggi dari perkiraan dan ekonomi 2019 tumbuh sesuai perkiraan," papar notulensi The Fed. 

Bahkan kemudian ada kalimat lain yang bisa diartikan bahwa The Fed masih membuka peluang untuk mengubah stance menjadi kembali hawkish. Pelaku pasar pun dibuat garuk-garuk kepala. 

"Banyak peserta rapat berpandangan bahwa menahan suku bunga acuan di tingkat yang sekarang untuk beberapa waktu bisa menimbulkan risiko. Oleh karena itu, jika ketidakpastian berkurang maka The Fed perlu meninjau kembali stance sabarnya," sebut notulensi rapat The Fed. 

Di satu sisi, The Fed menegaskan kembali bahwa mereka akan lebih bersabar dalam mengeksekusi kenaikan suku bunga berikutnya. Bahkan tersirat The Fed ingin menekan tombol pause, tercermin dalam kalimat The Fed akan memantau dampak dari kenaikan suku bunga acuan yang dilakukan sebelumnya. 

Namun di sisi lain, The Fed juga masih membuka peluang untuk menaikkan suku bunga. Juga ada pernyataan bahwa The Fed juga siap mengubah stance kala kadar ketidakpastian menurun. The Fed bisa saja tidak lagi sabar, tetapi kembali ke mode agresif. 

"Pelaku pasar berharap The Fed menegaskan sikap dovish-nya. Namun ternyata The Fed malah membuka kemungkinan menaikkan suku bunga, ini agak di luar perkiraan pasar," tutur Kathy Jones, Chief Fixed Income Strategist di Schwab Center for Finansial Research yang berbasis di New York, mengutip Reuters. 

Sikap The Fed yang tidak jelas bahkan tumpang-tindih seperti ini membuat pelaku pasar butuh waktu untuk mencerna hasil notulensi rapat. Well, untungnya kemudian sentimen positif yang menang dan Wall Street ditutup menghijau. Meski tampak ada kegamangan di benak investor, karena penguatan yang tercipta tipis saja. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen. Pertama, seperti yang mempengaruhi Wall Street, adalah reaksi pasar terhadap notulensi rapat The Fed. 

Wall Street memandang bahwa peluang The Fed untuk bersabar lebih besar ketimbang menaikkan suku bunga acuan dan mengubah stance. Akibatnya, bursa saham diuntungkan karena saham adalah instrumen yang bekerja optimal di lingkungan suku bunga rendah.

Jika pembacaan yang sama terjadi di Asia, maka juga menjadi sentimen positif. Investor menjadi enggan menanamkan modal di dolar AS, karena tidak ada pemanis berupa kenaikan suku bunga acuan.  

Arus modal yang meninggalkan dolar AS kemudian mencari tempat persinggahan lain, dan pasar keuangan Asia bisa menjadi pilihan. Semoga ada yang nyangkut di Indonesia sehingga bisa menjadi pijakan bagi IHSG, rupiah, dan obligasi untuk kembali menguat. 

Namun kalau yang dominan adalah The Fed lebih mungkin menaikkan suku bunga dan mengubah stance menjadi hawkish lagi, maka yang terjadi adalah sebailknya. Aliran modal kembali menyemut di sekitar dolar AS yang semakin seksi, sehingga pasar keuangan Asia akan kekurangan 'darah'. Jika ini terjadi, maka sulit untuk berharap IHSG cs bisa terangkat. 

Sentimen kedua, investor masih patut memasang mata dan telinga untuk mendapatkan perkembangan terbaru seputar dialog dagang AS-China di Washington. Berita positif masih bertebaran, ada optimisme bahwa AS-China pada akhirnya akan mampu mencapai damai dagang. 

Bahkan pelaku pasar mulai berani memperkirakan Presiden Trump dan Presiden Xi akan bertemu pada bulan depan untuk menyelesaikan kesepakatan damai dagang. Kemungkinan pertemuan akan dilangsungkan setelah 5 Maret, selepas Kongres Tahunan China. 

"Sepertinya China sepakat untuk mengimpor lebih banyak produk AS, seperti gas alam dan produk pertanian. China juga kemungkinan bersedia untuk membuka pasar keuangan dan industri manufakturnya terhadap investasi asing," tutur Nobuhiko Karamochi, Chief Strategist di Mizuho Securities, dikutip dari Reuters. 

Meski begitu, investor juga mesti waspada karena ada hal yang bisa membuat negosiasi berjalan alot. Misalnya, sempat tersiar kabar bahwa salah satu tuntutan AS kepada China adalah agar Beijing tidak lagi terlalu mengintervensi nilai tukar mata uang yuan.  

Memang sudah sejak lama ada tudingan bahwa China sengaja melemahkan nilai tukar yuan dengan tujuan membuat ekspor Negeri Panda tetap kompetitif. Washington ingin agar pergerakan yuan lebih mencerminkan mekanisme pasar. 

Namun China membantah tudingan tersebut. Kementerian Luar Negeri China melalui keterangan tertulis menegaskan bahwa Negeri Tirai Bambu tidak melakukan devaluasi kompetitif alias perang mata uang.

"Kami berharap AS tidak melakukan politisasi isu mata uang," sebut keterangan tersebut. 

Riak-riak semacam ini bisa menjadi pengganjal dalam dialog dagang. Jika kabar negatif semakin banyak bermunculan, maka harapan terciptanya damai dagang pun mengecil. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Sentimen ketiga, Indonesia patut waspada terhadap perkembangan harga minyak. Pada pukul 04:51 WIB, harga minyak jenis brent melesat 1,01% dan light sweet melonjak 1,35%. 

Asa damai dagang As-China menjadi salah satu pendorong kenaikan harga si emas hitam. Kala dua perekonomian terbesar di planet bumi sudah tidak lagi saling hambat, maka dampaknya akan mengglobal. 

Rantai pasok (supply chain) akan kembali bergairah, arus perdagangan ramai, dan tentunya pertumbuhan ekonomi global bisa lebih baik. Artinya, permintaan energi berpotensi meningkat sehingga mengerek harga minyak. 

Bagi rupiah, kenaikan harga minyak adalah musibah. Sebab, kenaikan harga komoditas ini tentu akan membuat nilai impornya membengkak. Padahal Indonesia adalah negara net importir migas, mau tidak mau harus ada impor karena produksi dalam negeri yang tidak memadai. 

Pembengkakan impor minyak kemudian berpotensi membuat defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) tambah parah. Transaksi berjalan adalah fondasi penting bagi nilai tukar, karena mencerminkan pasokan valas yang lebih berjangka panjang (sustainable) dari kegiatan ekspor-impor barang dan jasa. 

Jika defisit transaksi berjalan semakin dalam, maka rupiah akan tambah rentan 'digoyang' karena fondasinya rapuh. Mata uang Tanah Air sangat rawan mengalami depresiasi, kalau tidak ada pertolongan dari 'uang panas' di sektor keuangan. 


Sentimen keempat, kali ini dari dalam negeri, adalah pengumuman suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI). Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan Gubernur Perry Warjiyo dan rekan bakal mempertahankan BI 7 Day Reverse Repo Rate di angka 6%. 


Dampak dari kebijakan suku bunga BI akan tergantung dari bagaimana pasar merespons notulensi rapat The Fed. Jika pasar menilai nuansa dovish The Fed lebih dominan, maka tidak akan menjadi masalah meski BI tidak menaikkan suku bunga. Kebijakan BI dan The Fed masih seiring-sejalan-seirama. 

Namun kalau investor berpandangan bahwa potensi kenaikan Federal Funds Rate lebih dominan, maka Indonesia akan kena 'hukuman' karena dianggap 'ketinggalan kereta'. Rupiah bisa saja terkena aksi jual. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 5)


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis data klaim pengangguran Amerika Serikat untuk minggu yang berakhir pada 16 Februari 2019 (20:30 WIB).
  • Rilis data penjualan rumah bukan baru (existing) Amerika Serikat periode Januari 2019 (22:00 WIB).
  • Rilis data pesanan manufaktur barang tahan lama Amerika Serikat periode Desember 2018 (20:30 WIB).
  • Rilis angka pembacaan awal indeks bisnis The Fed Philladelphia periode Februari 2019 (20:30 WIB).
  • Rilis angka pembacaan awal Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Jepang versi Nikkei periode Februari (07:30 WIB).
  • Pengumuman suku bunga acuan BI 7 Day Reverse Repo Rate (14:00 WIB).
  • Rilis angka pembacaan awal PMI manufaktur Zona Euro periode Februari 2019 (16:00 WIB). 

Investor juga perlu mencermati aksi perusahaan yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:

PerusahaanJenis KegiatanWaktu
PT Radiant Utama Interinsco Tbk (RUIS)RUPSLB14:00 WIB
 
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (2018 YoY)5,17%
Inflasi (Januari 2019 YoY)2,82%
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Januari 2019)6%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (2018)-2,98% PDB
Neraca pembayaran (2018)-US$ 7,13 miliar
Cadangan devisa (Januari 2019)US$ 120,07 miliar
 
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular