
Newsletter
The Fed Galau Nih, BI Bagaimana?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
21 February 2019 05:37

Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen. Pertama, seperti yang mempengaruhi Wall Street, adalah reaksi pasar terhadap notulensi rapat The Fed.
Wall Street memandang bahwa peluang The Fed untuk bersabar lebih besar ketimbang menaikkan suku bunga acuan dan mengubah stance. Akibatnya, bursa saham diuntungkan karena saham adalah instrumen yang bekerja optimal di lingkungan suku bunga rendah.
Jika pembacaan yang sama terjadi di Asia, maka juga menjadi sentimen positif. Investor menjadi enggan menanamkan modal di dolar AS, karena tidak ada pemanis berupa kenaikan suku bunga acuan.
Arus modal yang meninggalkan dolar AS kemudian mencari tempat persinggahan lain, dan pasar keuangan Asia bisa menjadi pilihan. Semoga ada yang nyangkut di Indonesia sehingga bisa menjadi pijakan bagi IHSG, rupiah, dan obligasi untuk kembali menguat.
Namun kalau yang dominan adalah The Fed lebih mungkin menaikkan suku bunga dan mengubah stance menjadi hawkish lagi, maka yang terjadi adalah sebailknya. Aliran modal kembali menyemut di sekitar dolar AS yang semakin seksi, sehingga pasar keuangan Asia akan kekurangan 'darah'. Jika ini terjadi, maka sulit untuk berharap IHSG cs bisa terangkat.
Sentimen kedua, investor masih patut memasang mata dan telinga untuk mendapatkan perkembangan terbaru seputar dialog dagang AS-China di Washington. Berita positif masih bertebaran, ada optimisme bahwa AS-China pada akhirnya akan mampu mencapai damai dagang.
Bahkan pelaku pasar mulai berani memperkirakan Presiden Trump dan Presiden Xi akan bertemu pada bulan depan untuk menyelesaikan kesepakatan damai dagang. Kemungkinan pertemuan akan dilangsungkan setelah 5 Maret, selepas Kongres Tahunan China.
"Sepertinya China sepakat untuk mengimpor lebih banyak produk AS, seperti gas alam dan produk pertanian. China juga kemungkinan bersedia untuk membuka pasar keuangan dan industri manufakturnya terhadap investasi asing," tutur Nobuhiko Karamochi, Chief Strategist di Mizuho Securities, dikutip dari Reuters.
Meski begitu, investor juga mesti waspada karena ada hal yang bisa membuat negosiasi berjalan alot. Misalnya, sempat tersiar kabar bahwa salah satu tuntutan AS kepada China adalah agar Beijing tidak lagi terlalu mengintervensi nilai tukar mata uang yuan.
Memang sudah sejak lama ada tudingan bahwa China sengaja melemahkan nilai tukar yuan dengan tujuan membuat ekspor Negeri Panda tetap kompetitif. Washington ingin agar pergerakan yuan lebih mencerminkan mekanisme pasar.
Namun China membantah tudingan tersebut. Kementerian Luar Negeri China melalui keterangan tertulis menegaskan bahwa Negeri Tirai Bambu tidak melakukan devaluasi kompetitif alias perang mata uang.
"Kami berharap AS tidak melakukan politisasi isu mata uang," sebut keterangan tersebut.
Riak-riak semacam ini bisa menjadi pengganjal dalam dialog dagang. Jika kabar negatif semakin banyak bermunculan, maka harapan terciptanya damai dagang pun mengecil.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
(aji/aji)
Wall Street memandang bahwa peluang The Fed untuk bersabar lebih besar ketimbang menaikkan suku bunga acuan dan mengubah stance. Akibatnya, bursa saham diuntungkan karena saham adalah instrumen yang bekerja optimal di lingkungan suku bunga rendah.
Jika pembacaan yang sama terjadi di Asia, maka juga menjadi sentimen positif. Investor menjadi enggan menanamkan modal di dolar AS, karena tidak ada pemanis berupa kenaikan suku bunga acuan.
Arus modal yang meninggalkan dolar AS kemudian mencari tempat persinggahan lain, dan pasar keuangan Asia bisa menjadi pilihan. Semoga ada yang nyangkut di Indonesia sehingga bisa menjadi pijakan bagi IHSG, rupiah, dan obligasi untuk kembali menguat.
Namun kalau yang dominan adalah The Fed lebih mungkin menaikkan suku bunga dan mengubah stance menjadi hawkish lagi, maka yang terjadi adalah sebailknya. Aliran modal kembali menyemut di sekitar dolar AS yang semakin seksi, sehingga pasar keuangan Asia akan kekurangan 'darah'. Jika ini terjadi, maka sulit untuk berharap IHSG cs bisa terangkat.
Sentimen kedua, investor masih patut memasang mata dan telinga untuk mendapatkan perkembangan terbaru seputar dialog dagang AS-China di Washington. Berita positif masih bertebaran, ada optimisme bahwa AS-China pada akhirnya akan mampu mencapai damai dagang.
Bahkan pelaku pasar mulai berani memperkirakan Presiden Trump dan Presiden Xi akan bertemu pada bulan depan untuk menyelesaikan kesepakatan damai dagang. Kemungkinan pertemuan akan dilangsungkan setelah 5 Maret, selepas Kongres Tahunan China.
"Sepertinya China sepakat untuk mengimpor lebih banyak produk AS, seperti gas alam dan produk pertanian. China juga kemungkinan bersedia untuk membuka pasar keuangan dan industri manufakturnya terhadap investasi asing," tutur Nobuhiko Karamochi, Chief Strategist di Mizuho Securities, dikutip dari Reuters.
Meski begitu, investor juga mesti waspada karena ada hal yang bisa membuat negosiasi berjalan alot. Misalnya, sempat tersiar kabar bahwa salah satu tuntutan AS kepada China adalah agar Beijing tidak lagi terlalu mengintervensi nilai tukar mata uang yuan.
Memang sudah sejak lama ada tudingan bahwa China sengaja melemahkan nilai tukar yuan dengan tujuan membuat ekspor Negeri Panda tetap kompetitif. Washington ingin agar pergerakan yuan lebih mencerminkan mekanisme pasar.
Namun China membantah tudingan tersebut. Kementerian Luar Negeri China melalui keterangan tertulis menegaskan bahwa Negeri Tirai Bambu tidak melakukan devaluasi kompetitif alias perang mata uang.
"Kami berharap AS tidak melakukan politisasi isu mata uang," sebut keterangan tersebut.
Riak-riak semacam ini bisa menjadi pengganjal dalam dialog dagang. Jika kabar negatif semakin banyak bermunculan, maka harapan terciptanya damai dagang pun mengecil.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular