
Newsletter
The Fed Galau Nih, BI Bagaimana?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
21 February 2019 05:37

Sentimen ketiga, Indonesia patut waspada terhadap perkembangan harga minyak. Pada pukul 04:51 WIB, harga minyak jenis brent melesat 1,01% dan light sweet melonjak 1,35%.
Asa damai dagang As-China menjadi salah satu pendorong kenaikan harga si emas hitam. Kala dua perekonomian terbesar di planet bumi sudah tidak lagi saling hambat, maka dampaknya akan mengglobal.
Rantai pasok (supply chain) akan kembali bergairah, arus perdagangan ramai, dan tentunya pertumbuhan ekonomi global bisa lebih baik. Artinya, permintaan energi berpotensi meningkat sehingga mengerek harga minyak.
Bagi rupiah, kenaikan harga minyak adalah musibah. Sebab, kenaikan harga komoditas ini tentu akan membuat nilai impornya membengkak. Padahal Indonesia adalah negara net importir migas, mau tidak mau harus ada impor karena produksi dalam negeri yang tidak memadai.
Pembengkakan impor minyak kemudian berpotensi membuat defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) tambah parah. Transaksi berjalan adalah fondasi penting bagi nilai tukar, karena mencerminkan pasokan valas yang lebih berjangka panjang (sustainable) dari kegiatan ekspor-impor barang dan jasa.
Jika defisit transaksi berjalan semakin dalam, maka rupiah akan tambah rentan 'digoyang' karena fondasinya rapuh. Mata uang Tanah Air sangat rawan mengalami depresiasi, kalau tidak ada pertolongan dari 'uang panas' di sektor keuangan.
Sentimen keempat, kali ini dari dalam negeri, adalah pengumuman suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI). Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan Gubernur Perry Warjiyo dan rekan bakal mempertahankan BI 7 Day Reverse Repo Rate di angka 6%.
Dampak dari kebijakan suku bunga BI akan tergantung dari bagaimana pasar merespons notulensi rapat The Fed. Jika pasar menilai nuansa dovish The Fed lebih dominan, maka tidak akan menjadi masalah meski BI tidak menaikkan suku bunga. Kebijakan BI dan The Fed masih seiring-sejalan-seirama.
Namun kalau investor berpandangan bahwa potensi kenaikan Federal Funds Rate lebih dominan, maka Indonesia akan kena 'hukuman' karena dianggap 'ketinggalan kereta'. Rupiah bisa saja terkena aksi jual.
(BERLANJUT KE HALAMAN 5)
(aji/aji)
Asa damai dagang As-China menjadi salah satu pendorong kenaikan harga si emas hitam. Kala dua perekonomian terbesar di planet bumi sudah tidak lagi saling hambat, maka dampaknya akan mengglobal.
Rantai pasok (supply chain) akan kembali bergairah, arus perdagangan ramai, dan tentunya pertumbuhan ekonomi global bisa lebih baik. Artinya, permintaan energi berpotensi meningkat sehingga mengerek harga minyak.
Bagi rupiah, kenaikan harga minyak adalah musibah. Sebab, kenaikan harga komoditas ini tentu akan membuat nilai impornya membengkak. Padahal Indonesia adalah negara net importir migas, mau tidak mau harus ada impor karena produksi dalam negeri yang tidak memadai.
Pembengkakan impor minyak kemudian berpotensi membuat defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) tambah parah. Transaksi berjalan adalah fondasi penting bagi nilai tukar, karena mencerminkan pasokan valas yang lebih berjangka panjang (sustainable) dari kegiatan ekspor-impor barang dan jasa.
Jika defisit transaksi berjalan semakin dalam, maka rupiah akan tambah rentan 'digoyang' karena fondasinya rapuh. Mata uang Tanah Air sangat rawan mengalami depresiasi, kalau tidak ada pertolongan dari 'uang panas' di sektor keuangan.
Sentimen keempat, kali ini dari dalam negeri, adalah pengumuman suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI). Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan Gubernur Perry Warjiyo dan rekan bakal mempertahankan BI 7 Day Reverse Repo Rate di angka 6%.
Dampak dari kebijakan suku bunga BI akan tergantung dari bagaimana pasar merespons notulensi rapat The Fed. Jika pasar menilai nuansa dovish The Fed lebih dominan, maka tidak akan menjadi masalah meski BI tidak menaikkan suku bunga. Kebijakan BI dan The Fed masih seiring-sejalan-seirama.
Namun kalau investor berpandangan bahwa potensi kenaikan Federal Funds Rate lebih dominan, maka Indonesia akan kena 'hukuman' karena dianggap 'ketinggalan kereta'. Rupiah bisa saja terkena aksi jual.
(BERLANJUT KE HALAMAN 5)
(aji/aji)
Next Page
Simak Agenda dan Data Berikut Ini
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular