
Internasional
Awan Hitam Payungi Ekonomi Global di 2019
Prima Wirayani, CNBC Indonesia
12 December 2018 14:50

Washington, CNBC Indonesia - Perekonomian global mulai menunjukkan tanda-tanda pelemahan di penghujung tahun ini, termasuk kelesuan yang terjadi di Amerika Serikat (AS), negara dengan ekonomi terbesar di dunia.
Para petani Negeri Paman Sam harus menghadapi panen kedelai yang tak laku atau terpaksa menjualnya meskipun rugi akibat pengenaan bea masuk oleh China dalam perang dagang yang tak berkesudahan.
Belum lagi beberapa survei sentimen pelaku usaha dan konsumen AS yang tetap menunjukkan optimisme meskipun kekhawatiran mulai tergambar, utamanya disebabkan oleh perseteruan dagang Presiden Donald Trump dengan para sekutunya.
Dana Moneter Internasional (IMF) menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi globalnya menjadi 3,7% tahun depan dari sebelumnya 3,9%. Dua perekonomian terbesar dunia, AS dan China, diperkirakan mulai melambat.
"Mood-nya adalah ketidakpastian dan dampak di China, khususnya, mulai terlihat," kata CEO MedSource Labs Toff Fagley kepada AFP, dilansir hari Rabu (12/12/2018).
"Beberapa pabrikan lokal China mengatakan kepada kami bahwa rasanya mereka sedang memasuki masa perlambatan dan mereka telah terpukul oleh lebih tingginya biaya ekspor dan kelebihan kapasitas," ujarnya.
Tanda-tanda bahwa pertumbuhan ekonomi AS mungkin telah memuncak mengguncang pasar saham dalam beberapa pekan terakhir. Ekonomi Negeri Paman Sam diperkirakan akan semakin lesu dua tahun ke depan karena memudarnya dampak pemotongan pajak yang diterapkan Trump.
Selain itu, kenaikan suku bunga dan kekurangan tenaga kerja mengancam pasar perumahan. Di saat yang sama, konflik perdagangan mengancam pertumbuhan, menghambat investasi, dan mendorong inflasi AS.
"Momentum pertumbuhan sepertinya memuncak di kuartal kedua," kata beberapa ekonom S&P Global Ratings, dilansir dari AFP.
Namun AS sepertinya akan mengalami perlambatan daripada kontraksi atau pertumbuhan negatif, tambah mereka.
Dan di tengah segala ketidakpastian itu, kekhawatiran bertambah oleh naiknya utang berbagai korporasi, beratnya beban kredit pendidikan AS, dan dampak kenaikan suku bunga terhadap penjualan rumah.
Di saat yang sama, Eropa menghadapi berbagai masalah politik dan ekonomi sementara Jepang masih tetap lesu.
Sumber masalah: perang dagang
Sumber bahaya dari proyeksi ekonomi global tahun depan adalah konflik perdagangan antara AS da China yang dikhawatirkan akan berdampak ke seluruh dunia.
IMF telah memperingatkan bahwa terus berlanjutnya perang dagang dapat memangkas pertumbuhan global sebesar 0,8%.
"Ini sangat penting karena perdagangan adalah mesin penting bagi pertumbuhan," kata Direktur Pelaksana IMF Christine Lagarde dalam sebuah tayangan televisi baru-baru ini.
Wakil Presiden Dewan Perdagangan Luar Negeri Jake Colvin mengkhawatirkan solusi perang dagang itu akan lebih buruk daripada sumber masalahnya.
"Bea masuk telah berdampak buruk terhadap perekonomian riil," ujarnya kepada AFP.
Lagarde telah mengatakan ia tidak melihat AS akan mengalami resesi dalam waktu dekat namun pertumbuhannya akan melambat menjadi 2,5% dari 2,9% tahun ini.
Pertumbuhan ekonomi China juga diperkirakan melambat 0,5% sementara India akan tetap stabil.
Inggris, yang masih belum pulih dari krisis keuangan, hanya akan tumbuh 1,5% di saat Brexit tanpa kesepakatan akan berdampak buruk terhadap pertumbuhan.
(hps) Next Article Waspada Peringatan Baru IMF
Para petani Negeri Paman Sam harus menghadapi panen kedelai yang tak laku atau terpaksa menjualnya meskipun rugi akibat pengenaan bea masuk oleh China dalam perang dagang yang tak berkesudahan.
Belum lagi beberapa survei sentimen pelaku usaha dan konsumen AS yang tetap menunjukkan optimisme meskipun kekhawatiran mulai tergambar, utamanya disebabkan oleh perseteruan dagang Presiden Donald Trump dengan para sekutunya.
"Mood-nya adalah ketidakpastian dan dampak di China, khususnya, mulai terlihat," kata CEO MedSource Labs Toff Fagley kepada AFP, dilansir hari Rabu (12/12/2018).
"Beberapa pabrikan lokal China mengatakan kepada kami bahwa rasanya mereka sedang memasuki masa perlambatan dan mereka telah terpukul oleh lebih tingginya biaya ekspor dan kelebihan kapasitas," ujarnya.
Tanda-tanda bahwa pertumbuhan ekonomi AS mungkin telah memuncak mengguncang pasar saham dalam beberapa pekan terakhir. Ekonomi Negeri Paman Sam diperkirakan akan semakin lesu dua tahun ke depan karena memudarnya dampak pemotongan pajak yang diterapkan Trump.
Selain itu, kenaikan suku bunga dan kekurangan tenaga kerja mengancam pasar perumahan. Di saat yang sama, konflik perdagangan mengancam pertumbuhan, menghambat investasi, dan mendorong inflasi AS.
![]() |
"Momentum pertumbuhan sepertinya memuncak di kuartal kedua," kata beberapa ekonom S&P Global Ratings, dilansir dari AFP.
Namun AS sepertinya akan mengalami perlambatan daripada kontraksi atau pertumbuhan negatif, tambah mereka.
Dan di tengah segala ketidakpastian itu, kekhawatiran bertambah oleh naiknya utang berbagai korporasi, beratnya beban kredit pendidikan AS, dan dampak kenaikan suku bunga terhadap penjualan rumah.
Di saat yang sama, Eropa menghadapi berbagai masalah politik dan ekonomi sementara Jepang masih tetap lesu.
Sumber masalah: perang dagang
Sumber bahaya dari proyeksi ekonomi global tahun depan adalah konflik perdagangan antara AS da China yang dikhawatirkan akan berdampak ke seluruh dunia.
IMF telah memperingatkan bahwa terus berlanjutnya perang dagang dapat memangkas pertumbuhan global sebesar 0,8%.
"Ini sangat penting karena perdagangan adalah mesin penting bagi pertumbuhan," kata Direktur Pelaksana IMF Christine Lagarde dalam sebuah tayangan televisi baru-baru ini.
Wakil Presiden Dewan Perdagangan Luar Negeri Jake Colvin mengkhawatirkan solusi perang dagang itu akan lebih buruk daripada sumber masalahnya.
"Bea masuk telah berdampak buruk terhadap perekonomian riil," ujarnya kepada AFP.
![]() |
Lagarde telah mengatakan ia tidak melihat AS akan mengalami resesi dalam waktu dekat namun pertumbuhannya akan melambat menjadi 2,5% dari 2,9% tahun ini.
Pertumbuhan ekonomi China juga diperkirakan melambat 0,5% sementara India akan tetap stabil.
Inggris, yang masih belum pulih dari krisis keuangan, hanya akan tumbuh 1,5% di saat Brexit tanpa kesepakatan akan berdampak buruk terhadap pertumbuhan.
(hps) Next Article Waspada Peringatan Baru IMF
Most Popular