'Demam' Rupiah Agak Mereda, Tapi Masih Paling Lesu di Asia

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
11 December 2018 17:10
'Demam' Rupiah Agak Mereda, Tapi Masih Paling Lesu di Asia
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mengakhiri perdagangan di pasar spot dengan pelemahan. Meski melemah dan masih menyandang status sebagai mata uang terlemah di Asia, tetapi 'demam' rupiah sedikit mereda jelang penutupan perdagangan. 

Pada Selasa (11/12/2018), US$ 1 dihargai Rp 14.595 kala penutupan pasar spot. Rupiah melemah 0,31% dibandingkan posisi penutupan perdagangan sehari sebelumnya. 

Sejak pembukaan pasar, rupiah sudah melemah. Bahkan pelemahan rupiah semakin dalam seiring perjalanan pasar.


Dolar AS pun sempat nyaman di kisaran Rp 14.600. Namun jelang penutupan pasar, derita rupiah agak terangkat. Depresiasi rupiah menipis, dan dolar AS berhasil didorong ke bawah Rp 14.600. 


Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah sepanjang hari ini: 

 

Rupiah benar-benar tidak beruntung, karena mayoritas mata uang Asia mampu menguat di hadapan dolar AS. Pada awal-awal perdagangan, rupiah menjadi mata uang terlemah kedua di Asia, hanya lebih baik dibandingkan yuan. 


Akan tetapi, rupiah kemudian semakin melemah sementara yuan justru berbalik menguat. Akibatnya, rupiah menggeser yuan menjadi mata uang terlemah di Benua Kuning. Bahkan setelah depresiasi rupiah menipis, mata uang Tanah Air masih menjadi yang paling lesu. 


Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 16:34 WIB: 

 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Rupiah mampu memanfaatkan tekanan yang dialami dolar AS nyaris sepanjang hari ini. Pada pukul 16:37 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang utama dunia) melemah 0,27%.  

Dolar AS tertekan akibat sentimen negatif eksternal dan domestik. Dari sisi eksternal, dolar AS terbeban oleh perkembangan positif dari hubungan dagang AS-China.  

Mengutip Reuters, Wakil Perdana Menteri China Liu He telah berbicara melalui telepon dengan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer. Beijing dan Washington tengah menyusun rencana kerja sebagai tindak lanjut kesepakatan yang dibuat oleh Presiden AS Donald Trump dan Presiden China di Xi Jinping di Argentina awal bulan ini. 

"Kedua pihak (Liu-Mnuchin dan Lighthizer) bertukar pandangan mengenai implementasi dari konsensus yang dibuat oleh para pemimpin negara. Kedua pihak juga mendorong percepatan jadwal dan peta jalan (roadmap) pembicaraan di tingkat selanjutnya," sebut keterangan Kementerian Perdagangan China. 

Aura damai dagang AS-China kembali merebak dan investor berbunga-bunga. Arus modal pun menjauhi dolar AS, karena investor agak enggan bermain aman. Mata uang Asia mendapat berkahnya, sehingga penguatan merebak di Benua Kuning. 

Sementara dari dalam negeri, investor dibuat cemas karena muncul indikasi resesi di perekonomian Negeri Paman Sam. Tanda-tanda ini ada di pasar obligasi pemerintah. 

Pada pukul 16:42 WIB, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 2 tahun berada di 2,7415% sementara untuk tenor 3 tahun adalah 2,7514%. Lebih tinggi dibandingkan tenor 5 tahun yaitu 2,7344%. 

Yield tenor pendek yang lebih tinggi ketimbang tenor panjang sering disebut inverted yield. Bagi pelaku pasar, inverted yield (apalagi jika bertahan cukup lama) adalah prediktor bagi terjadinya resesi. Sebab, pelaku pasar menilai risiko dalam jangka pendek lebih tinggi dibandingkan jangka panjang. 


Rupiah juga mampu menipiskan pelemahan karena harga minyak yang berbalik turun, setelah hampir seharian menguat. Pada pukul 16:45 WIB, harga minyak jenis brent turun 0,27% dan light sweet berkurang 0,37%. 


Bagi rupiah, penurunan harga minyak adalah kabar bahagia. Apabila harga minyak turun, maka biaya untuk impor migas akan ikut berkurang. Dengan demikian, valas yang 'terbuang' untuk impor pun bisa dihemat sehingga rupiah punya lebih banyak modal untuk menguat. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Namun meski mampu menipiskan pelemahan, rupiah masih terjebak di zona merah. Sebab, ada sentimen domestik yang membebani rupiah. 

Bank Indonesia (BI) merilis penjualan ritel pada Oktober hanya tumbuh 2,9% year-on-year (YoY). Melambat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 4,8% YoY. Penjualan ritel sudah melambat selama 2 bulan beruntun.

Ini bisa diartikan bahwa masih ada masalah dalam konsumsi dan daya beli rumah tangga. Padahal konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari separuh dalam pembetukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Ketika konsumsi melambat, maka pertumbuhan ekonomi niscaya akan ikut terseret. 


Kemudian, risiko ambil untung (profit taking) juga masih menghantui rupiah. Meski hari ini melemah, tetapi dalam sebulan terakhir rupiah masih menguat 1,45% di hadapan dolar AS.

Bagi sebagian investor (terutama asing), angka ini sudah cukup menarik untuk mencairkan cuan. Akibatnya rupiah menjadi rawan terkena aksi jual sehingga risiko depresiasi masih tetap membayangi. 


Dua faktor itu membuat aset-aset berbasis rupiah mengalami tekanan jual. Di pasar saham, investor asing mencatatkan jual bersih Rp 1,01 triliun yang membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir melemah 0,57%. 


Sedangkan di pasar obligasi, aksi pelepasan terlihat dari kenaikan yield yang menandakan harga sedang turun. Pada pukul 16:51 WIB, yield obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun melonjak 17,1 basis poin (bps).



TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular