Dolar AS Mencium Bau Darah, Rupiah Terlemah Kedua di Asia

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
11 December 2018 08:49
Dolar AS Mencium Bau Darah, Rupiah Terlemah Kedua di Asia
Ilustrasi Dolar AS (REUTERS / Beawiharta)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Bahkan dolar AS sudah menyentuh Rp 14.600. 

Pada Selasa (11/12/2018), US$ 1 kala pembukaan pasar spot dihargai Rp 14.580. Rupiah melemah 0,21% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. 

Seiring perjalanan pasar, dolar AS kian berjaya. Pada pukul 08:12 WIB, US$ 1 sudah berada di Rp 14.610 di mana rupiah melemah 0,41%.

Dolar AS bak ikan hiu yang mencium bau darah, belum berhenti menyerang. Kini rupiah berada di posisi terlemah sejak 21 November.
 


Kemarin, rupiah ditutup melemah 0,59% dan menjadi mata uang terlemah kedua di Asia. Bila pelemahan rupiah pagi ini terus berlanjut, maka 'prestasi' yang sama bisa terulang hari ini. 


Sepertinya memang sedang sulit menandingi greenback. Pasalnya, mata uang Negeri Paman Sam sedang digdaya di Asia.  

Jika kemarin menjadi mata uang terlemah kedua, kini mengulang hal yang sama. Rupiah masih menjadi yang terlemah kedua di Asia, hanya lebih beruntung dari yuan China. 

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 08:14 WIB: 

 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Tidak hanya di Asia, dolar AS juga menguat secara global. Pada pukul 08:17 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,05%. 

Faktor eksternal dan internal mendukung penguatan dolar AS. Dari sisi eksternal, investor dibuat ketar-ketir dengan perkembangan di Inggris. 

Sedianya hari ini akan dilaksanakan voting Brexit di parlemen Negeri John Bull. Namun Perdana Menteri Theresa May memutuskan untuk menunda voting sembari berkonsultasi ke Uni Eropa. 

May mengakui bahwa bila voting digelar hari ini maka akan lebih banyak suara yang menolak proposal perceraian Inggris dengan Uni Eropa. Padahal proses negosiasi untuk menuju proposal tersebut memakan waktu yang tidak sebentar, yaitu 1,5 tahun. 

"Jika kami tetap menggelar voting, maka kesepakatan tersebut akan ditolak dengan seilisih suara yang signifikan," ujar May, mengutip Reuters. 

May kemudian mencoba berdialog dengan Brussel untuk mendapatkan jaminan bahwa tidak ada penerapan kebijakan pabean yang kaku di wilatah Kepulauan Irlandia (Irish Backstop). Isu kepabeanan di Irlandia memang menjadi pengganjal utama dalam Brexit. Sebab, Brexit hanya melibatkan Inggris dan tidak di wilayah persemakmurannya seperti Republik Irlandia dan Irlandia Utara. 

Namun sepertinya Uni Eropa sudah agak jengah. Donald Tusk, Presiden Dewan Uni Eropa, menegaskan sudah saatnya dunia bersiap untuk No Deal Brexit, yaitu Inggris tidak mendapat apapun dari perceraiannya dengan Uni Eropa. "Dengan waktu yang semakin sempit, kami juga akan mendikusikan mengenai potensi No Deal," ujar Tusk, mengutip Reuters. 

Jika No Deal Brexit terjadi, maka akan menjadi ancaman besar bagi perekonomian Negeri Ratu Elizabeth. Pasalnya, Inggris akan sulit berdagang dengan Uni Eropa karena produk-produknya dikenakan bea masuk. Sementara Uni Eropa adalah mitra dagang terbesar Inggris. 

Artinya, ekspor dan investasi Inggris akan terancam. Hasilnya adalah pertumbuhan ekonomi berpotensi melambat, bahkan lebih lambat ketimbang kala krisis keuangan global 10 tahun lalu, berdasarkan kajian Bank Sentral Inggris (BoE).

Melihat risiko yang begitu besar di Inggris, pelaku pasar memilih bermain aman. Aset-aset berisiko di negara berkembang dilepas dan arus modal mengarah ke dolar AS yang berstatus safe haven

Sedangkan dari dalam negeri, penguatan dolar AS disokong oleh rilis data terbaru di Negeri Adidaya. Kementerian Ketenagakerjaan AS melaporkan, pembukaan lapangan kerja pada Oktober meningkat dibandingkan bulan sebelumnya. 

Jobs Opening and Labor Turnover Survey (JOLTS) pada Oktober menghasilkan angka pembukaan lapangan kerja sebanyak 119.000 menjadi 7,1 juta. Naik 4,5% dibandingkan posisi September. 

Pasar tenaga kerja AS yang menggeliat ini bisa membuat The Federal Reserve/The Fed semakin yakin untuk menaikkan suku bunga acuan pada rapat bulan ini. Berdasarkan CME Fedwatch, kemungkinan Jerome 'Jay' Powell dan sejawat untuk menaikkan Federal Funds Rate sebesar 25 basis poin dalam rapat 19 Desember adalah 74,9%. 

Ditopang kabar kenaikan suku bunga acuan yang semakin kencang, dolar AS pun mendapat keuntungan. Kala suku bunga acuan naik, maka imbalan berinvestasi di AS (khususnya untuk instrumen berpendapatan tetap) akan ikut terangkat. Minat investor akan membludak, dan permintaan dolar AS bakal meningkat.


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Kemudian dari dalam negeri, data ekonomi terbaru tidak mengutungkan rupiah. Bank Indonesia (BI) merilis penjualan ritel pada Oktober hanya tumbuh 2,9% year-on-year (YoY). Melambat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 4,8% YoY. Penjualan ritel sudah melambat selama 2 bulan beruntun.

Ini bisa diartikan bahwa masih ada masalah dalam konsumsi dan daya beli rumah tangga. Padahal konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari separuh dalam pembetukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Ketika konsumsi melambat, maka pertumbuhan ekonomi niscaya akan ikut terseret.

Belum lagi faktor ambil untung yang masih menghantui rupiah. Meski hari ini melemah, tetapi dalam sebulan terakhir rupiah masih menguat 1,42% di hadapan dolar AS.

Bagi sebagian investor (terutama asing), angka ini sudah cukup menarik untuk mencairkan cuan. Akibatnya rupiah menjadi rawan terkena aksi jual sehingga risiko depresiasi masih tetap membayangi.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular