RI Bebaskan Pungutan Ekspor, Harga CPO Turun Pekan Ini

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
01 December 2018 17:42
RI Bebaskan Pungutan Ekspor, Harga CPO Turun Pekan Ini
Foto: Panen tandan buah segar kelapa sawit di kebun Cimulang, Candali, Bogor, Jawa Barat (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC IndonesiaDi sepanjang pekan lalu, harga minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) kontrak Februari 2019 di Bursa Derivatif Malaysia terkoreksi tipis 0,2% secara point-to-point. Harga CPO menutup pekan ini di level MYR 2.040/ton.

Hingga perdagangan hari Jumat (30/11/2018), sejatinya harga komoditas unggulan agrikultur Malaysia dan Indonesia mampu mencetak penguatan tiga hari berturut-turut.


Akan tetapi, penguatan beruntun itu belum mampu menutupi koreksi signifikan di awal pekan. Alhasil, harga CPO masih membukukan performa mingguan negatif di sepanjang pekan ini.

Sebagai informasi, pada penutupan perdagangan hari Senin (26/11/2018), harga CPO amblas 3,52% ke MYR 1.972/ton. Kala itu, harganya merupakan yang terendah dalam lebih dari tiga tahun terakhir, atau sejak akhir Agustus 2015.



Pada awal pekan ini, harga CPO mendapatkan tekanan dari ekspektasi melambungnya stok minyak kelapa sawit Malaysia di penghujung tahun 2018. Produksi Indonesia dan Malaysia memang diekspektasikan meningkat di dua bulan terakhir tahun ini, sesuai dengan pola musimannya.

Di saat produksi sedang kencang, permintaan malah cenderung lesu. Ekspor produk minyak kelapa sawit Malaysia dilaporkan turun 2,6% secara bulanan (month-to-month/MtM) ke 1,04 juta ton pada periode 1-25 November, berdasarkan survei kargo yang dilakukan Intertek Testing Services.

Dari survei lainnya yang dilakukan oleh Societe Generale de Surveillance (SGS), ekspor minyak kelapa sawit Negeri Jiran juga tercatat melemah 1% MtM ke 1,07 juta ton di periode yang sama.

Kedua hasil survei tersebut menunjukkan bahwa ekspor minyak kelapa sawit Negeri Jiran belum mampu pulih pasca-melemah sebesar 14,1% MtM pada bulan Oktober. Lesunya permintaan ini lantas mengonfirmasi kekhawatiran pelaku pasar akan permintaan yang loyo hingga akhir tahun ini.

Penyebab lesunya permintaan adalah stok minyak kedelai di India (importir CPO terbesar dunia) yang sedang tinggi-tingginya, sehingga mengurangi permintaan CPO. Sedangkan, permintaan dari Eropa dan China juga berkurang karena berlangsungnya musim dingin. Sebagai catatan, minyak kelapa sawit akan memadat pada cuaca yang dingin.

Pelemahan harga CPO kemudian diperparah oleh kebijakan pemerintah Indonesia yang menetapkan pungutan ekspor CPO menjadi US$ 0 per ton alias dinolkan, menyusul harga komoditas ini yang merosot.

Dalam konferensi pers hari Senin (26/11/2018), Menko Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, "Kami membahas pergerakan harga yang menurun dengan sangat cepat pada seminggu terakhir. Padahal 8-9 hari yang lalu masih bertahan cukup lama di kisaran 530 US$/Ton."

Darmin menuturkan, kondisi saat ini membutuhkan emergency measure untuk membantu harga di level petani. Adapun, mekanisme pungutan ekspor yang diputuskan oleh Komite Pengarah BPDP-KS adalah sebagai berikut:



Selama ini, adanya pungutan ekspor di Indonesia telah membantu harga CPO made in Malaysia lebih kompetitif.

Dengan adanya "pembebasan" pungutan ekspor di RI, produsen CPO di tanah air pun bisa berada di posisi yang lebih menguntungkan, atau minimal setara, dibandingkan dengan produsen di Malaysia. Alhasil, situasi ini berpotensi membuat ekspor CPO Malaysia akan semakin tertekan.

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)


Meski demikian, pasca-terbenam ke level terendahnya dalam 39 bulan terakhir, harga CPO langsung menginjak pedal gas. Hingga akhir pekan ini, harga CPO kemudian menguat tiga hari berturut-turut.

Faktor yang mendorong kenaikan harga CPO datang dari penguatan harga minyak kedelai, seiring adanya harapan investor terhadap hasil pertemuan Amerika Serikat (AS) dan China di pertemuan G20. Pada pertemuan tersebut, Washington dan Beijing diharapkan akan membicarakan konflik dagang yang terjadi di antara mereka.



Penasihat Ekonomi Gedung Putih Lawrence 'Larry' Kudlow menyatakan bahwa ada kemungkinan Washington dan Beijing akan mencapai kesepakatan yang signifikan.

"Ada kemungkinan yang cukup besar kami akan mencapai kesepakatan. Beliau (Presiden AS Donald Trump) terbuka untuk itu," kata Kudlow, mengutip Reuters.

Kemudian, menurut laporan Wall Street Journal (WSJ), AS-China sedang menjajaki kesepakatan perdagangan yang akan menghentikan pengenaan bea masuk tambahan dari Washington, sebagai ganti atas pembicaraan baru yang menargetkan perubahan besar terhadap kebijakan ekonomi Beijing, kata pejabat dari kedua pemerintah.

Perkembangan ini lantas melegakan pelaku pasar. Masih ada harapan Washington-Beijing bisa sama-sama melunak untuk mengakhiri perang dagang. Hal ini menjadi sentimen positif bahwa arus perdagangan kedelai akan kembali lancar ke depannya, tanpa hambatan bea masuk.

Seperti diketahui, harga CPO dipengaruhi oleh pergerakan harga minyak nabati lainnya, seiring mereka bersaing memperebutkan pangsa pasar minyak nabati global. Ketika harga kedelai naik, kecenderungannya adalah harga CPO akan ikut menguat.



Selain itu, harga CPO nampaknya sudah terlalu murah, sehingga membuat investor melakukan aksi beli (technical rebound). Sepanjang bulan November (hingga tanggal 26), harga CPO sudah melemah sebesar 8% lebih. Adapun, di sepanjang tahun 2018, harganya sudah ambrol sebesar 21% lebih.

Harga CPO juga sudah jatuh ke level yang dekat dengan biaya produksi perkebunan di Malaysia. Alhasil, hal ini dapat memaksa produsen untuk mengurangi penjualannya demi mencegah kerugian yang terlalu besar. Situasi ini kemudian berpotensi mengurangi pasokan ke pasar, dan akhirnya mampu sedikit menopang harga CPO jelang akhir pekan.


(TIM RISET CNBC INDONESIA)  


 
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular