
Hanya Naik 0,83% Sepekan Ini, IHSG Terlemah Ketiga di Asia
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
01 December 2018 10:50

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil mencatatkan performa mingguan yang positif di sepanjang pekan ini. Bursa saham Indonesia bergerak searah dengan kompatriotnya di Asia yang juga menguat.
Seminggu ini, IHSG naik 0,83% secara point-to-point. Pelemahan di akhir pekan, Jumat (30/11/2018), sukses menggerus penguatan signifikan IHSG sehari sebelumnya.
Mayoritas bursa saham utama Benua Kuning juga mampu membukukan performa yang positif dalam sepekan terakhir.
Secara mingguan, Straits Time naik 2,13%, Nikkei 225 melesat 3,25%, Shanghai Composite menguat 0,34%, Hang Seng melesat 2,23%, Kospi menanjak 1,91%, dan SET (Thailand) plus 1,21%. Hanya indeks KLCI (Malaysia) yang mencatatkan performa mingguan yang negatif, dengan melemah sebesar 0,94%.
Apabila dikomparasikan, penguatan mingguan IHSG ternyata relatif lebih kecil dari sebagian besar bursa saham utama lainnya. IHSG pun duduk di peringkat tiga dari bawah, hanya lebih baik dibandingkan indeks KLCI dan Shanghai.
Berikut ulasan Tim Riset CNBC Indonesia terkait sentimen apa saja yang menemani perjalanan IHSG dalam sepekan terakhir.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Positifnya perkembangan ekonomi dan politik dunia ternyata berhasil mengembuskan angin segar ke bursa saham Asia dalam sepekan terakhir. Pertama, dari Inggris, para pemimpin Uni Eropa akhirnya menyepakati draft perjanjian Brexit yang diajukan pemerintahan Perdana Menteri Inggris Theresa May.
PM May mengatakan dalam kesepakatan tersebut, Inggris tetap memiliki kewenangan untuk mengatur batas-batas wilayah dan anggarannya sendiri. Namun, London tetap membuat kebijakan yang serasi dengan Brussel sehingga menciptakan kepastian bagi para pelaku usaha.
Kedua, pemerintah Negeri Pizza semakin membuka diri untuk berdialog soal rancangan anggaran 2019. Pemerintahan Perdana Menteri Giuseppe Conte kini tidak lagi ngotot menggolkan defisit anggaran 2,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB) untuk tahun depan.
Ketiga, aura damai dagang Amerika Serikat (AS)-China. Penasihat Ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow menyatakan bahwa ada kemungkinan Washington dan Beijing akan mencapai kesepakatan yang signifikan kala Presiden AS Donald Trump bertemu Presiden China Xi Jinping di sela-sela KTT G-20 pada akhir bulan ini.
"Ada kemungkinan yang cukup besar kami akan mencapai kesepakatan. Beliau (Trump) terbuka untuk itu," kata Kudlow, mengutip Reuters.
Gayung bersambut, pernyataan Kudlow seakan diapresiasi oleh kubu China. Presiden Xi menyatakan bahwa China siap untuk lebih membuka diri terhadap perekonomian global, sesuatu yang selama ini menjadi tuntutan Trump.
"China akan terus berupaya untuk membuka diri, bahkan lebih dari apa yang dilakukan sekarang. China akan membuka akses kepada pasar, investasi, dan perlindungan terhadap kekayaan intelektual," tegas Xi di depan parlemen Negeri Tirai Bambu, dikutip dari Reuters.
Sebelumnya, Trump sempat mengatakan bahwa dirinya sudah bersiap-siap untuk mengenakan bea masuk baru bagi US$267 miliar produk China lainnya jika pertemuan dengan Xi Jingping tak membuahkan kesepakatan. Dengan perkembangan terakhir, masih ada harapan Trump melunak dan bisa sepaham dengan China untuk mengakhiri perang dagang.
Keempat, pernyataan dovish dari Gubernur The Federal Reserve/The Fed Jerome Powell bahwa suku bunga acuan sudah mendekati posisi netral, yang artinya tidak lagi bisa digunakan untuk meredam atau mempercepat pertumbuhan ekonomi.
"Suku bunga acuan masih rendah berdasarkan standar historis, dan berada sedikit di bawah rentang estimasi yang netral," ucap Powell, mengutip Reuters.
Aura dovish kembali dikonfirmasi oleh rilis notulensi rapat (minutes of meeting) The Fed edisi November 2018. Para peserta rapat semakin menggarisbawahi bahwa ada risiko yang menghantui perekonomian AS.
"Ada pertanda perlambatan di sektor-sektor yang sensitif terhadap suku bunga," sebut notulensi itu.
Kemudian, para peserta rapat juga menekankan pentingnya berkaca kepada data (data dependent) dalam pengambilan keputusan.
"Para peserta menyiratkan bahwa sepertinya dalam rapat-rapat ke depan perlu ada perubahan bahasa penyampaian, di mana ada kalimat yang menyatakan pentingnya evaluasi terhadap berbagai data dalam menentukan arah kebijakan. Perubahan ini akan membantu memandu Komite dalam situasi perekonomian yang dinamis," tulis notulensi tersebut.
Dengan perkembangan ini, The Fed mungkin akan mengurangi kadar kenaikan suku bunga acuan. Sebagai informasi, The Fed memproyeksikan akan ada sekali lagi kenaikan suku bunga acuan pada tahun ini, yakni pada bulan Desember. Untuk tahun depan, normalisasi diproyeksikan sebanyak tiga kali.
Kala perang dagang dengan China masih berkecamuk dan kala data ekonomi sudah memberikan sinyal perlambatan, normalisasi yang tak kelewat agresif memang merupakan pilihan terbaik bagi perekonomian AS dan dunia.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Situasi yang eksternal yang kondusif sebenarnya sempat membuat IHSG melesat nyaris 2% pada perdagangan hari Kamis (29/11/2018). Kala itu, indeks sektor jasa keuangan mampu naik hingga 2,12%.
Penguatan yang sudah cukup signifikan tersebut membuat membuat investor tergiur untuk melakukan ambil untung di akhir pekan. Apalagi, saham-saham bank BUKU IV sudah membukukan penguatan yang signifikan sejak akhir bulan lalu.
Sepanjang bulan November (hingga tanggal 29 November 2018), harga saham PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) melesat 17,78%, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) melambung 19,8%, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) naik 11,68%, dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) menguat 10,78%.
Alhasil, sektor jasa keuangan pun harus terkoreksi 1,52% di akhir pekan lalu, menjadi faktor utama yang membuat IHSG turun 0,84%.
Terlebih, sebenarnya ada sentimen negatif dari eksternal, yang kemudian dijadikan alasan investor untuk ambil untung. Berbicara di hadapan reporter sebelum meninggalkan Gedung Putih untuk terbang ke Argentina, Presiden AS Donald Trump mengatakan bahwa kesepakatan dagang dengan China sudah dekat namun dirinya tak yakin menginginkan hal tersebut terjadi.
“Saya rasa kami sangat dekat untuk melakukan sesuatu (kesepakatan) dengan China tetapi saya tidak tahu apakah saya ingin melakukannya,” papar Trump pada hari Kamis (29/11/2018).
“Karena apa yang kita nikmati sekarang adalah miliaran dolar mengalir ke AS dalam bentuk tarif dan pajak,” dirinya menambahkan lebih lanjut.
Akibat celetukan Trump tersebut, optimisme investor terkait perang dagang agak memudar. Akhirnya, pelaku pasar pun cenderung bermain aman sambil menunggu hasil pertemuan AS-China di G20.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(RHG/prm) Next Article Obral-obral, Deretan Saham LQ45 Ini Sudah Rebound Lagi Lho!
Seminggu ini, IHSG naik 0,83% secara point-to-point. Pelemahan di akhir pekan, Jumat (30/11/2018), sukses menggerus penguatan signifikan IHSG sehari sebelumnya.
Secara mingguan, Straits Time naik 2,13%, Nikkei 225 melesat 3,25%, Shanghai Composite menguat 0,34%, Hang Seng melesat 2,23%, Kospi menanjak 1,91%, dan SET (Thailand) plus 1,21%. Hanya indeks KLCI (Malaysia) yang mencatatkan performa mingguan yang negatif, dengan melemah sebesar 0,94%.
Apabila dikomparasikan, penguatan mingguan IHSG ternyata relatif lebih kecil dari sebagian besar bursa saham utama lainnya. IHSG pun duduk di peringkat tiga dari bawah, hanya lebih baik dibandingkan indeks KLCI dan Shanghai.
Berikut ulasan Tim Riset CNBC Indonesia terkait sentimen apa saja yang menemani perjalanan IHSG dalam sepekan terakhir.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Positifnya perkembangan ekonomi dan politik dunia ternyata berhasil mengembuskan angin segar ke bursa saham Asia dalam sepekan terakhir. Pertama, dari Inggris, para pemimpin Uni Eropa akhirnya menyepakati draft perjanjian Brexit yang diajukan pemerintahan Perdana Menteri Inggris Theresa May.
PM May mengatakan dalam kesepakatan tersebut, Inggris tetap memiliki kewenangan untuk mengatur batas-batas wilayah dan anggarannya sendiri. Namun, London tetap membuat kebijakan yang serasi dengan Brussel sehingga menciptakan kepastian bagi para pelaku usaha.
Kedua, pemerintah Negeri Pizza semakin membuka diri untuk berdialog soal rancangan anggaran 2019. Pemerintahan Perdana Menteri Giuseppe Conte kini tidak lagi ngotot menggolkan defisit anggaran 2,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB) untuk tahun depan.
Ketiga, aura damai dagang Amerika Serikat (AS)-China. Penasihat Ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow menyatakan bahwa ada kemungkinan Washington dan Beijing akan mencapai kesepakatan yang signifikan kala Presiden AS Donald Trump bertemu Presiden China Xi Jinping di sela-sela KTT G-20 pada akhir bulan ini.
"Ada kemungkinan yang cukup besar kami akan mencapai kesepakatan. Beliau (Trump) terbuka untuk itu," kata Kudlow, mengutip Reuters.
Gayung bersambut, pernyataan Kudlow seakan diapresiasi oleh kubu China. Presiden Xi menyatakan bahwa China siap untuk lebih membuka diri terhadap perekonomian global, sesuatu yang selama ini menjadi tuntutan Trump.
"China akan terus berupaya untuk membuka diri, bahkan lebih dari apa yang dilakukan sekarang. China akan membuka akses kepada pasar, investasi, dan perlindungan terhadap kekayaan intelektual," tegas Xi di depan parlemen Negeri Tirai Bambu, dikutip dari Reuters.
Sebelumnya, Trump sempat mengatakan bahwa dirinya sudah bersiap-siap untuk mengenakan bea masuk baru bagi US$267 miliar produk China lainnya jika pertemuan dengan Xi Jingping tak membuahkan kesepakatan. Dengan perkembangan terakhir, masih ada harapan Trump melunak dan bisa sepaham dengan China untuk mengakhiri perang dagang.
Keempat, pernyataan dovish dari Gubernur The Federal Reserve/The Fed Jerome Powell bahwa suku bunga acuan sudah mendekati posisi netral, yang artinya tidak lagi bisa digunakan untuk meredam atau mempercepat pertumbuhan ekonomi.
"Suku bunga acuan masih rendah berdasarkan standar historis, dan berada sedikit di bawah rentang estimasi yang netral," ucap Powell, mengutip Reuters.
Aura dovish kembali dikonfirmasi oleh rilis notulensi rapat (minutes of meeting) The Fed edisi November 2018. Para peserta rapat semakin menggarisbawahi bahwa ada risiko yang menghantui perekonomian AS.
"Ada pertanda perlambatan di sektor-sektor yang sensitif terhadap suku bunga," sebut notulensi itu.
Kemudian, para peserta rapat juga menekankan pentingnya berkaca kepada data (data dependent) dalam pengambilan keputusan.
"Para peserta menyiratkan bahwa sepertinya dalam rapat-rapat ke depan perlu ada perubahan bahasa penyampaian, di mana ada kalimat yang menyatakan pentingnya evaluasi terhadap berbagai data dalam menentukan arah kebijakan. Perubahan ini akan membantu memandu Komite dalam situasi perekonomian yang dinamis," tulis notulensi tersebut.
Dengan perkembangan ini, The Fed mungkin akan mengurangi kadar kenaikan suku bunga acuan. Sebagai informasi, The Fed memproyeksikan akan ada sekali lagi kenaikan suku bunga acuan pada tahun ini, yakni pada bulan Desember. Untuk tahun depan, normalisasi diproyeksikan sebanyak tiga kali.
Kala perang dagang dengan China masih berkecamuk dan kala data ekonomi sudah memberikan sinyal perlambatan, normalisasi yang tak kelewat agresif memang merupakan pilihan terbaik bagi perekonomian AS dan dunia.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Situasi yang eksternal yang kondusif sebenarnya sempat membuat IHSG melesat nyaris 2% pada perdagangan hari Kamis (29/11/2018). Kala itu, indeks sektor jasa keuangan mampu naik hingga 2,12%.
Penguatan yang sudah cukup signifikan tersebut membuat membuat investor tergiur untuk melakukan ambil untung di akhir pekan. Apalagi, saham-saham bank BUKU IV sudah membukukan penguatan yang signifikan sejak akhir bulan lalu.
Sepanjang bulan November (hingga tanggal 29 November 2018), harga saham PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) melesat 17,78%, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) melambung 19,8%, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) naik 11,68%, dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) menguat 10,78%.
Alhasil, sektor jasa keuangan pun harus terkoreksi 1,52% di akhir pekan lalu, menjadi faktor utama yang membuat IHSG turun 0,84%.
Terlebih, sebenarnya ada sentimen negatif dari eksternal, yang kemudian dijadikan alasan investor untuk ambil untung. Berbicara di hadapan reporter sebelum meninggalkan Gedung Putih untuk terbang ke Argentina, Presiden AS Donald Trump mengatakan bahwa kesepakatan dagang dengan China sudah dekat namun dirinya tak yakin menginginkan hal tersebut terjadi.
“Saya rasa kami sangat dekat untuk melakukan sesuatu (kesepakatan) dengan China tetapi saya tidak tahu apakah saya ingin melakukannya,” papar Trump pada hari Kamis (29/11/2018).
“Karena apa yang kita nikmati sekarang adalah miliaran dolar mengalir ke AS dalam bentuk tarif dan pajak,” dirinya menambahkan lebih lanjut.
Akibat celetukan Trump tersebut, optimisme investor terkait perang dagang agak memudar. Akhirnya, pelaku pasar pun cenderung bermain aman sambil menunggu hasil pertemuan AS-China di G20.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(RHG/prm) Next Article Obral-obral, Deretan Saham LQ45 Ini Sudah Rebound Lagi Lho!
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular