
Newsletter
Prittt! Babak Baru Perang Dagang AS vs China Dimulai!
Raditya Hanung & Hidayat Setiaji & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
24 September 2018 05:36

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia melaju pada perdagangan pekan lalu. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat, sementara rupiah terapresiasi terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Hal serupa juga terjadi di Asia, pertanda bahwa investor sedang tidak bermain aman dan cenderung abai terhadap risiko (risk-off).
Dalam 5 hari perdagangan terakhir, IHSG melesat 2,29%. Meski performa IHSG bisa dibilang impresif, ternyata tidak seberapa dibandingkan beberapa bursa saham Benua Kuning.
Selama periode yang sama, indeks Nikkei 225 lompat 3,68%, Hang Seng meroket 3,79%, Shanghai Composite terbang 5,49%, dan Straits Time naik 2,43%. Mungkin hanya Kospi yang penguatannya tidak lebih baik dari IHSG, karena 'hanya' 1,57%.
Sementara selama 5 hari perdagangan terakhir, rupiah menguat 0,36% di hadapan greenback. Tidak hanya rupiah, beberapa mata uang Asia pun menguat pada pekan lalu.
Won Korea Selatan menguat 1,01%, rupee India terapresiasi 0,41%, dolar Singapura menguat 0,56%, ringgit Malaysia terapresiasi 0,22%, dan baht Thailand menguat 0,46%. Namun yen Jepang dan yuan China malah melemah masing-masing 0,65% dan 0,03%.
Sentimen utama yang mewarnai pasar keuangan Asia pekan lalu adalah babak baru perang dagang AS vs China. Kini investor menilai dampak perang dagang tidak semenakutkan yang dikira.
Awal pekan lalu, Presiden AS Donald Trump mengumumkan bakal menerapkan bea masuk 10% baru bagi US$ 200 miliar importasi dari China, berlaku mulai 24 September. China kemudian membalas dengan bea masuk 10% bagi impor produk-produk AS senilai US$ 60 miliar, juga berlaku 24 September.
Meski masih 'berbalas pantun', tetapi tarif yang dikenakan masing-masing negara lebih rendah dari perkiraan sebelumnya. AS awalnya diperkirakan menerapkan bea masuk 25%, sementara China 20%.
Oleh karena itu, pelaku pasar membaca bahwa bea masuk ini hanya gertakan jelang pertemuan AS-China. Sebelumnya, Washington dan Beijing mengonfirmasi akan mengadakan perundingan dagang dalam waktu dekat.
Selain itu, isu perang dagang berbalik menjadi bumerang bagi dolar AS. Meski Trump selalu mengumandangkan slogan America First, tetapi Negeri Adidaya masih membutuhkan barang impor karena belum bisa dipenuhi oleh industri dalam negeri.
Apabila impor dari China semakin mahal karena pengenaan bea masuk, maka hasilnya adalah ekonomi biaya tinggi. Inflasi akan terakselerasi, sementara pertumbuhan industri dan investasi akan terancam. Akibatnya, prospek pertumbuhan ekonomi AS menjadi penuh tanda tanya.
Sentimen ini yang membuat investor malah berani mengambil risiko, risk appetite pelaku pasar sudah kembali. Aliran dana mengalir deras ke berbagai penjuru mata angin, termasuk ke Asia. Hasilnya adalah bursa saham dan mata uang Benua Kuning menguat, termasuk di Indonesia.
Dalam 5 hari perdagangan terakhir, IHSG melesat 2,29%. Meski performa IHSG bisa dibilang impresif, ternyata tidak seberapa dibandingkan beberapa bursa saham Benua Kuning.
Selama periode yang sama, indeks Nikkei 225 lompat 3,68%, Hang Seng meroket 3,79%, Shanghai Composite terbang 5,49%, dan Straits Time naik 2,43%. Mungkin hanya Kospi yang penguatannya tidak lebih baik dari IHSG, karena 'hanya' 1,57%.
Sementara selama 5 hari perdagangan terakhir, rupiah menguat 0,36% di hadapan greenback. Tidak hanya rupiah, beberapa mata uang Asia pun menguat pada pekan lalu.
Won Korea Selatan menguat 1,01%, rupee India terapresiasi 0,41%, dolar Singapura menguat 0,56%, ringgit Malaysia terapresiasi 0,22%, dan baht Thailand menguat 0,46%. Namun yen Jepang dan yuan China malah melemah masing-masing 0,65% dan 0,03%.
Sentimen utama yang mewarnai pasar keuangan Asia pekan lalu adalah babak baru perang dagang AS vs China. Kini investor menilai dampak perang dagang tidak semenakutkan yang dikira.
Awal pekan lalu, Presiden AS Donald Trump mengumumkan bakal menerapkan bea masuk 10% baru bagi US$ 200 miliar importasi dari China, berlaku mulai 24 September. China kemudian membalas dengan bea masuk 10% bagi impor produk-produk AS senilai US$ 60 miliar, juga berlaku 24 September.
Meski masih 'berbalas pantun', tetapi tarif yang dikenakan masing-masing negara lebih rendah dari perkiraan sebelumnya. AS awalnya diperkirakan menerapkan bea masuk 25%, sementara China 20%.
Oleh karena itu, pelaku pasar membaca bahwa bea masuk ini hanya gertakan jelang pertemuan AS-China. Sebelumnya, Washington dan Beijing mengonfirmasi akan mengadakan perundingan dagang dalam waktu dekat.
Selain itu, isu perang dagang berbalik menjadi bumerang bagi dolar AS. Meski Trump selalu mengumandangkan slogan America First, tetapi Negeri Adidaya masih membutuhkan barang impor karena belum bisa dipenuhi oleh industri dalam negeri.
Apabila impor dari China semakin mahal karena pengenaan bea masuk, maka hasilnya adalah ekonomi biaya tinggi. Inflasi akan terakselerasi, sementara pertumbuhan industri dan investasi akan terancam. Akibatnya, prospek pertumbuhan ekonomi AS menjadi penuh tanda tanya.
Sentimen ini yang membuat investor malah berani mengambil risiko, risk appetite pelaku pasar sudah kembali. Aliran dana mengalir deras ke berbagai penjuru mata angin, termasuk ke Asia. Hasilnya adalah bursa saham dan mata uang Benua Kuning menguat, termasuk di Indonesia.
Next Page
Musuh Wall Street Adalah Dirinya Sendiri
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular