
Darmin Buka-bukaan Soal Kelemahan Fundamental Ekonomi RI
Rivi Satrianegara, CNBC Indonesia
02 August 2018 17:06

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution buka-bukaan tentang kondisi fundamental Indonesia dan tergantungan akan dana asing. Hal ini disampaikan dalam acara bertajuk Business Lunch with Jusuf Kalla dengan tema Waspada Ekonomi Indonesia di Tahun Politik.
Berikut pidato lengkap Darmin Nasution pada acara yang diselenggarakan di Hotel Aryaduta, Jakarta pada Kamis (2/7/2018).
Yang kedua yang ingin saya sampaikan adalah, tadi Pak JK (Jusuf Kalla) menyinggung ini. Sebenarnya ada satu kelemahan fundamental ekonomi kita, secara teknis ukuran orang bilang saving (simpanan) kita rendah.
Sehingga kita selalu perlu modal asing bukan hanya untuk investasi, foreign direct investment (FDI), kita bahkan perlu dana asing untuk membeli sebagain saham kita di pasar modal, untuk membeli sebagian obligasi negara yang diterbitkan oleh pemerintah.
Obligasi negara kita itu, kira 39%-40% [dimiliki investor] asing. Saham kita di pasar modal, Anda tahu, angkanya tak pernah dikeluarkan secar official tapi orang perkirakan sekitar 50% asing. Ada yang mengatakan antara 45% - 50% itulah.
Malaysia berapa? Thailand berapa? Kira-kira 12-14 persen. Itu sebabnya setiap kali ada goncangan sedikit di dunia, kalau goncangan seminggu kita cukup tegar menghadapinya. Tapi kalau berbulan-bulan, kita mulai repot karena terlalu banyak asing.
Tapi sebetulnya kita bukan termasuk negara [dengan] masyarakat yang boros sekali sehingga savingnya rendah. Salah satu sumber utama dari saving rendah itu karena ada kebocoran dari ekonomi kita. Saya tak sedang bicara korupsi, yang saya mau cerita disinggung tadi Pak JK (devisa hasil ekspor/DHE).
Bahwa dari angka-angka yg dipunyai BI (Bank Indonesia), semua ekspor kita yang masuk devisanya itu 80% - 81%. Dalam kaidah ekonomi kalau devisa tidak masuk, itu bocor, namanya. Ekonominya bocor. Sehingga mengurangi cadev (cadagan devisa), juga mengurangi kemampuan penambahan uang beredarnya. Karena tambahan uang beredar itu akan sangat langsung kalau valasnya masuk. Kalau Anda lihat di BI, mengenai uang-uang yg beredar salah satu di antaranya adalah ekspor-impor.
Nah, kenapa begitu banyak yang tidak masuk? Pertama karena aturan dan UU kita membolehkan begitu. Wakut saya Gubernur BI beberapa tahun lalu, mungkin 2011, itu untuk memaksa [DHE] menjadi 80%, waktu itu mendekati 85%. Itu pergulatan dua tahun menghadapi dunia usaha, terutama [perusahaan] migas dan pertambangan. Itu melawan dia, UU boleh kenapa Anda suruh-suruh saya.
Kalau dulu kita tak bisa, waktu itu masih ada BP migas. Kalau kita tak bis berunding dengan BP migas, kita bilang 'eh ini minyak republik loh ini. Ini bagi hasil. You ga mau, you ga boleh ekpsor, yg akan ekspor BP migas. Sekarang 80-81% itu pun belum selesai ceritanya. Dimana dipake apa uang itu?
Kalau dia tukar ke rupiah, [DHE] yang 80-81% itu bagus sekali. Satu valas masuk ke BI jadi cadev. Yang kedua, rupiah yang diciptakannya, itu hubungan dengan rupiah. Rupiah yg diciptakan akan menciptakan kebutuhan. Yang terjadi adalah tadi 80-81% masuk berarti 19%-20% tidak masuk. Kemudian berapa yang ditukar ke rupiah, 15%.
Terus yang 70% jadi apa? Ya dia bikin tabungan, gito, deposito, dalam dolar [AS]. Apa jeleknya kalau itu dilakukan? Bank, kalau menerima valas, dari dunia usaha, dibuat dalam tabungan. Dia gak berani pinjamkan dong. Apalagi hanya giro, besok bisa dia ambil itu duit. Itu valas bisa diambil, namanya juga punya dia.
Kalau dia ambil, ada aturan secara moneter namanya net open position. Anda [transaksi valas] hanya boleh melampau sekian, kalau gak Anda di punish (hukum). Ya dia gak pinjamkan. Bank itu diapain [dana DHE] sama dia? Dia taruh di frankfurt, bank di sana, atau Singapura, atau di Hong Kong. Bunganya paling 0,8% 0,7% mungkin 0,6%.
Ini dia, sumber yang relatif besar kalau bukan paling besar dari saving yang rendah. Itu artinya kita selalu perlu, bukan hanya modal asing untuk investasi tetapi untuk membeli saham kita. Membeli obligasi kita. Kalau batuk-batuj ekonomi secara internasional, terbang dia ( nilai tukar dolar AS). Beda dengan kalau dia bikin pabrik, mana bisa digotong keluar.
Kemudian BI yang jadi garda terdepan, dia [eksportir] jual harus dibeli BI. Kalau ga dibeli kursnya lemah. Nah, oleh karena itu menghadapi situasi dimana ekonomi dunia sebetulnya sedang membaik walau nanti ada fenomena [Presiden] Trump. Drunken master.
Sebenarnya dengan situasi ini maka kemudian pemerintah merumuskan kembali fokus strategi kita untuk jangan ketinggalan dalam perkembangan ekonomi dunia yg sedang mejadi cepat ini. Kalau negara seperti malaysia, Thailand dimana ekspor bisa 40%-50%-70% dari GDP. Begitu ekonomi membaik, pasti pertumbuhannya meningkat dengan cepat.
Anda boleh lihat perbandingan pertumbuhan kita dengan dua tahun lalu, antara kita, Malaysia dan Thailand. Tadinya mereka ketinggalan jauh dari kita karena ekononomi dunia lambat. Siapa yang bisa ciptakan demand dalam negeri, dialah yg unggul. Begtu ekonomi dunia meningkat, ekonomi Pak Trump katanya pertumbuhan 4% itu dari mana orang bingung, biasanya 2,2% - 2,1%.
(roy/roy) Next Article Rupiah Bergejolak, Darmin Sebut Ekonomi Bocor
Berikut pidato lengkap Darmin Nasution pada acara yang diselenggarakan di Hotel Aryaduta, Jakarta pada Kamis (2/7/2018).
Yang kedua yang ingin saya sampaikan adalah, tadi Pak JK (Jusuf Kalla) menyinggung ini. Sebenarnya ada satu kelemahan fundamental ekonomi kita, secara teknis ukuran orang bilang saving (simpanan) kita rendah.
Malaysia berapa? Thailand berapa? Kira-kira 12-14 persen. Itu sebabnya setiap kali ada goncangan sedikit di dunia, kalau goncangan seminggu kita cukup tegar menghadapinya. Tapi kalau berbulan-bulan, kita mulai repot karena terlalu banyak asing.
Tapi sebetulnya kita bukan termasuk negara [dengan] masyarakat yang boros sekali sehingga savingnya rendah. Salah satu sumber utama dari saving rendah itu karena ada kebocoran dari ekonomi kita. Saya tak sedang bicara korupsi, yang saya mau cerita disinggung tadi Pak JK (devisa hasil ekspor/DHE).
Bahwa dari angka-angka yg dipunyai BI (Bank Indonesia), semua ekspor kita yang masuk devisanya itu 80% - 81%. Dalam kaidah ekonomi kalau devisa tidak masuk, itu bocor, namanya. Ekonominya bocor. Sehingga mengurangi cadev (cadagan devisa), juga mengurangi kemampuan penambahan uang beredarnya. Karena tambahan uang beredar itu akan sangat langsung kalau valasnya masuk. Kalau Anda lihat di BI, mengenai uang-uang yg beredar salah satu di antaranya adalah ekspor-impor.
Nah, kenapa begitu banyak yang tidak masuk? Pertama karena aturan dan UU kita membolehkan begitu. Wakut saya Gubernur BI beberapa tahun lalu, mungkin 2011, itu untuk memaksa [DHE] menjadi 80%, waktu itu mendekati 85%. Itu pergulatan dua tahun menghadapi dunia usaha, terutama [perusahaan] migas dan pertambangan. Itu melawan dia, UU boleh kenapa Anda suruh-suruh saya.
Kalau dulu kita tak bisa, waktu itu masih ada BP migas. Kalau kita tak bis berunding dengan BP migas, kita bilang 'eh ini minyak republik loh ini. Ini bagi hasil. You ga mau, you ga boleh ekpsor, yg akan ekspor BP migas. Sekarang 80-81% itu pun belum selesai ceritanya. Dimana dipake apa uang itu?
Kalau dia tukar ke rupiah, [DHE] yang 80-81% itu bagus sekali. Satu valas masuk ke BI jadi cadev. Yang kedua, rupiah yang diciptakannya, itu hubungan dengan rupiah. Rupiah yg diciptakan akan menciptakan kebutuhan. Yang terjadi adalah tadi 80-81% masuk berarti 19%-20% tidak masuk. Kemudian berapa yang ditukar ke rupiah, 15%.
Terus yang 70% jadi apa? Ya dia bikin tabungan, gito, deposito, dalam dolar [AS]. Apa jeleknya kalau itu dilakukan? Bank, kalau menerima valas, dari dunia usaha, dibuat dalam tabungan. Dia gak berani pinjamkan dong. Apalagi hanya giro, besok bisa dia ambil itu duit. Itu valas bisa diambil, namanya juga punya dia.
Kalau dia ambil, ada aturan secara moneter namanya net open position. Anda [transaksi valas] hanya boleh melampau sekian, kalau gak Anda di punish (hukum). Ya dia gak pinjamkan. Bank itu diapain [dana DHE] sama dia? Dia taruh di frankfurt, bank di sana, atau Singapura, atau di Hong Kong. Bunganya paling 0,8% 0,7% mungkin 0,6%.
Ini dia, sumber yang relatif besar kalau bukan paling besar dari saving yang rendah. Itu artinya kita selalu perlu, bukan hanya modal asing untuk investasi tetapi untuk membeli saham kita. Membeli obligasi kita. Kalau batuk-batuj ekonomi secara internasional, terbang dia ( nilai tukar dolar AS). Beda dengan kalau dia bikin pabrik, mana bisa digotong keluar.
Kemudian BI yang jadi garda terdepan, dia [eksportir] jual harus dibeli BI. Kalau ga dibeli kursnya lemah. Nah, oleh karena itu menghadapi situasi dimana ekonomi dunia sebetulnya sedang membaik walau nanti ada fenomena [Presiden] Trump. Drunken master.
Sebenarnya dengan situasi ini maka kemudian pemerintah merumuskan kembali fokus strategi kita untuk jangan ketinggalan dalam perkembangan ekonomi dunia yg sedang mejadi cepat ini. Kalau negara seperti malaysia, Thailand dimana ekspor bisa 40%-50%-70% dari GDP. Begitu ekonomi membaik, pasti pertumbuhannya meningkat dengan cepat.
Anda boleh lihat perbandingan pertumbuhan kita dengan dua tahun lalu, antara kita, Malaysia dan Thailand. Tadinya mereka ketinggalan jauh dari kita karena ekononomi dunia lambat. Siapa yang bisa ciptakan demand dalam negeri, dialah yg unggul. Begtu ekonomi dunia meningkat, ekonomi Pak Trump katanya pertumbuhan 4% itu dari mana orang bingung, biasanya 2,2% - 2,1%.
(roy/roy) Next Article Rupiah Bergejolak, Darmin Sebut Ekonomi Bocor
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular