
Keputusan Trump Dorong Harga Minyak Naik 3% Pekan Ini
Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
12 May 2018 19:30

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak bergerak tergelincir ke zona merah pada perdagangan hari Jumat (11/5), di mana light sweet untuk kontrak pengiriman Juni 2018 melemah hingga 0,93% ke US$70,7/barel, sementara brent untuk kontrak pengiriman Juli 2018 terkoreksi 0,45% ke US$77,12/barel.
Meski demikian, dalam sepekan ini, lightsweet yang menjadi acuan di Amerika Serikat (AS) mampu tumbuh hingga 1,41%, sementara brent yang menjadi acuan di Benua Eropa mampu melambung lebih tinggi lagi dengan membukukan penguatan sebesar 3%.
Pekan ini, pergerakan minyak diwarnai oleh keputusan presiden AS Donald Trump pada hari Selasa (7/5) waktu setempat, untuk keluar dari kesepakatan nuklir Iran dan memulihkan sanksi bagi Negeri Persia. Setelah pengumuman itu dibuat, harga minyak langsung menanjak tajam hingga mencetak rekor tertingginya sejak November 2014 di angka US$71,36/barel (lightsweet) dan US$77,47/barel (brent).
Sebagai informasi, Iran mengekspor minyak sebanyak 450.000 barel/hari ke Eropa dan 1,8 juta barel/hari ke Asia. Dengan sanksi ekonomi, dunia akan kehilangan potensi tersebut dan berujung pada kenaikan harga sang emas hitam.
Bank Investasi AS Jefferies juga mengekpektasikan ekspor minyak mentah Iran akan anjlok dalam beberapa bulan ke depan.
"Kita mengekspektasikan pada sekitar bulan Oktober (2018), ekspor (minyak mentah) Iran akan jatuh sebesar 500.000 barel per hari (bph), dan kemudian akan terus jatuh hingga 1 juta bph," ucap bank tersebut, seperti dikutip dari CNBC International.
Tidak hanya sampai situ, mundurnya Negeri Paman Sam dari kesepakatan nuklir yang dibuat pada 2015 tersebut, ternyata berbuntut panjang. Tensi geopolitik di Timur Tengah kini mulai mengarah ke konflik bersenjata.
Pasca pengumuman Trump, Israel (yang merupakan sekutu utama AS) menyerang pasukan Iran yang membantu pemerintah Suriah memerangi pemberontak dan ISIS. Negeri Zionis berdalih bahwa serangan tersebut diluncurkan sebagai balasan serangan misil kubu Suriah ke Dataran Tinggi Golan.
Jika skala perang semakin meluas, maka harga minyak masih berpotensi semakin melambung. Pasalnya, produksi dan distribusi minyak dari Timur Tengah dipastikan akan semakin terganggu.
Namun, pada akhir pekan, harga minyak mendapatkan energi negatif dari munculnya indikasi bahwa AS dan Arab Saudi akan menambah pasokan minyak mereka ke pasar global, dengan tujuan untuk menggantikan hilangnya pasokan dari Iran.
"Arab Saudi akan bekerjasama dengan negara-negara produsen minyak lainnya untuk meminimalkan dampak dari potensi berkurangnya pasokan. Terkait keputusan AS untuk menarik diri dari kesepakatan nuklir dengan Iran, Arab Saudi berkomitmen untuk mendukung stabilitas pasar minyak," sebut pernyataan Kementerian Perminyakan Arab Saudi, seperti dikutip dari Reuters.
Selain itu, saat ini produksi minyak mentah mingguan Negeri Paman Sam masih tercatat amat perkasa dengan berada di angka 10,7 juta barel bph atau kembali mencatatkan rekor sepanjang sejarah negeri adidaya tersebut. Dengan catatan itu, produksi emas hitam AS sudah naik 27% sejak pertengahan 2016, dan sudah menyalip produksi sang pemimpin OPEC Arab Saudi.
Saat ini, hanya Rusia yang mampu memproduksi minyak mentah lebih banyak dari AS, dengan volume produksi sekitar 11 juta bph. Namun, banyak analis telah meprediksikan bahwa AS akan mampu menyalip Rusia di akhir tahun ini, apabila laju produksi AS masih kuat seperti saat ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(roy) Next Article Aktivitas Pengeboran AS Meningkat, Harga Minyak Melandai
Meski demikian, dalam sepekan ini, lightsweet yang menjadi acuan di Amerika Serikat (AS) mampu tumbuh hingga 1,41%, sementara brent yang menjadi acuan di Benua Eropa mampu melambung lebih tinggi lagi dengan membukukan penguatan sebesar 3%.
![]() |
Pekan ini, pergerakan minyak diwarnai oleh keputusan presiden AS Donald Trump pada hari Selasa (7/5) waktu setempat, untuk keluar dari kesepakatan nuklir Iran dan memulihkan sanksi bagi Negeri Persia. Setelah pengumuman itu dibuat, harga minyak langsung menanjak tajam hingga mencetak rekor tertingginya sejak November 2014 di angka US$71,36/barel (lightsweet) dan US$77,47/barel (brent).
Sebagai informasi, Iran mengekspor minyak sebanyak 450.000 barel/hari ke Eropa dan 1,8 juta barel/hari ke Asia. Dengan sanksi ekonomi, dunia akan kehilangan potensi tersebut dan berujung pada kenaikan harga sang emas hitam.
"Kita mengekspektasikan pada sekitar bulan Oktober (2018), ekspor (minyak mentah) Iran akan jatuh sebesar 500.000 barel per hari (bph), dan kemudian akan terus jatuh hingga 1 juta bph," ucap bank tersebut, seperti dikutip dari CNBC International.
Tidak hanya sampai situ, mundurnya Negeri Paman Sam dari kesepakatan nuklir yang dibuat pada 2015 tersebut, ternyata berbuntut panjang. Tensi geopolitik di Timur Tengah kini mulai mengarah ke konflik bersenjata.
Pasca pengumuman Trump, Israel (yang merupakan sekutu utama AS) menyerang pasukan Iran yang membantu pemerintah Suriah memerangi pemberontak dan ISIS. Negeri Zionis berdalih bahwa serangan tersebut diluncurkan sebagai balasan serangan misil kubu Suriah ke Dataran Tinggi Golan.
Jika skala perang semakin meluas, maka harga minyak masih berpotensi semakin melambung. Pasalnya, produksi dan distribusi minyak dari Timur Tengah dipastikan akan semakin terganggu.
Namun, pada akhir pekan, harga minyak mendapatkan energi negatif dari munculnya indikasi bahwa AS dan Arab Saudi akan menambah pasokan minyak mereka ke pasar global, dengan tujuan untuk menggantikan hilangnya pasokan dari Iran.
"Arab Saudi akan bekerjasama dengan negara-negara produsen minyak lainnya untuk meminimalkan dampak dari potensi berkurangnya pasokan. Terkait keputusan AS untuk menarik diri dari kesepakatan nuklir dengan Iran, Arab Saudi berkomitmen untuk mendukung stabilitas pasar minyak," sebut pernyataan Kementerian Perminyakan Arab Saudi, seperti dikutip dari Reuters.
Selain itu, saat ini produksi minyak mentah mingguan Negeri Paman Sam masih tercatat amat perkasa dengan berada di angka 10,7 juta barel bph atau kembali mencatatkan rekor sepanjang sejarah negeri adidaya tersebut. Dengan catatan itu, produksi emas hitam AS sudah naik 27% sejak pertengahan 2016, dan sudah menyalip produksi sang pemimpin OPEC Arab Saudi.
Saat ini, hanya Rusia yang mampu memproduksi minyak mentah lebih banyak dari AS, dengan volume produksi sekitar 11 juta bph. Namun, banyak analis telah meprediksikan bahwa AS akan mampu menyalip Rusia di akhir tahun ini, apabila laju produksi AS masih kuat seperti saat ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(roy) Next Article Aktivitas Pengeboran AS Meningkat, Harga Minyak Melandai
Most Popular