Aktivitas Pengeboran AS Meningkat, Harga Minyak Melandai

Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
14 May 2018 10:32
Harga minyak bergerak melemah pada perdagangan awal pekan ini, didorong oleh meningkatnya aktivitas pengeboran minyak di Amerika Serikat (AS).
Foto: skkmigas.go.id
Jakarta, CNBC IndonesiaHarga minyak bergerak melemah pada perdagangan awal pekan ini, didorong oleh meningkatnya aktivitas pengeboran minyak di Amerika Serikat (AS). Hingga pukul 09.30 WIB, harga minyak jenis light sweet untuk kontrak pengiriman Juni 2018 melemah hingga 0,25% ke US$70,52/barel, sementara brent untuk kontrak pengiriman Juli 2018 terkoreksi 0,43% ke US$76,79/barel.

Meski demikian, harga minyak masih bergerak di dekat nilai tertingginya sejak November 2014, yakni di angka US$71,89/barel (lightsweet) dan US$78/barel (brent). Rekor tersebut dicapai pekan lalu, pasca presiden AS Donald Trump memutuskan untuk keluar dari kesepakatan nuklir Iran, dan dipastikan akan memulihkan sanksi bagi Negeri Persia.

Aktivitas Pengeboran AS Meningkat, Harga Minyak Melandai


Sebagai informasi, Iran mengekspor minyak sebanyak 450.000 barel/hari ke Eropa dan 1,8 juta barel/hari ke Asia. Dengan sanksi ekonomi, dunia akan kehilangan potensi tersebut dan berujung pada kenaikan harga sang emas hitam.

Tidak hanya sampai situ, mundurnya Negeri Paman Sam dari kesepakatan nuklir yang dibuat pada 2015 tersebut, ternyata berbuntut panjang. Tensi geopolitik di Timur Tengah kini mulai mengarah ke konflik bersenjata.

Setelah pengumuman Trump, Israel (yang merupakan sekutu utama AS) menyerang pasukan Iran yang membantu pemerintah Suriah memerangi pemberontak dan ISIS. Negeri Zionis berdalih bahwa serangan tersebut diluncurkan sebagai balasan serangan misil kubu Suriah ke Dataran Tinggi Golan.  

Jika skala perang semakin meluas, maka harga minyak masih berpotensi semakin melambung. Pasalnya, produksi dan distribusi minyak dari Timur Tengah dipastikan akan semakin terganggu.

Meski demikian, pelaku pasar nampaknya saat ini masih mewaspadai bagaimana dampak lanjutan dari kebijakan geopolitik AS, serta bagaimana respon dari beberapa negara yang terkait dengan kesepakatan nuklir yang dibuat pada 3 tahun silam itu.

 "Dampak hal ini (AS keluar dari kesepakatan nuklir Iran) masih jauh dari kepastian akan berkembang seperti apa yang diekspekytasikan. Jerman telah mengatakan akan melindungi perusahaan-perusahaannya dari sanksi AS, Iran menyampaikan bahwa Total, raksasa minyak asal Prancis, belum menarik diri dari lapangannya (di Iran), sementara itu China juga menyatakan siap untuk mengisi gap (pasokan minyak) yang diciptakan oleh AS," ucap Greg McKenna, kepala strategis pasar pada AxiTrader, seperti dikutip dari CNBC International.

Selain itu, harga minyak juga mendapatkan energi negatif dari meningkatnya aktivitas pengeboran di AS. Berdasarkan laporan Baker Hughes, jumlah sumur pengeboran aktif di Negeri Paman Sam dalam sepekan lalu bertambah 10 unit, menjadi total 844 unit, yang merupakan level tertingginya sejak Maret 2015.

Jumlah sumur aktif yang meningkat tersebut menjadi indikasi masih kuatnya produksi minyak mentah AS ke depannya. Saat ini produksi minyak mentah mingguan Negeri Paman Sam masih tercatat amat perkasa dengan berada di angka 10,7 juta barel bph atau kembali mencatatkan rekor sepanjang sejarah negeri adidaya  tersebut.

Saat ini, hanya Rusia yang mampu memproduksi minyak mentah lebih banyak dari AS, dengan volume produksi sekitar 11 juta bph. Namun, banyak analis telah meprediksikan bahwa AS akan mampu menyalip Rusia di akhir tahun ini, apabila laju produksi AS masih kuat seperti saat ini. 

(RHG/RHG) Next Article Perang Dagang AS-China Mereda, Harga Minyak Naik Nyaris 1%

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular