
Rusia Beri Sinyal Kenaikan Produksi, Harga Minyak Jadi Loyo
Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
25 May 2018 11:05

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak jenis brent kontrak pengiriman Juli 2018 bergerak melemah 0,18% ke level US$78,65/barel hingga pukul 10.00 WIB hari ini. Sementara itu, light sweet kontrak pengiriman Juli 2018 juga kompak turun 0,14% ke US$70,61/barel.
Sang emas hitam belum mampu bangkit dari keterpurukannya, setelah kemarin kompak ditutup melemah lebih dari 1%. Setelah kemarin muncul sentimen negatif dari ekspektasi peningkatan produksi oleh Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC), sekarang giliran Rusia yang memberikan sinyal peningkatan produksi.
Kemarin, Menteri Energi Rusia Alexander Novak, menyampaikan bahwa pembatasan produksi minyak mentah Negeri Beruang Merah dapat dikurangi secara "hati-hati", jika OPEC dan negara-negara produsen minyak non-OPEC memandang bahwa harga minyak telah seimbang pada bulan Juni mendatang, seperti dikutip dari CNBC International.
Seperti diketahui, negara yang akan menjadi tuan rumah Piala Dunia 2018 tersebut merupakan produsen minyak terbesar di dunia saat ini, dengan kapasitas mencapai 11 juta barel per hari (bph). Rencana Rusia ini senada dengan OPEC yang juga membuka peluang untuk meningkatkan produksinya bulan depan.
Padahal, dalam kesepakatan awal tahun ini, OPEC (yang dipimpin Arab Saudi) dan negara-negara Non-OPEC (dipimpin oleh Rusia) setuju untuk melanjutkan pemangkasan produksi sebesar 1,8 juta bph hingga akhir tahun 2018. Wacana untuk diperpanjang hingga 2019 bahkan sempat muncul setelahnya.
Nampaknya, rencana baru OPEC dan Rusia tersebut muncul seiring perkembangan di sejumlah negara anggota OPEC, yakni Venezuela, Iran, dan Libya. Venezuela tengah menghadapi krisis ekonomi-sosial-politik yang terbukti telah berdampak kepada produksi minyak. Selain itu, Caracas juga diambang pengenaan sanksi ekonomi setelah kembali terpilihnya Presiden Nicolas Maduro untuk masa jabatan 6 tahun ke depan. Maduro memang dianggap ancaman oleh negara-negara barat.
Seperti halnya Venezuela, Iran juga kemungkinan akan dikenai sanksi oleh AS atas tuduhan pengayaan uranium. Ini karena AS di bawah pimpinan Trump sudah keluar dari perjanjian nuklir dengan Iran yang dibuat pada masa pemerintahan Barack Obama tiga tahun silam.
Teranyar, National Oil Corp pada hari Rabu (23/5/2018) waktu setempat melaporkan bahwa anggota OPEC lainnya, Libya, memangkas produksi minyaknya sebanyak 120.000 bph seiring cuaca panas yang ekstrim menganggu proses produksi.
Kesulitan di ketiga negara tersebut bisa membuat pasokan minyak dunia seret. Oleh karena itu, wajar OPEC dan Rusia kemudian mempertimbangkan untuk menghentikan program pemotongan produksi. Hal ini kemudian membuat harga minyak melanjutkan koreksinya, karena selama ini pemangkasan produksi terbukti mampu menjaga harga tetap tinggi.
(RHG/RHG) Next Article Aktivitas Pengeboran AS Meningkat, Harga Minyak Melandai
Sang emas hitam belum mampu bangkit dari keterpurukannya, setelah kemarin kompak ditutup melemah lebih dari 1%. Setelah kemarin muncul sentimen negatif dari ekspektasi peningkatan produksi oleh Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC), sekarang giliran Rusia yang memberikan sinyal peningkatan produksi.
![]() |
Seperti diketahui, negara yang akan menjadi tuan rumah Piala Dunia 2018 tersebut merupakan produsen minyak terbesar di dunia saat ini, dengan kapasitas mencapai 11 juta barel per hari (bph). Rencana Rusia ini senada dengan OPEC yang juga membuka peluang untuk meningkatkan produksinya bulan depan.
Padahal, dalam kesepakatan awal tahun ini, OPEC (yang dipimpin Arab Saudi) dan negara-negara Non-OPEC (dipimpin oleh Rusia) setuju untuk melanjutkan pemangkasan produksi sebesar 1,8 juta bph hingga akhir tahun 2018. Wacana untuk diperpanjang hingga 2019 bahkan sempat muncul setelahnya.
Nampaknya, rencana baru OPEC dan Rusia tersebut muncul seiring perkembangan di sejumlah negara anggota OPEC, yakni Venezuela, Iran, dan Libya. Venezuela tengah menghadapi krisis ekonomi-sosial-politik yang terbukti telah berdampak kepada produksi minyak. Selain itu, Caracas juga diambang pengenaan sanksi ekonomi setelah kembali terpilihnya Presiden Nicolas Maduro untuk masa jabatan 6 tahun ke depan. Maduro memang dianggap ancaman oleh negara-negara barat.
Seperti halnya Venezuela, Iran juga kemungkinan akan dikenai sanksi oleh AS atas tuduhan pengayaan uranium. Ini karena AS di bawah pimpinan Trump sudah keluar dari perjanjian nuklir dengan Iran yang dibuat pada masa pemerintahan Barack Obama tiga tahun silam.
Teranyar, National Oil Corp pada hari Rabu (23/5/2018) waktu setempat melaporkan bahwa anggota OPEC lainnya, Libya, memangkas produksi minyaknya sebanyak 120.000 bph seiring cuaca panas yang ekstrim menganggu proses produksi.
Kesulitan di ketiga negara tersebut bisa membuat pasokan minyak dunia seret. Oleh karena itu, wajar OPEC dan Rusia kemudian mempertimbangkan untuk menghentikan program pemotongan produksi. Hal ini kemudian membuat harga minyak melanjutkan koreksinya, karena selama ini pemangkasan produksi terbukti mampu menjaga harga tetap tinggi.
(RHG/RHG) Next Article Aktivitas Pengeboran AS Meningkat, Harga Minyak Melandai
Most Popular