Surat Utang Tak Laku, Perlukah Sri Mulyani Waspada?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
27 April 2018 13:24
Surat Utang Tak Laku, Perlukah Sri Mulyani Waspada?
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Kemarin, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan pemerintah mulai waspada terhadap risiko yang menggelayuti pasar obligasi negara. Hal ini muncul setelah lelang Surat Berharga Negara (SBN) pada 24 April lalu sangat minim peminat. 

Dalam lelang tersebut, total penawaran yang masuk adalah Rp 17,02 triliun. Jauh di bawah lelang sebelumnya yang sebesar Rp 37,72 triliun. Ini merupakan jumlah penawaran terendah dalam lelang SBN sejak 2016. 



"Kami akan waspada, dan tetap komunikasikan kebutuhan financing kita akan tetap terjaga, sehingga tidak menimbulkan spekulasi," kata Sri Mulyani.


Lelang saat itu memang dilakukan dalam saat yang salah. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah dan sangat dekat ke Rp 14.000/US$. Pelemahan rupiah menjadikan berinvestasi di instrumen berbasis mata uang ini menjadi kurang menarik, karena nilainya turun. 

Selain itu, pasar obligasi secara umum memang sedang tertekan. Imbal hasil (yield) obligasi negara AS tenor 10 tahun naik dan kemudian menembus level 3% akibat kekhawatiran percepatan laju inflasi dan bertambahnya pasokan untuk membiayai fiskal yang semakin ekspansif di bawah pemerintahan Presiden AS Donald Trump. 

Dalam situasi seperti ini, investor lebih memilih memegang mata uang karena mengantisipasi kenaikan suku bunga acuan untuk meredam laju inflasi. Hasilnya adalah yield naik dan dolar AS terapresiasi. 

Kenaikan yield SBN memang patut dicermati oleh pemerintah. Pasalnya, kenaikan yield akan mempengaruhi belanja negara khususnya pembayaran utang. 

Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018, pemerintah mengasumsikan rata-rata suku bunga Surat Perbendaharaan Negara (SPN) 3 bulan sebesar 5,2%. Saat ini, rata-ratanya masih di bawah asumsi yaitu 4,99%. 

Ketika suku bunga SPN 3 bulan naik 1% dari asumsi, maka anggaran negara akan tekor Rp 1,4-2,3 triliun. Ini karena ada tambahan belanja untuk pembayaran utang. Oleh karena itu, wajar jika pemerintah waspada. 

Perlukah Sri Mulyani Waspada Obligasi Tak Laku?Reuters
Namun, apakah pemerintah perlu terus khawatir? Bisa ya, bisa tidak. 

Tidak karena hari ini tekanan itu mulai mereda. Saat ini yield Surat Berharga Negara (SBN) seri acuan tenor 10 tahun berada di 7,017%. Turun dibandingkan sehari sebelumnya yaitu 7,139%. 

Penurunan yield adalah pertanda harga obligasi sedang naik. Kenaikan harga artinya minat terhadap instrumen ini sedang tinggi. Artinya, pasar SBN sudah pulih, setidaknya untuk saat ini.

Tidak hanya di Indonesia, yield obligasi pemerintah AS pun sudah turun ke 2,9734%. Situasi pun kini mendingin. 

Perkembangan ini membuktikan bahwa tekanan yang terjadi di pasar obligasi beberapa waktu terakhir hanyalah fenomena temporer. Seiring waktu, situasi seperti ini akan berubah dan kembali normal. 

Selain itu, pemerintah pun bisa tenang karena berbagai lembaga pemeringkat (rating agency) sudah mengakui ketangguhan Indonesia. Teranyar, Moody's menaikkan peringkat Indonesia dari Baa3 ke Baa2 belum lama ini. Fitch sudah melakukannya akhir tahun lalu. 

Rata-rata lembaga pemeringkat menyatakan bahwa fundamental Indonesia sudah cukup kuat. Kebijakan fiskal maupun moneter yang hati-hati (prudent) dan sektor keuangan yang solid membuat Indonesia dipandang mampu bertahan menghadapi gejolak dari luar. 

Oleh karena itu, sebenarnya pemerintah memang tidak perlu khawatir berlebihan. Namun bukan berarti pemerintah boleh terlena. Sebab, masih ada risiko besar yang bisa berdampak kepada pasar obligasi.  

Pertama adalah perkembangan yield obligasi AS. Benar, hari ini yield instrumen itu sudah turun ke bawah 3% untuk tenor 10 tahun. Namun perlu diingat bahwa penerbitan obligasi di bawah Presiden Trump akan naik, salah satunya karena pemerintah menurunkan tarif pajak bagi korporasi.

Berkurangnya penerimaan pajak tentu harus ditambal agar belanja tetap aman. Sumbernya mau tidak mau harus ada tambahan utang. 

Ketika pasokan obligasi AS berlimpah, maka harganya turun. Penurunan harga dalam obligasi berarti yield akan naik. Kita semua sudah tahu bagaimana dampaknya bila yield obligasi AS bergerak ke atas. 

Kedua adalah potensi pelebaran defisit transaksi berjalan (current account deficit). Tahun lalu, defisit transaksi berjalan adalah 1,7% dari produk domestik bruto (PDB), dan pada 2018 diperkirakan naik menjadi 2-2,1% PDB. Sebabnya adalah lonjakan impor akibat pemulihan ekonomi. 

Transaksi berjalan yang defisit berarti pasokan devisa dari sektor rill (dalam hal ini perdagangan) tidak bisa diandalkan. Sebagai pijakan kurs, mungkin Indonesia hanya bisa mengandalkan devisa dari sektor keuangan alias hot money yang mudah keluar-masuk. Artinya, kurs akan berpotensi bergejolak dan melemah kala dana asing keluar dari pasar modal. 

Lagi-lagi kita juga sudah melihat bagaimana dampak pelemahan nilai tukar rupiah terhadap pasar obligasi. Intinya, itu bukan berita baik. 

Pemerintah perlu mencari keseimbangan dari dua hal ini. Benar pemerintah perlu waspada karena masih ada risiko besar yang mengintai pasar obligasi. Namun kewaspadaan itu tidak perlu ditransmisikan menjadi kekhawatiran berlebihan karena justru bisa menjadi bumerang.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular