
Surat Utang Tak Laku, Perlukah Sri Mulyani Waspada?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
27 April 2018 13:24

Namun, apakah pemerintah perlu terus khawatir? Bisa ya, bisa tidak.
Tidak karena hari ini tekanan itu mulai mereda. Saat ini yield Surat Berharga Negara (SBN) seri acuan tenor 10 tahun berada di 7,017%. Turun dibandingkan sehari sebelumnya yaitu 7,139%.
Penurunan yield adalah pertanda harga obligasi sedang naik. Kenaikan harga artinya minat terhadap instrumen ini sedang tinggi. Artinya, pasar SBN sudah pulih, setidaknya untuk saat ini.
Tidak hanya di Indonesia, yield obligasi pemerintah AS pun sudah turun ke 2,9734%. Situasi pun kini mendingin.
Perkembangan ini membuktikan bahwa tekanan yang terjadi di pasar obligasi beberapa waktu terakhir hanyalah fenomena temporer. Seiring waktu, situasi seperti ini akan berubah dan kembali normal.
Selain itu, pemerintah pun bisa tenang karena berbagai lembaga pemeringkat (rating agency) sudah mengakui ketangguhan Indonesia. Teranyar, Moody's menaikkan peringkat Indonesia dari Baa3 ke Baa2 belum lama ini. Fitch sudah melakukannya akhir tahun lalu.
Rata-rata lembaga pemeringkat menyatakan bahwa fundamental Indonesia sudah cukup kuat. Kebijakan fiskal maupun moneter yang hati-hati (prudent) dan sektor keuangan yang solid membuat Indonesia dipandang mampu bertahan menghadapi gejolak dari luar.
Oleh karena itu, sebenarnya pemerintah memang tidak perlu khawatir berlebihan. Namun bukan berarti pemerintah boleh terlena. Sebab, masih ada risiko besar yang bisa berdampak kepada pasar obligasi.
Pertama adalah perkembangan yield obligasi AS. Benar, hari ini yield instrumen itu sudah turun ke bawah 3% untuk tenor 10 tahun. Namun perlu diingat bahwa penerbitan obligasi di bawah Presiden Trump akan naik, salah satunya karena pemerintah menurunkan tarif pajak bagi korporasi.
Berkurangnya penerimaan pajak tentu harus ditambal agar belanja tetap aman. Sumbernya mau tidak mau harus ada tambahan utang.
Ketika pasokan obligasi AS berlimpah, maka harganya turun. Penurunan harga dalam obligasi berarti yield akan naik. Kita semua sudah tahu bagaimana dampaknya bila yield obligasi AS bergerak ke atas.
Kedua adalah potensi pelebaran defisit transaksi berjalan (current account deficit). Tahun lalu, defisit transaksi berjalan adalah 1,7% dari produk domestik bruto (PDB), dan pada 2018 diperkirakan naik menjadi 2-2,1% PDB. Sebabnya adalah lonjakan impor akibat pemulihan ekonomi.
Transaksi berjalan yang defisit berarti pasokan devisa dari sektor rill (dalam hal ini perdagangan) tidak bisa diandalkan. Sebagai pijakan kurs, mungkin Indonesia hanya bisa mengandalkan devisa dari sektor keuangan alias hot money yang mudah keluar-masuk. Artinya, kurs akan berpotensi bergejolak dan melemah kala dana asing keluar dari pasar modal.
Lagi-lagi kita juga sudah melihat bagaimana dampak pelemahan nilai tukar rupiah terhadap pasar obligasi. Intinya, itu bukan berita baik.
Pemerintah perlu mencari keseimbangan dari dua hal ini. Benar pemerintah perlu waspada karena masih ada risiko besar yang mengintai pasar obligasi. Namun kewaspadaan itu tidak perlu ditransmisikan menjadi kekhawatiran berlebihan karena justru bisa menjadi bumerang.
TIM RISET CNBC INDONESIA (aji/aji)
Tidak karena hari ini tekanan itu mulai mereda. Saat ini yield Surat Berharga Negara (SBN) seri acuan tenor 10 tahun berada di 7,017%. Turun dibandingkan sehari sebelumnya yaitu 7,139%.
Penurunan yield adalah pertanda harga obligasi sedang naik. Kenaikan harga artinya minat terhadap instrumen ini sedang tinggi. Artinya, pasar SBN sudah pulih, setidaknya untuk saat ini.
Perkembangan ini membuktikan bahwa tekanan yang terjadi di pasar obligasi beberapa waktu terakhir hanyalah fenomena temporer. Seiring waktu, situasi seperti ini akan berubah dan kembali normal.
Selain itu, pemerintah pun bisa tenang karena berbagai lembaga pemeringkat (rating agency) sudah mengakui ketangguhan Indonesia. Teranyar, Moody's menaikkan peringkat Indonesia dari Baa3 ke Baa2 belum lama ini. Fitch sudah melakukannya akhir tahun lalu.
Rata-rata lembaga pemeringkat menyatakan bahwa fundamental Indonesia sudah cukup kuat. Kebijakan fiskal maupun moneter yang hati-hati (prudent) dan sektor keuangan yang solid membuat Indonesia dipandang mampu bertahan menghadapi gejolak dari luar.
Oleh karena itu, sebenarnya pemerintah memang tidak perlu khawatir berlebihan. Namun bukan berarti pemerintah boleh terlena. Sebab, masih ada risiko besar yang bisa berdampak kepada pasar obligasi.
Pertama adalah perkembangan yield obligasi AS. Benar, hari ini yield instrumen itu sudah turun ke bawah 3% untuk tenor 10 tahun. Namun perlu diingat bahwa penerbitan obligasi di bawah Presiden Trump akan naik, salah satunya karena pemerintah menurunkan tarif pajak bagi korporasi.
Berkurangnya penerimaan pajak tentu harus ditambal agar belanja tetap aman. Sumbernya mau tidak mau harus ada tambahan utang.
Ketika pasokan obligasi AS berlimpah, maka harganya turun. Penurunan harga dalam obligasi berarti yield akan naik. Kita semua sudah tahu bagaimana dampaknya bila yield obligasi AS bergerak ke atas.
Kedua adalah potensi pelebaran defisit transaksi berjalan (current account deficit). Tahun lalu, defisit transaksi berjalan adalah 1,7% dari produk domestik bruto (PDB), dan pada 2018 diperkirakan naik menjadi 2-2,1% PDB. Sebabnya adalah lonjakan impor akibat pemulihan ekonomi.
Transaksi berjalan yang defisit berarti pasokan devisa dari sektor rill (dalam hal ini perdagangan) tidak bisa diandalkan. Sebagai pijakan kurs, mungkin Indonesia hanya bisa mengandalkan devisa dari sektor keuangan alias hot money yang mudah keluar-masuk. Artinya, kurs akan berpotensi bergejolak dan melemah kala dana asing keluar dari pasar modal.
Lagi-lagi kita juga sudah melihat bagaimana dampak pelemahan nilai tukar rupiah terhadap pasar obligasi. Intinya, itu bukan berita baik.
Pemerintah perlu mencari keseimbangan dari dua hal ini. Benar pemerintah perlu waspada karena masih ada risiko besar yang mengintai pasar obligasi. Namun kewaspadaan itu tidak perlu ditransmisikan menjadi kekhawatiran berlebihan karena justru bisa menjadi bumerang.
TIM RISET CNBC INDONESIA (aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular