Internasional

Kebijakan Pro-Pertumbuhan Presiden Erdogan Bikin Lira Tumbang

Ester Christine Natalia, CNBC Indonesia
16 April 2018 16:29
Presiden Turki Recep Erdogan menyebut dirinya sebagai
Foto: REUTERS/Murad Sezer
Jakarta, CNBC Indonesia - Lira, mata uang Turki, mencatatkan rekor terendah selama seminggu belakangan. Hal tersebut terjadi akibat apa yang para analis sebut sebagai keengganan pemerintah Turki untuk menyeimbangkan kebijakan moneter dalam menangani inflasi double-digit.

Pelemahan itu juga diperparah oleh ketidakpastian geopolitik tentang aksi militer Amerika Serikat (AS) dan Rusia di negara tetangganya, Suriah.

Meskipun begitu, lira mencatatkan rebound tajam pada hari Jumat (13/4/2018) setelah para pejabat Turki memberi sinyal tentang langkah yang kemungkinan diambil pemerintah terkait nilai tukar. Namun, mereka belum menjelaskan rencana tersebut secara spesifik. Pertanyaan intinya saat ini adalah akan seberapa efektif langkah tersebut, melansir dari CNBC International.

Kebijakan yang memprioritaskan pertumbuhan daripada pengendalian inflasi, dipimpin oleh Presiden Turki Recep Erdogan, telah mengecilkan hati para investor di pasar berkembang selama beberapa waktu terakhir ini. Presiden yang menyebut dirinya sebagai "musuh suku bunga" itu secara efektif telah menghalangi segala bentuk pengetatan kebijakan moneter bank sentral meskipun inflasinya berada di posisi 10,23%.


Erdogan menyebut aksi jual mata uang negaranya yang terjadi belakangan ini sebagai serangan perekonomian dari musuh-musuh Turki, dan mendeskripsikannya sebagai "permainan terhadap perekonomian kami".

Namun, para investor mengatakan pasar sudah sangat menginginkan kenaikan suku bunga dari bank sentral. Dua pertemuan terakhir bank tersebut tidak mengubah kebijakan setelah Erdogan mengimbau untuk mempertahankan suku bunga rendah demi mendorong angka pertumbuhan.

Lira terdepresiasi 13,9% sejak Agustus hingga menyentuh angka terendah yaitu 4,1944 terhadap dolar AS pekan lalu. Saat ini, lira menjadi salah satu mata uang dengan kinerja terburuk di pasar negara berkembang tahun ini. Pada hari Jumat, mata uang itu kembali menguat 0,74% menjadi 4,08 lira per dolar.

Sementara itu, imbal hasil obligasi pemerintah Turki menyentuh posisi tertinggi selama beberapa bulan. Defisit neraca transaksi berjalan di bulan Februari naik lebih dari 60% dari periode yang sama di tahun 2017 (year-on-year/yoy) menjadi US$4,152 miliar (Rp 57.196 triliun).

Pertumbuhan terkendali

Pertumbuhan di negara dengan 80 juta penduduk tersebut cukup mengesankan. Capaian pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Turki menyentuh 7,4% di tahun 2017. Jumlah tersebut naik dua kali lipat dari angka pertumbuhan tahun sebelumnya dan merupakan yang tertinggi di antara negara-negara G20.

Namun, angka pertumbuhan ini muncul bukan tanpa risiko, kata Adrien Pichoud, Manajer Portfolio dan Kepala Ekonom di SYZ Asset Management.

"Perekonomian terlalu panas dan memiliki beberapa ketidakseimbangan yang besar [yaitu] inflasi double-digit dan defisit neraca transaksi berjalan yang menggelembung, keduanya tergambar di pelemahan mata uang."

Pichoud mengungkapkan, lingkungan inilah yang membuat Moody's menurunkan peringkat utang Turki menjadi "junk" di bulan Maret.

Rentan terhadap perubahan global

Pejabat dan bankir Turki yang lebih memilih penguatan pertumbuhan ketimbang inflasi berargumen bahwa Turki adalah kasus spesial yang memerlukan kebijakan non-ortodoks. Hal tersebut disebabkan oleh populasinya yang masih muda dan semakin bertambah, serta perlunya menciptakan lapangan kerja.

Namun, Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) menyuarakan hal yang berbeda. Dalam ulasan Article IV terhadap Turki yang terbaru, lembaga tersebut memuji perbaikan Turki sejak usaha kudeta politik pada bulan Juli 2016, namun menyatakan "perekonomiannya saat ini menghadapi tanda-tanda terlalu panas: kesenjangan output naik, inflasi yang melampaui target, dan defisit neraca transaksi berjalan yang melebar".

IMF memperingatkan hal ini membuat Turki lebih rentan terhadap gejolak dan perubahan kondisi global.


Penting untuk mengingat bahwa Erdogan mengincar kemenangan di pemilu Turki pada November 2019. Dia juga ingin meneruskan pertumbuhan ekonomi sebagai pusat dari peluang pemilu ulang Partai AKP yang dipimpinnya.

Dalam pidato tanggal 9 April, Erdogan berkata, "Beberapa orang mengatakan ini: 'Pertumbuhan yang terlalu tinggi bukanlah hal yang baik.' Mengapa? Karena mereka cemburu. Tidak ada alasan lain".

Rapat kebijakan bank sentral selanjutnya akan diselenggarakan pada tanggal 25 April. Tanpa kenaikan suku bunga, lira cenderung akan semakin anjlok.
(prm) Next Article Gejolak Turki Bikin Sri Mulyani 'Was-was'

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular