
Internasional
Mata Uangnya Melemah Terus, Iran di Ambang Krisis
Prima Wirayani, CNBC Indonesia
13 April 2018 14:57

Jakarta, CNBC Indonesia - Mata uang Iran, rial, telah terdepresiasi ke level terendah sepanjang sejarah di tengah kondisi ekonomi dan politik yang penuh ketidakpastian. Pelemahan itu menyebabkan terjadinya penarikan uang besar-besaran dari bank oleh nasabah yang dengan putus asa berusaha membeli dolar Amerika Serikat (AS) dan memaksa tempat-tempat penukaran uang tutup lebih awal untuk menghindari antrean panjang.
Jika tidak diselesaikan, krisis keuangan yang dikombinasikan dengan memburuknya hubungan negara itu dengan AS dapat memperparah kestabilan republik Islam itu, dilansir dari CNBC International.
Rial telah kehilangan sepertiga dari nilainya tahun ini saja. Mata uang itu sekarang bernilai 60.000 per dolar, melemah jauh dibandingkan 36.000 rial ketika Presiden Hassan Rouhani naik menjadi presiden tahun 2013. Penurunan nilai mata uang itu telah terjadi terus-menerus sejak Revolusi Islam tahun 1979 ketika 70 rial mampu ditukar dengan satu dolar AS.
Untuk meredakan kepanikan, pemerintah Iran pekan ini mengumumkan penentuan nilai kurs senilai 42.000 rial terhadap dolar AS, sebuah tindakan yang melawan arus pasar. Pemerintah Iran juga mengancam akan mengenakan sanksi berat, termasuk hukuman penjara, bagi siapa saja yang mencoba menetapkan nilai tukar selain yang diatur pemerintah.
Hal itu seharusnya mampu mengontrol situasi untuk saat ini, kata periset Iran Henry Rome di perusahaan konsultasi risiko politik Eurasia Group.
"Perubahan kebijakan, yang digabungkan dengan pelarangan baru terkait kepemilikan valuta asing, sepertinya akan berhasil menahan kejatuhan rial dalam jangka menengah," tulisnya dalam sebuah catatan riset. Ia menambahkan pemerintah memiliki cadangan devisa yang cukup untuk menerapkan kebijakan itu.
Namun, upaya itu akan berdampak buruk pada bisnis impor dan ekspor Iran yang kesulitan mendapatkan valuta asing dari pemerintah dan lebih mengandalkan pasokan dari pasar gelap mata uang.
Kekacauan di Iran terjadi bukan karena ketidakseimbangan neraca dagang. Ekspor non-migas Iran tahun 2017 mencapai US$47 miliar (Rp 646,6 triliun) dan penjualan minyak menembus US$55 miliar sehingga surplus neraca perdagangan tercatat US$17 miliar.
Krisis ini sebetulnya adalah kesulitan mengakses mata uang yang diperkirakan hanya mencapai 5% dari keseluruhan mata uang asing di Iran dan sisanya tersedia dalam bentuk pinjaman untuk kegiatan usaha.
Korupsi, perseteruan politik, dan kekhawatiran akan pengenaan sanksi baru adalah faktor penyebab pelemahan rial. Selain itu, uang hasil ekspor juga kesulitan masuk ke Iran sebab bank-bank internasional masih menolak untuk membuka bisnisnya di Iran karena ketakutan akan sanksi AS.
Pencabutan beberapa sanksi ekonomi terhadap Iran menyusul penandatanganan kesepakatan nuklir tahun 2015 sebenarnya menjadi harapan bagi perekonomian negara itu yang telah babak belur.
Namun, rupanya pencabutan sanksi masih belum mampu menarik investasi sebanyak yang diharapkan pemerintah. Kecemasan juga merebak menyusul posisi Presiden AS Donald Trump yang beberapa kali menunjukkan ketidaksukaannya pada kesepakatan nuklir Iran itu.
(dru) Next Article Iran Dilanda Krisis, Gubernur Bank Sentral Dicopot
Jika tidak diselesaikan, krisis keuangan yang dikombinasikan dengan memburuknya hubungan negara itu dengan AS dapat memperparah kestabilan republik Islam itu, dilansir dari CNBC International.
Rial telah kehilangan sepertiga dari nilainya tahun ini saja. Mata uang itu sekarang bernilai 60.000 per dolar, melemah jauh dibandingkan 36.000 rial ketika Presiden Hassan Rouhani naik menjadi presiden tahun 2013. Penurunan nilai mata uang itu telah terjadi terus-menerus sejak Revolusi Islam tahun 1979 ketika 70 rial mampu ditukar dengan satu dolar AS.
Hal itu seharusnya mampu mengontrol situasi untuk saat ini, kata periset Iran Henry Rome di perusahaan konsultasi risiko politik Eurasia Group.
"Perubahan kebijakan, yang digabungkan dengan pelarangan baru terkait kepemilikan valuta asing, sepertinya akan berhasil menahan kejatuhan rial dalam jangka menengah," tulisnya dalam sebuah catatan riset. Ia menambahkan pemerintah memiliki cadangan devisa yang cukup untuk menerapkan kebijakan itu.
Namun, upaya itu akan berdampak buruk pada bisnis impor dan ekspor Iran yang kesulitan mendapatkan valuta asing dari pemerintah dan lebih mengandalkan pasokan dari pasar gelap mata uang.
Kekacauan di Iran terjadi bukan karena ketidakseimbangan neraca dagang. Ekspor non-migas Iran tahun 2017 mencapai US$47 miliar (Rp 646,6 triliun) dan penjualan minyak menembus US$55 miliar sehingga surplus neraca perdagangan tercatat US$17 miliar.
Krisis ini sebetulnya adalah kesulitan mengakses mata uang yang diperkirakan hanya mencapai 5% dari keseluruhan mata uang asing di Iran dan sisanya tersedia dalam bentuk pinjaman untuk kegiatan usaha.
Korupsi, perseteruan politik, dan kekhawatiran akan pengenaan sanksi baru adalah faktor penyebab pelemahan rial. Selain itu, uang hasil ekspor juga kesulitan masuk ke Iran sebab bank-bank internasional masih menolak untuk membuka bisnisnya di Iran karena ketakutan akan sanksi AS.
Pencabutan beberapa sanksi ekonomi terhadap Iran menyusul penandatanganan kesepakatan nuklir tahun 2015 sebenarnya menjadi harapan bagi perekonomian negara itu yang telah babak belur.
Namun, rupanya pencabutan sanksi masih belum mampu menarik investasi sebanyak yang diharapkan pemerintah. Kecemasan juga merebak menyusul posisi Presiden AS Donald Trump yang beberapa kali menunjukkan ketidaksukaannya pada kesepakatan nuklir Iran itu.
(dru) Next Article Iran Dilanda Krisis, Gubernur Bank Sentral Dicopot
Most Popular