
Internasional
Perang Dagang, China Masih Punya Kartu As: Obligasi Negara AS
Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
05 April 2018 11:27

Jakarta, CNBC Indonesia - China hanya butuh 11 jam untuk membalas Amerika Serikat (AS) yang menerapkan bea impor baru terhadap sekitar 1.300 produk asal China. Namun, pejabat Negeri Tirai Bambu itu masih menahan serangan terhadap impor Amerika terbesar dari negaranya, yaitu obligasi pemerintah.
Dalam tindakan balasan terhadap rencana Presiden AS Donald Trump mengenakan bea impor 25% terhadap impor dari China senilai US$50 miliar (Rp 687,5 triliun), China mengumumkan daftar barang AS, termasuk kedelai, pesawat, mobil, daging sapi, dan bahan kimia, yang akan dikenakan tarif sejenis. Namun, pejabat negara itu tidak menunjukkan sinyal akan membawa kepemilikan obligasi negara AS (UST) mereka yang besar ke dalam arena pertempuran.
Hingga Januari, China memegang sekitar US$1,17 triliun UST dan menjadikannya kreditur asing terbesar Amerika dan pemegang obligasi pemerintah AS terbanyak kedua setelah bank sentral AS, Federal Reserve. Jika China mengurangi portofolionya, hal tersebut dapat memukul sektor keuangan AS dan juga investor global, membuat yield obligasi membumbung tinggi dan memaksa pemerintah mengeluarkan biaya lebih untuk membiayai pemerintah federal, dilansir dari Reuters.
Jeffrey Gundlach, kepala eksekutif di DoubleLine Capital LP, mengatakan China bisa saja menggunakan kepemilikan UST-nya sebagai pengungkit (leverage) dalam perang dagang, namun hanya jika China tetap memegangnya.
"Hal ini lebih efektif sebagai ancaman. Jika mereka menjual obligasinya, mereka tidak memiliki ancaman. Hal itu hanya akan memanaskan keadaan dan menghilangkan pengaruh mereka," kata Gundlach, yang dikenal sebagai Raja Obligasi Wall Street.
Harga obligasi negara AS bertenor 10 tahun menurun hari Rabu (4/4/2018) sementara yield-nya naik menjadi sekitar 2,81%.
Kepemilikan obligasi negara AS oleh China telah turun tajam sekitar US$30 miliar dalam beberapa bulan terakhir dari US$1,20 triliun pada Agustus lalu dan lebih rendah sekitar 11% dari rekor tertingginya US$1,3 triliun pada akhir 2013, menurut data pemerintah AS.
Secara keseluruhan, pemerintah asing memiliki total US$4 triliun atau lebih dari seperempat dari total US$14,7 triliun surat berharga AS yang beredar.
Ketika ditanya oleh seorang wartawan pada hari Rabu apakah China akan mengurangi kepemilikan obligasi negara AS sebagai pembalasan, Wakil Menteri Keuangan Zhu Guangyao menegskan kebijakan lama China mengenai cadangan devisanya bahwa China adalah investor yang bertanggung jawab dan akan tetap memegang nilai-nilai negaranya.
Cadangan devisa China, yang terbesar di dunia, mencapai sekitar US$3,13 triliun pada akhir Februari, sekitar sepertiganya disimpan dalam bentuk UST.
"Jika mereka ingin menarik tuas nuklirnya, jika mereka berkomitmen untuk mengurangi kepemilikan UST, itu akan berdampak langsung dan sementara terhadap pasar uang di Amerika Serikat," kata Jeff Klingelhofer, seorang manajer portofolio yang mengelola lebih dari US$6 miliar Treasury di Thornburg Investment Management Inc.
Brad Setser, senior fellow bidang ekonomi internasional di Dewan Hubungan Luar Negeri di New York, mengatakan China dapat menjual UST dan membeli obligasi Eropa atau Jepang dengan imbal hasil lebih rendah.
Tetapi efek ke depannya kemungkinan akan memperkuat yuan terhadap dolar dan melemahkan ekspornya.
Yuan melemah sekitar 0,25% pada hari Rabu, tetapi angka saat ini tetap tidak jauh dari angka tertingginya dalam dua setengah tahun.
Meskipun peluang perubahan kebijakan Cina mengenai portofolio UST-nya masih kecil, investor tetap sensitif terhadap risiko perubahan besar apapun yang akan terjadi pada pasar keuangan dunia karena UST merupakan tolok ukur keuangan global.
Sebuah laporan pada bulan Januari mengabarkan China mungkin akan menghentikan pembelian UST untuk mendorong imbal hasil lebih tinggi, tetapi China membantah berita itu dan mengatakan negara hanya mendiversifikasi cadangan devisanya untuk menjaga nilainya.
(prm) Next Article China Pengutang Terbesar AS, Tambah Obligasi Rp 117 Triliun
Dalam tindakan balasan terhadap rencana Presiden AS Donald Trump mengenakan bea impor 25% terhadap impor dari China senilai US$50 miliar (Rp 687,5 triliun), China mengumumkan daftar barang AS, termasuk kedelai, pesawat, mobil, daging sapi, dan bahan kimia, yang akan dikenakan tarif sejenis. Namun, pejabat negara itu tidak menunjukkan sinyal akan membawa kepemilikan obligasi negara AS (UST) mereka yang besar ke dalam arena pertempuran.
Hingga Januari, China memegang sekitar US$1,17 triliun UST dan menjadikannya kreditur asing terbesar Amerika dan pemegang obligasi pemerintah AS terbanyak kedua setelah bank sentral AS, Federal Reserve. Jika China mengurangi portofolionya, hal tersebut dapat memukul sektor keuangan AS dan juga investor global, membuat yield obligasi membumbung tinggi dan memaksa pemerintah mengeluarkan biaya lebih untuk membiayai pemerintah federal, dilansir dari Reuters.
"Hal ini lebih efektif sebagai ancaman. Jika mereka menjual obligasinya, mereka tidak memiliki ancaman. Hal itu hanya akan memanaskan keadaan dan menghilangkan pengaruh mereka," kata Gundlach, yang dikenal sebagai Raja Obligasi Wall Street.
Harga obligasi negara AS bertenor 10 tahun menurun hari Rabu (4/4/2018) sementara yield-nya naik menjadi sekitar 2,81%.
Kepemilikan obligasi negara AS oleh China telah turun tajam sekitar US$30 miliar dalam beberapa bulan terakhir dari US$1,20 triliun pada Agustus lalu dan lebih rendah sekitar 11% dari rekor tertingginya US$1,3 triliun pada akhir 2013, menurut data pemerintah AS.
Secara keseluruhan, pemerintah asing memiliki total US$4 triliun atau lebih dari seperempat dari total US$14,7 triliun surat berharga AS yang beredar.
Ketika ditanya oleh seorang wartawan pada hari Rabu apakah China akan mengurangi kepemilikan obligasi negara AS sebagai pembalasan, Wakil Menteri Keuangan Zhu Guangyao menegskan kebijakan lama China mengenai cadangan devisanya bahwa China adalah investor yang bertanggung jawab dan akan tetap memegang nilai-nilai negaranya.
Cadangan devisa China, yang terbesar di dunia, mencapai sekitar US$3,13 triliun pada akhir Februari, sekitar sepertiganya disimpan dalam bentuk UST.
"Jika mereka ingin menarik tuas nuklirnya, jika mereka berkomitmen untuk mengurangi kepemilikan UST, itu akan berdampak langsung dan sementara terhadap pasar uang di Amerika Serikat," kata Jeff Klingelhofer, seorang manajer portofolio yang mengelola lebih dari US$6 miliar Treasury di Thornburg Investment Management Inc.
Brad Setser, senior fellow bidang ekonomi internasional di Dewan Hubungan Luar Negeri di New York, mengatakan China dapat menjual UST dan membeli obligasi Eropa atau Jepang dengan imbal hasil lebih rendah.
Tetapi efek ke depannya kemungkinan akan memperkuat yuan terhadap dolar dan melemahkan ekspornya.
Yuan melemah sekitar 0,25% pada hari Rabu, tetapi angka saat ini tetap tidak jauh dari angka tertingginya dalam dua setengah tahun.
Meskipun peluang perubahan kebijakan Cina mengenai portofolio UST-nya masih kecil, investor tetap sensitif terhadap risiko perubahan besar apapun yang akan terjadi pada pasar keuangan dunia karena UST merupakan tolok ukur keuangan global.
Sebuah laporan pada bulan Januari mengabarkan China mungkin akan menghentikan pembelian UST untuk mendorong imbal hasil lebih tinggi, tetapi China membantah berita itu dan mengatakan negara hanya mendiversifikasi cadangan devisanya untuk menjaga nilainya.
(prm) Next Article China Pengutang Terbesar AS, Tambah Obligasi Rp 117 Triliun
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular