Sejak Akhir 2017, Asing Jual Obligasi Negara Rp 5,23 T

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
13 March 2018 12:13
Sejak Akhir 2017, Asing Jual Obligasi Negara Rp 5,23 T
Foto: REUTERS/Beawiharta/
Jakarta, CNBC Indonesia - Investor asing masih terus melepas kepemilikannya di obligasi negara. Sejak akhir tahun 2017, kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) turun Rp 5,23 triliun. 

Mengutip data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Selasa (13/3/2018), kepemilikan asing di SBN adalah Rp 830,92 triliun. Turun dibandingkan akhir 2017 yang masih Rp 836,15 triliun. 


Sejak Akhir 2017, Asing Jual Obligasi Negara Rp 5,23 TDJPPR Kemenkeu
Selepas 2017, sebenarnya asing masih memburu SBN. Kepemilikan asing terus meningkat hingga mencapai Rp 880,2 triliun pada 23 Januari. 

Namun setelah itu, asing cenderung melepas kepemilikannya. Selama bulan ini saja, kepemilikan asing sudah turun Rp 16.72 triliun. 

Minat investor asing terhadap instrumen ini memang terlihat menurun. Ini tercermin dari penawaran dalam setiap lelang yang semakin rendah. 

Sejak Akhir 2017, Asing Jual Obligasi Negara Rp 5,23 TDJPPR Kemenkeu
Sejak Akhir 2017, Asing Jual Obligasi Negara Rp 5,23 TDJPPR Kemenkeu
Ketika sebuah produk kurang diminati, maka harganya turun. Ini juga terjadi di SBN. Untuk tenor 10 tahun, terlihat bahwa harganya terus berkurang. 

Sejak Akhir 2017, Asing Jual Obligasi Negara Rp 5,23 TReuters
Saat harga SBN turun, maka imbal hasil (yield) akan meningkat. Yield SBN tenor 10 tahun memang tengah dalam tren meningkat. Saat ini, yield instrumen tersebut sudah berada di kisaran 6,8%. 

Sejak Akhir 2017, Asing Jual Obligasi Negara Rp 5,23 TReuters


Investor asing memang tengah dalam posisi waspada. Perkembangan ekonomi global yang masih tidak pasti membuat investor kurang berminat membeli aset-aset berisiko dan memilih instrumen yang relatif aman. 

Risiko utama yang menghantui pasar obligasi domestik adalah aura kenaikan suku bunga, terutama di negara-negara maju. Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve/The Fed hampir pasti akan menaikkan suku bunga acuan pada pertemuan bulan ini. Sepanjang 2018, The Fed diperkirakan menaikkan suku bunga acuan tiga kali. 

Tidak hanya di AS, Eropa pun juga sudah bersiap menerapkan pengetatan moneter. Dalam pertemuan belum lama ini, Bank Sentral Uni Eropa (ECB) memang masih menahan suku bunga acuan di teritori negatif.  

Presiden ECB Mario Draghi mengatakan pihaknya bisa saja memperpanjang masa pembelian obligasi (quantitative easing) sampai lewat dari September 2018. Namun Draghi tidak menyebutkan pembelian lebih lanjut, yang dibaca pasar sebagai sinyal ECB akan menyelesaikan stimulus dan sudah bersiap mengakhiri era kebijakan moneter longgar.  


Kemudian Bank Sentral Inggris (BoE) juga sudah mengambil ancang-ancang untuk menaikkan suku bunga acuan. BoE memang masih menahan suku bunga acuan sebesar 0,5% dalam pertemuan terakhirnya, tetapi secara tegas disebutkan tentang rencana kenaikan suku bunga yang lebih cepat dan lebih besar. 

Di Asia, beberapa negara yang sudah terlebih dulu menaikkan suku bunga acuan adalah Malaysia, Korea Selatan, sampai Malaysia. Langkah tersebut ditempuh salah satunya sebagai antisipasi tren kenaikan suku bunga negara-negara maju.  

Kenaikan suku bunga di negara maju membuat obligasi negara di sana menjadi lebih menarik. Ditambah lagi obligasi negara di negara maju dinilai lebih aman. Maka tidak heran investor global memilih untuk menghindari obligasi di negara berkembang untuk sementara. Dari dalam negeri, sepertinya ada kekhawatiran baru terkait pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pemerintah baru saja menerbitan aturan penetapan harga jual batu bara domestik, yang bisa mempengaruhi penerimaan negara. 

Askolani, Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, mengungkapkan pembatasan harga batu bara dalam negeri berpotensi mengurangi penerimaan negara dari pajak sebesar Rp 3-4 triliun. Sementara Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) bisa tergerus Rp 1 triliun-Rp 2 triliun.

Risiko ini yang mungkin dicermati oleh investor, terutama asing. Apalagi sejumlah lembaga pemeringkat (rating) menyatakan salah satu risiko yang dihadapi Indonesia adalah penerimaan negara yang tidak mencapai target. Ini menyebabkan pendanaan untuk program prioritas seperti pembangunan infrastruktur atau jaminan sosial terkendala.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular