Lepas Unit Bisnis yang Merugi, Cara Uber Untuk IPO 2019

Roy Franedya, CNBC Indonesia
11 March 2018 15:41
Lepas Unit Bisnis yang Merugi, Cara Uber Untuk IPO 2019
Foto: Reuters
Jakarta, CNBC Indonesia - Bisnis transportasi digital ride-hailing bisa jadi bisnis yang memiliki peluang besar sekaligus resiko besar. Peluang besar karena pasar yang sangat luas. Setiap orang di muka bumi ini bisa jadi konsumen mereka.

Tantangannya, datang dari regulasi yang belum bersahabat atau memang strategi bisnis yang membakar banyak uang. Bisnis ini membakar banyak uang karena menghabiskan dana besar untuk memberikan diskon harga bagi para pengguna dan promosi yang agresif dalam membentuk ekosistem bisnis dan menghadapi persaingan sesama perusahaan ride-hailing.

Perusahaan ride-hailing berhadap dengan terbentuk ekosistem maka konsumen akan semakin loyal dan menjadi ketergantungan terhadap layanan perusahaan. Pada saat bersamaan, kompetitor bertumbangan satu per satu sehingga hanya akan ada sedikit perusahaan yang menguasai pasar.

Dua hambatan bisnis inilah yang dihadapi Uber Technologies Inc. Perusahaan ride-hailing ini mulai kehabisan dana untuk menghadapi persaingan yang berdarah-darah dan terhambat operasionalnya di negara lain.

Pada kuartal IV-2017, kerugian Uber naik 61% jadi US$ 4,5 miliar atau setara Rp 61,3 triliun. Padahal Uber berencana untuk melepas saham ke publik melalui penawaran umum perdana (IPO) tahun 2019. Manajemen dituntut untuk memperbaiki reputasi dan memperkuat disiplin keuangan perusahaan guna mendorong profitabilitas.

Langkah yang dipilih manajemen dibawah kepemimpinan Dara Khosrowshahi adalah menjual unit bisnis atau menggabungkan (merger) dengan perusahaan ride-hailing lokal dan menutup bisnis yang merugikan. Uber akan fokus pada pasar utama mereka seperti di Amerika Serikat dengan pangsa pasar 74% dan Eropa.

Mengutip Dalia, sepanjang Juli 2017 diketahui bahwa dari enam negara terbesar di Eropa, empat di antaranya menempatkan Uber sebagai pilihan utama dalam layanan transportasi online. Empat negara tersebut adalah Inggris (68%), Polandia (53%), Perancis (45%), dan Italia (42%).

Terbaru, langkah Uber yang menjual unit bisnis ke Grab Inc. Menurut sumber CNBC International, Uber akan melepas unit bisnis di Asia Tenggara ke Grab yang ditukar dengan kepemilikan saham di Grab. Pada Pasar Asia Tenggara, Grab mengklaim memiliki pangsa pasar transportasi online berbasis taksi sebesar 95% dan 71% pangsa pasar transportasi online berbasis kendaraan pribadi (motor dan mobil).

Belum jelas berapa saham yang akan dimiliki Uber di Grab Inc nantinya.
Menjual unit Bisnis pertama kali dilakukan manajemen pada 2016 lalu. Unit yang pertama dijual adalah bisnis di China pada perusahaan ride-healing lokal Didi Chuxing. Informasi yang beredar kesepakatan ini bernilai US$35 miliar. Investor Uber di China juga mendapatkan 20% saham Uber China dan Didi akan berinvestasi US$1 miliar di Uber China. 

Travis Kalanick, CEO Uber kala itu, mengungkapkan bahwa setiap tahunnya, Uber harus merugi US$1 miliar (Rp 13,5 triliun) dari operasinya di China.

Uber juga menjual Xchange, startup rental mobil. Perusahaan ini tidak laku di pasar dan membebani kinerja keuangan karena sudah banyak uang yang dihabiskan untuk promosi.


Awalnya, Uber berencana menutup Xchange, namun Uber kemudian menjualnya ke startup bursa mobil Fair.com. Nilai bersih Xchange setara dengan lebih dari 30.000 kendaraan atau sekitar US$400 juta.

Di Rusia, Uber memutuskan untuk memerger bisnis dengan perusahaan pemesanan taksi online Rusia, Yandex.Taxi, dan membentuk sebuah perusahaan baru. Uber akan berinvestasi sebesar US$225 juta pada perusahaan baru ini, sedangkan Yandex.Taxi menyumbang US$100 juta. Tetapi, Yandex.Taxi akan memiliki 59,3%, Uber memiliki 36,6%. Sisa saham 4,1% dikelola oleh para karyawan.

Perusahaan baru ini akan melayani pemesanan taksi online dari Uber dan Yandex.Taxi serta pengantaran makanan dari UberEATS. Selain Rusia, negara-negara lain yang dilayani meliputi Azerbaijan, Belarusia, Kazakhstan, Armenia, dan Georgia dengan 127 kota operasional.

Selain menggabungkan bisnis, Uber pun menghentikan operasinya di Maroko hari Senin (19/2/2018), dua tahun setelah perusahaan memulai bisnisnya di negara itu. Penagguhan aktivitas Uber tersebut dilakukan sembari menunggu pengaturan pemerintah setempat terkait platform bisnis layanan pemesanan transportasi online.

Dilansir dari Reuters, Uber sebelumnya juga telah menghentikan layanannya di Norwegia dan Finlandia karena menunggu perubahan regulasi pemerintah di negara-negara tersebut.
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular