
Startup
China Terus Repotkan Uber dalam Perang Transportasi Online
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
17 February 2018 18:52

Jakarta, CNBC Indonesia - Ketatnya perang antarpenyedia jasa transportasi online kembali memakan korban. Kali ini, Uber dilaporkan bersiap melepas bisnisnya di wilayah Asia Tenggara ke kompetitor asal Singapura, Grab.
Di Asia Tenggara sendiri, Grab memang diketahui menguasai hingga 95% pangsa pasar transportasi online yang berbasis taksi serta 71% pangsa
pasar transportasi online yang berbasis kendaraan pribadi (mobil dan motor). Secara harian, Grab memfasilitasi hingga 3 juta perjalanan.
Bukan kali ini saja Uber dipaksa menelan pil pahit dari ketatnya persaingan dengan para kompetitor. Sebelumnya, Uber juga dipaksa meninggalkan China setelah mencatatkan rugi yang tak sedikit.
Menariknya, dalam dua kali ‘kekalahan’ Uber tersebut (di Asia Tenggara dan China), selalu ada keterlibatan dari perusahaan sejenis asal China, yaitu Didi Chuxing.
Babak belur di China
Di negara asalnya, yaitu Amerika Serikat (AS), Uber memang memegang kendali penuh.
Perusahaan yang berdiri pada tahun 2009 tersebut diketahui menguasai hingga 74,3% pangsa pasar transportasi online di AS. Dominasi Uber pun juga terlihat di Eropa.
Mengutip Dalia, sepanjang Juli 2017 diketahui bahwa dari enam negara terbesar di Eropa, empat di antaranya menempatkan Uber sebagai pilihan utama dalam layanan transportasi online.
Empat negara tersebut adalah Inggris (68%), Polandia (53%), Perancis (45%), dan Italia (42%).
Namun, langkah Uber untuk merajai kawasan Asia selalu terganjal oleh China.
Di China, Uber harus tunduk kepada pemain lokal Didi Chuxing yang menguasai hingga 80% pangsa pasar dengan menjual bisnisnya di wilayah itu kepada mereka. Transaksi ini dilakukan pada pertengahan 2016 lalu.
Travis Kalanick, CEO Uber kala itu, mengungkapkan bahwa setiap tahunnya, Uber harus merugi US$1 miliar (Rp 13,5 triliun) dari operasinya di China.
Baru saja suntik $2 miliar ke Grab
Lagi-lagi, penjualan bisnis Uber di Asia Tenggara kepada Grab tidak lepas dari peran Didi Chuxing.
Perusahaan yang bermarkas di Beijing tersebut merupakan salah satu pemegang saham Grab. Bahkan pada pertengahan tahun lalu, Didi Chuxing diketahui bermitra dengan pemegang saham lainnya yaitu, SoftBank, untuk menyuntik modal senilai $2 miliar kepada Grab.
Suntikan modal itu merupakan yang terbesar bagi sebuah perusahaan startup teknologi di kawasan Asia Tenggara.
Dana segar itu kemudian digunakan Grab untuk menguatkan posisinya di pasar transportasi online dan untuk pengembangan GrabPay, sebuah platform pembayaran digital yang rencananya dikembangkan di negara-negara di mana penetrasi sistem perbankan konvensional masih lemah, seperti Indonesia.
Posisi Uber di Eropa ikut terancam?
Walaupun masih menguasai pasar Eropa, nampaknya Uber perlu waspada jika tak ingin hal yang menimpanya di China dan Asia Tenggara terjadi lagi. Pasalnya, pada Agustus 2017 lalu Didi Chuxing diketahui menyuntikkan modal kepada salah satu perusahaan transportasi online asal Estonia yang sedang naik daun, Taxify.
Walaupun tidak menyebut angka pasti, suntikan modal itu diketahui sebesar 8-digit dalam satuan Euro. Artinya, dana segar yang diraup Taxify bernilai setidaknya 10 juta euro atau Rp 168 miliar.
Tarif yang lebih murah menjadi keunggulan utama Taxify dibandingkan Uber.
Salah satu pendiri Taxify, Martin Villig, mengungkapkan bahwa Taxify hanya mengambil komisi sebesar 15-20% dari para pengemudinya. Nilai ini hanya setengah dari yang dikenakan oleh Uber. Sebagai hasilnya, Taxify bisa menawarkan tarif yang lebih murah kepada para penumpangnya.
Melihat rekam jejak Didi Chuxing yang terus menerus merepotkan Uber, bukan tidak mungkin hal yang sama juga akan terjadi di Eropa.
Tim Riset CNBC Indonesia
(prm) Next Article Mundur dari Rusia-ASEAN-China, Kekayaan Uber Nambah Rp 175 T
Di Asia Tenggara sendiri, Grab memang diketahui menguasai hingga 95% pangsa pasar transportasi online yang berbasis taksi serta 71% pangsa
pasar transportasi online yang berbasis kendaraan pribadi (mobil dan motor). Secara harian, Grab memfasilitasi hingga 3 juta perjalanan.
Bukan kali ini saja Uber dipaksa menelan pil pahit dari ketatnya persaingan dengan para kompetitor. Sebelumnya, Uber juga dipaksa meninggalkan China setelah mencatatkan rugi yang tak sedikit.
Babak belur di China
Di negara asalnya, yaitu Amerika Serikat (AS), Uber memang memegang kendali penuh.
Perusahaan yang berdiri pada tahun 2009 tersebut diketahui menguasai hingga 74,3% pangsa pasar transportasi online di AS. Dominasi Uber pun juga terlihat di Eropa.
Mengutip Dalia, sepanjang Juli 2017 diketahui bahwa dari enam negara terbesar di Eropa, empat di antaranya menempatkan Uber sebagai pilihan utama dalam layanan transportasi online.
Empat negara tersebut adalah Inggris (68%), Polandia (53%), Perancis (45%), dan Italia (42%).
Namun, langkah Uber untuk merajai kawasan Asia selalu terganjal oleh China.
Di China, Uber harus tunduk kepada pemain lokal Didi Chuxing yang menguasai hingga 80% pangsa pasar dengan menjual bisnisnya di wilayah itu kepada mereka. Transaksi ini dilakukan pada pertengahan 2016 lalu.
Travis Kalanick, CEO Uber kala itu, mengungkapkan bahwa setiap tahunnya, Uber harus merugi US$1 miliar (Rp 13,5 triliun) dari operasinya di China.
Baru saja suntik $2 miliar ke Grab
Lagi-lagi, penjualan bisnis Uber di Asia Tenggara kepada Grab tidak lepas dari peran Didi Chuxing.
Perusahaan yang bermarkas di Beijing tersebut merupakan salah satu pemegang saham Grab. Bahkan pada pertengahan tahun lalu, Didi Chuxing diketahui bermitra dengan pemegang saham lainnya yaitu, SoftBank, untuk menyuntik modal senilai $2 miliar kepada Grab.
Suntikan modal itu merupakan yang terbesar bagi sebuah perusahaan startup teknologi di kawasan Asia Tenggara.
Dana segar itu kemudian digunakan Grab untuk menguatkan posisinya di pasar transportasi online dan untuk pengembangan GrabPay, sebuah platform pembayaran digital yang rencananya dikembangkan di negara-negara di mana penetrasi sistem perbankan konvensional masih lemah, seperti Indonesia.
Posisi Uber di Eropa ikut terancam?
Walaupun masih menguasai pasar Eropa, nampaknya Uber perlu waspada jika tak ingin hal yang menimpanya di China dan Asia Tenggara terjadi lagi. Pasalnya, pada Agustus 2017 lalu Didi Chuxing diketahui menyuntikkan modal kepada salah satu perusahaan transportasi online asal Estonia yang sedang naik daun, Taxify.
Walaupun tidak menyebut angka pasti, suntikan modal itu diketahui sebesar 8-digit dalam satuan Euro. Artinya, dana segar yang diraup Taxify bernilai setidaknya 10 juta euro atau Rp 168 miliar.
Tarif yang lebih murah menjadi keunggulan utama Taxify dibandingkan Uber.
Salah satu pendiri Taxify, Martin Villig, mengungkapkan bahwa Taxify hanya mengambil komisi sebesar 15-20% dari para pengemudinya. Nilai ini hanya setengah dari yang dikenakan oleh Uber. Sebagai hasilnya, Taxify bisa menawarkan tarif yang lebih murah kepada para penumpangnya.
Melihat rekam jejak Didi Chuxing yang terus menerus merepotkan Uber, bukan tidak mungkin hal yang sama juga akan terjadi di Eropa.
Tim Riset CNBC Indonesia
(prm) Next Article Mundur dari Rusia-ASEAN-China, Kekayaan Uber Nambah Rp 175 T
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular