Internasional

'Resesi Seks' Ancam Negara-negara Maju Ini

Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
09 December 2019 12:22
'Resesi Seks' Ancam Negara-negara Maju Ini
Foto: Arie Pratama
Jakarta, CNBC Indonesia - Kontraksi ekonomi selama dua kuartal berturut-turut dalam satu tahun atau resesi, telah melanda beberapa negara di dunia, termasuk Turki, Hong Kong, dan Meksiko.

Bahkan, banyak negara lainnya kini juga berada di bawah ancaman resesi. Salah satunya adalah Afrika Selatan yang ekonominya terus mengalami pertumbuhan di bawah 1% selama beberapa waktu terakhir.


Kurang bergairahnya kinerja ekonomi negara-negara dunia itu tentunya patut menjadi sumber kekhawatiran. Namun, bagaimana jika ternyata hal ini bisa diperparah oleh penurunan gairah dalam seks alias 'resesi' seks?

Memang sekilas bila diperhatikan, ekonomi dan seks tidak memiliki hubungan. Tapi menurut analis politik dan ekonomi Jake Novak dalam penelitiannya yang dimuat di CNBC International, minat seks di kalangan remaja bisa berimbas pada perlambatan ekonomi.

"Ini dikarenakan resesi seks dan menurunnya pernikahan mengindikasikan bahwa kaum milenial juga bisa menunda aspek-aspek kedewasaan lainnya seperti membeli rumah atau mobil, yang mana akan menyumbang perlambatan ekonomi," ujarnya.

Penelitian Jake tersebut dilakukan di antara remaja Amerika Serikat (AS). Dalam laporannya, Jake juga menyebut beberapa alasan yang menyebabkan resesi seks dan menurunnya jumlah perkawinan di AS bisa terjadi. Salah satunya adalah kehadiran teknologi dan peluang baru yang diberikan oleh teknologi.


Hal itu membuat orang dewasa muda lebih senang menyendiri ketimbang berhubungan dengan manusia lainnya secara langsung.


"Semuanya, mulai dari pornografi online hingga video game canggih, hingga media sosial digunakan oleh banyak remaja sebagai pengganti kontak dengan manusia nyata, terutama untuk pria," tulis Jake dalam penelitiannya.

Namun ternyata, AS bukan satu-satunya negara yang ekonominya terancam mengalami perlambatan akibat menurunnya gairah seks atau resesi seks. Berikut adalah negara-negara yang mengalami resesi seks:

[Gambas:Video CNBC]



Sebagaimana diungkapkan Jake, resesi seks mulai melanda AS dalam beberapa waktu terakhir. Selain penundaan aspek-aspek kedewasaan yang bisa mempengaruhi angka pembelian rumah dan mobil seperti yang disebutkan di atas. Jake juga menyebut dampak resesi seks bisa menyebar ke berbagai sektor lainnya, seperti menurunnya pembelian pakaian dan alat kontrasepsi.

"Ini menjadi hal serius yang menyebar ke sejumlah sektor bisnis mulai dari real estate, pakaian hingga kontrasepsi dan berujung pada menurunnya Produk Domestik Bruto (PDB)," tulisnya.

Jake menegaskan, resesi seks ini setidaknya terjadi karena sejumlah alasan. Yaitu, ketakutan akan runtuhnya stabilitas ekonomi karena memiliki pasangan, banyaknya pinjaman anak muda AS untuk membiayai gaya hidup mereka yang tinggi, munculnya situs porno, video game, media sosial bahkan robot seks yang membuat lelaki tidak tertarik pada wanita untuk berhubungan serius.

Selain itu, kecenderungan perempuan mencari lelaki yang mapan untuk berumah tangga atau selektivitas dalam memilih pasangan, juga turut menjadi penyebab. "Sex recession merupakan ancaman terbesar dari semua ancaman yang ada," tambahnya.


Sebelum AS, Jepang telah lebih dulu mengalami resesi seks, seperti dilaporkan oleh CBS News yang dikutip the Rolling Stone.

Dalam laporan itu disebutkan bahwa CBS News membahas hasil Survei Kesuburan Nasional Jepang, yang menemukan bahwa satu dari 10 pria berusia 30-an di negara itu ternyata belum pernah berhubungan seks sebelumnya.

Para ahli yang disurvei dalam penelitian itu menyebut tingginya tingkat keperawanan itu disebabkan berbagai faktor. Mulai dari meningkatnya ketidakstabilan keuangan nasional hingga munculnya aplikasi digital yang membuat orang lebih senang menjalin pertemanan secara digital.

"Sebagian besar dari orang-orang ini tidak dapat menemukan pasangan di pasar," kata Peter Ueda, seorang peneliti kesehatan masyarakat di Universitas Tokyo, kepada CBS News.

Selain itu, penyebab resesi seks ini juga dipengaruhi tingginya jam kerja di negara ini serta masalah keuangan.

Dampak dari peristiwa ini, salah satunya adalah ancaman penurunan jumlah populasi, sebagaimana diungkapkan peneliti kesehatan masyarakat dan pakar demografi di negara itu.

Apalagi saat ini tingkat kesuburan Jepang sudah sangat rendah. Akibat dua hal itu, populasi Jepang dapat berkurang setengahnya jika tren berlanjut selama 100 tahun ke depan, kata mereka.

Dampak lainnya yang bisa terjadi, yaitu semakin panjangnya waktu pensiun seorang pekerja di Jepang. menurut survei Kementerian Kesehatan, Perburuhan dan Kesejahteraan tahun 2017, saat ini 79,3% dari perusahaan dan 88,7% dari produsen di negara itu menetapkan batas pensiun di usia 60 tahun.

Namun, sistem pensiun terbaru yang dinamakan Stabilisasi Ketenagakerjaan Orang Lanjut Usia, memungkinkan pekerja untuk memperpanjang masa pensiun hingga usia 65 tahun. Sayangnya, hal ini justru memiliki dampak buruk pada pekerja-pekerja itu, yang mana gaji mereka seringnya dipotong sebesar 20% hingga 40% setelah memperpanjang masa kerja.

Rendahnya jumlah populasi di Jepang juga telah membuat tingkat pekerja asing di negara ini meningkat ke level rekor baru.

Seperti dilaporkan World Financial Review, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe telah membuka peluang yang lebih besar bagi lebih banyak pekerja asing untuk masuk ke Jepang. Abe menargetkan untuk membawa 300.000-an orang untuk mengisi berbagai posisi kerja pada tahun 2025 di Jepang.

Para pekerja asing ini akan diizinkan untuk tinggal di Jepang selama lima tahun di bawah kerangka kerja yang hanya mencakup lima industri, yaitu pertanian, konstruksi, penginapan, keperawatan dan pembuatan kapal.

Abe juga mengusulkan undang-undang untuk mendorong perusahaan menghapuskan usia pensiun dan mengembangkan langkah-langkah dan kebijakan untuk membuat orang dapat tetap bekerja melebihi usia 70 tahun.


Selain di AS dan Jepang, resesi seks mulai terjadi di negeri K-Pop alias Korea Selatan.

Sebagaimana dikutip dari AFP, di Korea Selatan bahkan sudah ada persatuan wanita yang menolak norma patriarkal yang kaku dan bersumpah untuk tidak menikah, punya anak atau bahkan berkencan dan berhubungan seks.

Kelompok feminis radikal nasional itu bernama '4B' atau 'Four Nos', yang merupakan kepanjangan dari 'no dating, no sex, no marriage, and no child-rearing' atau tidak berkencan, tidak melakukan seks, tidak menikah, dan tidak mengasuh anak.

Salah satu wanita yang bergabung dalam kelompok itu adalah Bonnie Lee, seorang profesional berusia 40-an yang hanya tinggal bersama anjingnya di dekat Seoul.

"Aku wanita normal (straight) yang tidak lagi tertarik menjalin hubungan dengan pria," kata Lee, sebagaimana dilaporkan AFP.

"Saya selalu merasa bahwa sebagai seorang wanita ada lebih banyak kerugian daripada keuntungan dari menikah."

Lee yang memiliki dua gelar master juga mengatakan bahwa menikah bisa membuat gelar pendidikan dan karir menjadi tidak ada artinya. Sebab, yang diharapkan dalam pernikahan adalah seorang wanita harus bisa mengerjakan pekerjaan rumah, membesarkan anak-anak, dan merawat mertua yang menua.

"Di pasar pernikahan, kehidupan dan pengalaman kerja Anda sebelumnya tidak penting," kata Lee.

"Untuk alasan yang konyol, menjadi wanita berpendidikan tinggi juga menjadi poin minus. Yang paling penting sebagai calon istri adalah apakah Anda mampu merawat suami dan mertua Anda."

Akibat hal ini Korea Selatan terancam menghadapi bencana demografis. Apa lagi, saat ini jumlah wanita lajang Korea Selatan yang menganggap pernikahan sebagai hal penting telah menurun tajam.

Menurut laporan satu dekade lalu, hampir 47% wanita Korea Selatan yang lajang dan belum menikah mengatakan bahwa mereka menganggap pernikahan itu perlu. Namun tahun lalu, jumlahnya turun menjadi 22,4%.

Sementara itu, jumlah pasangan yang menikah merosot menjadi 257.600 pasangan saja, turun dari 434.900 pernikahan pada tahun 1996. Lebih lanjut, saat ini tingkat kesuburan total di Korea Selatan turun menjadi 0,98 pada tahun 2018.

Persentase ini jauh di bawah 2,1% yang dibutuhkan untuk menjaga populasi tetap stabil. Tingkat kesuburan merupakan jumlah anak yang seharusnya dimiliki seorang wanita dalam hidupnya.

Pemerintah memperkirakan populasi Korsel yang saat ini di angka 55 juta, akan turun menjadi 39 juta pada tahun 2067. Pada tahun itu, setengah dari populasi negara tersebut akan berusia 62 atau lebih.

Untuk mencegah bencana demografis ini, pemerintah Korea Selatan sebenarnya telah melakukan berbagai cara untuk mencegahnya. Di antaranya adalah menarik remaja agar mau menikah dengan cara menawarkan tunjangan perumahan dan hipotek berbunga rendah bagi pengantin baru.



Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular