
Kisah Para UMKM yang Beradaptasi di Tengah Pandemi Covid-19

Jakarta, CNBC Indonesia- Pandemi Covid-19 berdampak multidimensi pada kehidupan masyarakat, mulai dari kesehatan, sosial, hingga ekonomi. Demi menekan penyebaran virus ini pemerintah pun harus membatasi mobilitas masyarakat dengan menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa daerah, sehingga masyarakat dianjurkan untuk lebih banyak di rumah.
Hal ini membuat banyak usaha tersendah hingga akhirnya banyak karyawan yang dirumahkan atau terkena PHK. Bukan cuma perusahaan besar, tapi UMKM pun terpukul. Banyak bisnis yang terpaksa gulung tikar karena sulit bertahan di masa ini.
Meski banyak usaha yang tutup dan karyawan yang terkena PHK, masih ada sebagian yang kreatif dan bangkit membuka usaha baru dengan memanfaatkan kondisi ini. Salah satunya adalah Joshua Gunadi, pemilik usaha Kopi Pak Deni yang memiliki produk specialty coffee drip bag.
Joshua bercerita sebelum pandemi melanda seluruh dunia dia memiliki kedai kopi Bor Coffee di Sunter, Jakarta Utara. Kedai kopi yang dibuat bersama teman-temannya yang telah berjalan selama beberapa tahun.
Namun, kedai kopinya mulai kalah saing dengan tren kopi susu yang ada belakangan terutama dari sisi harga. Ditambah lagi ketika corona sampai ke Indonesia, dan dilakukan berbagai pembatasan serta larangan berkumpul kedai kopinya pun semakin sepi.
Akhirnya Joshua dan rekannya memutuskan untuk menutup kedai kopinya karena tidak bisa lagi bertahan dan sulit bersaing. Apalagi dia yang mengandalkan speciality coffee sulit mengikuti tren take away atau fokus jualan online seperti kopi susu pada umumnya.
"Biaya harian yang harus dikeluarkan tidak tertutup jika hanya mengandalkan take away, terutama di masa pandemi ini. Selain itu, secara perbandingan harga, kopi susu yang kebanyakan ada saat ini menjual harga yang jauh lebih murah dibandingkan speciality coffee yang kami jual," kata Joshua kepada CNBC Indonesia.
Setelah beberapa minggu vakum, dia pun mulai mencari ide usaha lainnya yang muncul ketika masyarakat banyak bekerja dari rumah. Dengan bermodal mesin kopi dan pertanyaan dari teman-teman dekatnya yang menanyakan speciality kopi, Joshua pun kemudian membuat kopi drip instant dengan merek 'Kopi Pak Deni' dan mulai menjual produknya di e-commerce serta media sosial.
"Saat ini orang masih takut untuk keluar, tapi mereka tetap butuh speciality coffee. Jadi kopi drip ini bisa memenuhi kebutuhan mereka kopi enak, tanpa harus banyak alat," kata Joshua.
Di awal membuat Kopi Pak Deni, dia memasarkan kopi ini melalui instagram dan menjual 10-25 paket kopi. Namun setelah usaha kopi drip ini berjalan, kendala yang paling besar menurutnya ada pengenalan produk.
"Dengan bikin speciality drip bag siapapun bisa nyeduh dengan enak. Buat saya modal tidak begitu besar, dan marketnya ada," tambahnya.
Meski demikian dia mengakui keunikan produknya ini juga masih belum familiar di kebanyakan pembelinya. Sehingga dalam penjualannya dia harus menyematkan edukasi kepada pelanggannya bagaimana cara menyeduh kopi drip ini.
Sejauh ini, promosi paling efektif menurutnya masih melalui media sosial terutama Instagram. Namun pembuatan kopi drip ini belum bisa dalam jumlah yang besar dalam sekali pembuatan, karena masalah sumber daya dan seringkali jumlah pesanan datang tidak menentu.
Adapula, Gisela Niken yang sebelumnya bekerja di sebuah Travel Agent kini fokus menjalani bisnis Event Organizer @Excitus yang semula hanya sampingan. Industri pariwisata menjadi salah satu sektor yang terdampak paling berat akibat pandemi ini. Niken mengatakan saat ini statusnya masih karyawan, dan sudah WFH sejak Maret 2020.
Meski tidak di PHK, namun nasibnya belum jelas karena sektor pariwisata belum bergerak dan gajinya pun harus dipotong cukup besar di masa ini. Agar tetap ada pemasukan dia pun menggeluti usaha EO yang sebenarnya telah dijalankan sejak 2017, namun baru benar-benar 100% dijalaninya ketika di masa pandemi ini.
![]() S |
Dia mengakui menjalani bisnis jasa seperti ini sangat sulit, sehingga harus kreatif mencari peluang dan meyakinkan calon kliennya.
"Kalaupun ada yang menikah di pandemi ini, banyak berpikir kalau ini mudah karena cuma mengundang sedikit orang. Padahal pernikahan yang berlangsung harus melakukan protokol kesehatan, dan sebenarnya dua kali lebih repot dibandingkan pernikahan yang biasa," jelasnya.
Selain promosi dan edukasi klien, kendala lain yang dihadapi adalah harus merelakan margin yang cukup besar agar harganya dapat kompetitif dibandingkan yang lain. Niken mengatakan mengadakan pernikahan di masa pandemi ini jika tidak hati-hati maka banyak biaya-biaya lain yang lebih besar yang akan dikeluarkan.
Seperti yang lainnya, Niken juga tidak melakukan pencatatan dengan rapi pada pencatatan transaksi. Sehingga terkadang sulit untuk mengetahui biaya-biaya yang dikeluarkan sebenarnya ketika memegang satu event tertentu.