Special Interview

Jadi Andalan, Kredit Korporasi BTPN 'Kebal' Pandemi

Rahajeng Kusumo Hastuti, CNBC Indonesia
30 December 2020 13:43
Nathan Christianto, Head of Wholesale Banking Bank BTPN
Foto: Nathan Christianto, Head of Wholesale Banking Bank BTPN

Jakarta, CNBC Indonesia- Di tengah pandemi ini, PT Bank BTPN Tbk (BTPN) mampu mencatatkan kinerja yang baik berkat performa dari segmen korporasi. Tidak main-main, pertumbuhan kredit korporasi hingga kuartal III-2020 mencapai 21% dibandingkan setahun sebelumnya.

Performa Bank BTPN ini termasuk yang tertinggi di antara kredit korporasi bank lain. Ada beberapa hal yang menjadi kekuatan pada segmen korporasi di Bank BTPN yang menjadi suatu keunggulan yang tak dimiliki oleh bank lain.

Untuk mengulas lebih dalam mengenai hal ini, CNBC Indonesia melakukan wawancara khusus dengan Nathan Christianto, Head of Wholesale Banking Bank BTPN. Berikut ini petikan wawancaranya:

Bisa diceritakan mengenai pengembangan segmen korporasi?

Bagi Bank BTPN, tanpa adanya corporate banking itu seperti mengembangkan sesuatu tanpa ada cantolan yang kuat. Misalnya kita bicara supply chain financing, yaitu pembiayaan pada debitur UKM atau Komersial yang merupakan suplier atau distributor. Kalau tidak ada relationship dengan korporasi besarnya, maka kekuatan relationship antara bank dengan debitur UKM tersebut menjadi kurang. relationship dengan korporasi besar, dalam hal ini sebagai principal, berguna untuk memitigasi risiko maupun aliran dana.

Jadi dari sisi supply chain, yaitu supplier-principal-distributor, itu seperti ada yang hilang di tengah-tengahnya dan ini adalah porsi terbesar yang menjembatani antara transaksi supplier dan distributor. Ini yang menjadi dasar pada 2019 kami melakukan merger dengan SMBC Indonesia untuk melengkapi missing point itu. Jadi kami sudah complete, kalau mau mengembangkan komersial, atau SME, atau mikro, kita pasangkan itu dengan puzzle supply chain financing yang bonggol besarnya sudah ada, yakni korporasi besar sebagai prinsipalnya. Inilah kenapa kita masuk ke dalam merger.

Bagaimana segmen kredit korporasi bisa menjadi penopang di masa pandemi?

Bisnis Korporasi BTPN saat ini sebenarnya sudah dikembangkan sejak lama di SMBC Indonesia, yaitu sejak 1989. Jadi sudah lama dan bisnis modelnya pun sudah solid. Kriteria pemilihan siapa nasabahnya sudah jelas. Selain itu produk-produk yang kami bawa ke Indonesia melalui knowledge transfer dari SMBC sudah terbukti, baik dari sisi keandalan produk maupun penerimaan dari kliennya. SMBC merupakan salah satu mega bank di Jepang. Sebagai global bank mereka punya klien global yang punya operation di sini terutama perusahaan Jepang, yang sampai saat ini masih menjadi salah satu yang terbesar dalam foreign direct investment.

Jadi kalau digabungkan, Bank BTPN mendapat product expertise dari SMBC, dukungan produk, dan klien global SMBC di sini, dan kami mengembangkan hubungan dengan perusahaan lokal. Ini semua menjadi satu sehingga saat Covid-19 ini semua bisa menjadi penopang. Saat ini kredit korporasi memiliki porsi 60% dari keseluruhan portofolio kredit. Pertumbuhan kredit korporasi kita 21% YoY. Ini salah satu yang bisa menjadi penopang karena produknya lengkap.

Setelah merger, layanan kami menjadi semakin lengkap. Tidak terbatas pada pembiayaan kepada korporasinya saja, kami bisa buka layanan kepada direct supplier atau distributor dari nasabah korporasi yang sudah senang dengan produk SMBC, atau kami bisa bekerja sama dengan Jenius, untuk Payroll karyawan debitur korporasi yang sifatnya rutin dan jumlahnya masif. Selain Jenius yang kuat dalam digital banking, kita juga punya Sinaya sebagai layanan wealth management. Sudah semakin lengkap produknya, makanya hal ini membuat segmen korporasi menjadi penopang saat pandemi.

Ketika pandemi apakah menjadi lebih selektif memilih nasabah? dan strategi BTPN dalam menangkap pertumbuhan ekonomi di 2021?

Jika dilihat, Covid-19 membuat banyak orang menjadi lebih bertanya dalam bisnis modelnya seperti apa. Kami bandingkan hal yang mendasar, dulu sebelum pandemi semua orang lebih suka semua face to face, transaksi, meeting semua ketemu langsung. Tetapi sekarang semua berubah, dari bekerja dari kantor 100%, menjadi bekerja dari rumah, sekarang menjadi bekerja di mana saja. Mungkin ini dari beberapa diskusi yang ada, akan menjadi hal yang permanen. Ini yang menjadi pemikiran baik di nasabah maupun perbankan.

Ada beberapa sektor yang saat Covid-19 terhantam habis, bisa kita lihat dari pariwisata, perhotelan, retailers, restoran itu habis semua. Tapi ada juga beberapa industri yang bagus yang terkait dengan makanan, personal care, alat kebersihan, telekomunikasi, farmasi malah naik. Dua hal ini yang kami coba petakan.

Di corporate banking kita menyeleksi industri yang potensial yang memungkinkan Bank BTPN untuk melakukan cross-sale dan mendapatkan fee-based income yang besar. Kemudian kami pilih nama-namanya, mereka top 5 atau pemain kunci di industrinya. Misalnya di industri makanan minuman dan otomotif, akan ada perusahaan Jepang dan perusahaan lokal yang besar di sana, sehingga otomatis kita kuat sekali. Kita pilih pemain terbesar di segmen industri yang dipilih.

Kalau saat kondisi Covid-19, yang saya lihat OJK dan pemerintah juga concerned dengan mengeluarkan regulasi POJK yang meminta bank mendukung adanya relaksasi dan lainnya, kemudian ada juga program PEN. Mau tidak mau kami juga harus menyadari terdapat beberapa korporasi yang membutuhkan bantuan. Korporasi yang kita tahu secara fundamental bagus, yang nantinya setelah Covid-19 selesai akan bangkit lagi, saat ini memerlukan dukungan untuk melewati masa sulit ini. Mereka industry survivors, mereka memiliki ekuitas yang kuat, kapabilitas, dan network yang luas.

Pada saat ini kami lihat debitur-debitur tersebut membutuhkan bantuan, misalnya ada yang membutuhkan tambahan modal kerja karena saat Covid-19 tempo pembayaran dari distributor menjadi lebih panjang dari 3 bulan menjadi 6 bulan. Tetapi selain itu kami juga melihat ada industri yang naik, seperti farmasi atau telekomunikasi. Debitur di sektor telekomunikasi membutuhkan lebih banyak dukungan pada saat ini, apalagi kita sudah banyak menggunakan metode online, misalnya menggunakan virtual meeting atau digitalisasi. Hal ini menjadi basis infrastruktur telekomunikasi menjadi lebih bergairah, dan kita melakukan pendekatan ke sana. Itu potensi yang ada saat ini.

Bagaimana strategi Bank BTPN setelah Covid-19?

Kami melihat top 5 di industry untuk segmen korporasi akan tetap menjadi top 5, dan mereka ini recovery-nya akan lebih cepat jadi kami tidak salah pilih masuk ke mereka. Ibaratnya mereka ini gajah yang kalau bangkit lebih cepat, sementara yang kecil-kecil harus menunggu waktu gajahnya bangkit dulu, yang besar ini beroperasi dulu dan yang kecil-kecil akan mengikuti, ini yang kami lihat potensinya. Industri yang sudah naik akan tetap bertumbuh, dan yang terkena dampak Covid-19 akan recovery lebih cepat. Dengan membantu saat mereka sedang mengalami kesulitan, kami melihat akan ada apresiasi lebih banyak ke kami. Ini yang kami harapkan di kemudian hari saat semuanya sudah bergerak, relationship dengan kami menjadi lebih kuat dan lebih banyak transaksi yang akan dilakukan dengan kami.

Nathan Christianto, Head of Wholesale Banking Bank BTPNFoto: Nathan Christianto, Head of Wholesale Banking Bank BTPN

Adakah sektor baru yang akan disasar oleh BTPN?

SMBC dan Bank BTPN adalah salah satu pemain terbesar di sindikasi. Sampai September kami memberikan 13 transaksi pembiayaan, bekerjasama dengan SMBC Group, dan kami selalu berada dalam top 3 syndication league table juga. Kemudian kita baru saja terima award dari The asset AAA. Apakah sektor baru ada atau tidak? kalau bicara sektor mungkin kurang lebih akan sama, tetapi lebih pada 'how you do the business'-nya yang akan berubah. Akan lebih banyak orang yang melirik digitalisasi, misalnya transaksi secara digital, baik transaksi nasabah dengan bank maupun transaksi nasabah dengan supplier yang difasilitasi oleh bank, dan beberapa transaksi cash management.

Apakah BTPN banyak memberikan restrukturisasi dan bagaimana menjaga NPL kredit korporasi, apakah ini pengaruh dari perusahaan dan sektor yang dipilih?

Restrukturisasi yang kami lakukan, sesuai dengan POJK yang ada dan yang kami lakukan sejalan dengan peraturan pemerintah dan kami melihat memang dibutuhkan saat ini. Terminologi restrukturisasi mungkin termasuk relaksasi, ada hal-hal yang lebih simpel seperti pengurangan bunga, atau penjadwalan dari beberapa jatuh tempo dari fasilitas trade. Restrukturisasi ada dari hal simpel hingga skala besar.

Di segmen korporasi, pemilihan konsumen sudah dilakukan dari awal dan konsumen korporasi, seperti saya sampaikan tadi, adalah yang kami lihat sebagai industry survivors. Ketika pandemi Covid-19 ini terjadi, , jumlah klien kami yang mengajukan restrukturisasi tidak banyak, tidak sampai 15 nasabah. Dari persentase portofolio pun tidak signifikan, kurang dari 10%. Itu untuk menggambarkan seberapa solid kami dalam menghadapi situasi pandemi ini. Perlu dicatat, debitur yang direstrukturisasi tersebut bukan NPL. NPL kami memang naik dari 0,16% menjadi 0,39% tetapi itu jauh di bawah rata-rata industri yang berada di kisaran 3,2%, jadi masih sangat rendah.

Kami memilih konsumen kami yang industry survivors, yang memiliki ketahanan dari sisi cadangan dana atau ekuitas yang cukup untuk menahan hantaman dari Covid-19 ini, agar ketika restrukturisasi terjadi, skalanya bisa lebih simple, dan kami sangat mengerti kesulitan mereka dan akan kami bantu. Restruktur skala besar pun ada, tetapi tidak banyak. Kami sangat disiplin dari segi pemilihan nama maupun industri, jadi selektif sekali.

Target pertumbuhan kredit korporasi ke depan?

Untuk segmen korporasi kami menargetkan pertumbuhan di kisaran 9-10%. Untuk mencapai target tersebut, kita harus kerja keras, dan kita memang tidak akan membuka sektor baru, tetapi lebih pada pengenalan lebih banyak produk pada nasabah kami, seperti produk digital dan green financing. Untuk produk digital, mungkin orang lebih mengenal Jenius sebagai bank digital, tapi sebenarnya produk digital untuk korporasi kami cukup lengkap, kami punya SMAR&TS, Akses Bisnis, dan itu bisa dikombinasi menjadi satu untuk value chain nasabah kami. Selain produk digital, kami juga akan gali lagi potensi fee-based income, seperti dari produk trade

Bagaimana BTPN melihat pertumbuhan ekonomi 2021?

Kami banyak mengundang senior ekonom untuk memberikan advice kepada manajemen untuk prospek bisnis setelah Covid-19, dari laporan yang ada, dan pemain sektor riil, 2021 menjadi masa penuh tantangan. Dari sisi penanggulangan Covid-19, vaksinasi memang akan berjalan tetapi tergantung seberapa cepat. Hal ini akan mempengaruhi pembukaan aktivitas ekonomi Indonesia. Efek dari ekonomi global juga akan mempengaruhi, seperti halnya pergantian presiden Amerika Serikat (AS) bisa mengubah peta perdagangan. Kemudian perang dagang, kami belum tahu seperti apa, dari skala ekonomi Indonesia, skala ekonomi global, dan perbankan sendiri.

Mulai tahun ini kami sudah mengimplementasikan PSAK 71 / IFRS 9, dan sebagai implikasi nya akan menambah biaya pencadangan / cost of credit, terlebih untuk kredit restrukturisasi. Jadi 2021 adalah masa yang harus tetap hati-hati, karena makro belum bergerak secara cepat. Memang secara ekspektasi dari hasil rangkuman diskusi dengan ekonom, mereka memprediksi pertumbuhan sekitar 5% tahun depan, dan pertumbuhan tersebut mungkin lebih banyak di industry survivors tadi. Supaya kami tidak terlalu terbebani oleh cost of credit, kami akan tetap meraih kesempatan tetapi kami harus pilih-pilih.

Jadi target kredit 9-10% adalah target di masa hati-hati ini?

Target itu dari aspirasi lah ya, dan itu yang kami juga komunikasikan ke OJK. Mereka mengharapkan Bank BTPN setelah merger memberikan kontribusi lebih banyak ke pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kami akan berupaya supaya angka 9-10% itu se-realistis mungkin. Itu angka yang kami prediksikan yang sesuai dengan apa yang ada sekarang, dengan bisnis yang ada dan produk yang kami kembangkan. Kami lihat itu tetap reasonable, dan akan kami lihat saat masuk ke bulan Januari seperti apa.

Ada satu gambaran yang membuat angka aspirasi pertumbuhan kredit kami terlihat agak tinggi. Bisnis korporasi ketika di SMBC Indonesia yang sebelumnya hanya dilayani satu kantor di Jakarta. Setelah merger kami punya opsi melebarkan layanan kami ke nasabah korporasi menggunakan cabang Bank BTPN yang sudah ada. Kami sudah buka di Surabaya dan Medan tahun lalu dan Semarang di tahun ini sebagai ekspansi dari bisnis korporasi. Kami juga akan terus melihat peluang untuk melebarkan layanan korporasi kami di kota-kota yang baru yang sudah memiliki kantor cabang Bank BTPN.

Tahun depan di kota mana akan membuka layanan baru untuk kredit korporasi?

Kalau tahun ini kami sudah buka di Semarang. Tahun depan akan kami buka di Bandung, tentu kami review kota-kota yang memiliki potensi dan akan kami petakan potensi dari setiap kota. Mungkin akan ada maksimumnya, karena tidak di semua kota besar akan ada industri atau korporasinya, nanti di satu titik kami akan stop penambahan cabang untuk korporasi.

Bagaimana dengan adanya proyek-proyek besar pemerintah seperti mobil listrik dan adanya UU Cipta Kerja yang diperkirakan dapat menarik investasi asing lebih banyak lagi bagi Bank BTPN sendiri?

Sebagai bagian dari global bank, SMBC Group, kami sangat aktif dalam mempromosikan foreign direct investment (FDI) ke Indonesia. Memang saat ini kebanyakan dari Jepang, tapi kami juga membuka untuk mendukung investasi dari negara lain.

Sebagai global bank, kami memiliki relationship yang dibawa pada saat mereka masuk ke Indonesia. Misalnya program hilirisasi mineral, SMBC dan kami sekarang sangat kuat di project finance. Program hilirisasi mineral sangat terkait hal itu. Project finance kami memang belum banyak terekspos, tetapi semua proyek pembangkit listrik besar-besar yang 1.000 MW pasti ada SMBC, termasuk project finance lainnya yang telah kami lakukan dan tidak dapat kami sebutkan satu-per satu.


(dob/dob)
[Gambas:Video CNBC]

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular