Wawancara eksklusif

Buka-bukaan Fahri Hamzah Soal Bubarkan KPK Hingga Resesi RI

Muhammad Iqbal, CNBC Indonesia
15 September 2020 06:00
Fahri Hamzah: Omnibus Law Merampas Hak Rakyat (CNBC Indonesia TV)
Wawancara Peter Gontha (kiri) dengan Fahri Hamzah (kanan) (Tangkapan layar CNBC Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Wakil Ketua DPR RI periode 2014-2019 Fahri Hamzah dikenal sebagai sosok yang penuh kontroversi. Salah satu wacana yang identik dengan sosok Fahri adalah pembubaran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Wacana itu diapungkan lantaran Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat Indonesia itu menilai KPK telah gagal melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia. Fahri mengatakan, KPK baru dikatakan berhasil apabila institusi kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, sukses memberantas korupsi, sesuatu yang belum tampak hari-hari ini.

Dalam Program IMPACT With Peter Gontha, Jumat (11/9/2020), eks politikus Partai Keadilan Sejahtera itu juga berbicara soal sistem demokrasi yang terjadi membuat rumit perizinan untuk investasi di tanah air. Fahri juga mengkritik Omnibus Law yang dinilainya lebih pas dalam jangka waktu tertentu.

Berikut adalah petikan wawancara Fahri:

Anda menerbitkan sebuah buku berjudul 'Buku Putih: Kronik Daulat Rakyat Vs Daulat Parpol'. Apa isinya?



Itu buku terakhir yang saya buat di DPR waktu saya berakhir. Sebenarnya itu buku sebenarnya semacam mengucapkan selamat tinggal kepada sistem kepartaian yang lama. Karena saya seperti banyak orang tahu saya konflik dengan partai, lalu saya membela diri dengan segala hak-hak saya sebagai warga negara, dan saya memenangkan pembelaan diri itu.

Di buku ini saya menulis semacam kesaksian di dalam persidangan partai politik kita itu sebenarnya di dalam masalah yang besar sekali karena mereka berhenti menjadi lembaga pemikiran dan menjelma menjadi mesin kekuasaan. Padahal sebenarnya partai politik itu lebih bertugas sebagai lembaga pemikiran daripada mesin kekuasaan.

Itulah yang menyebabkan mereka terjebak pada penyakit-penyakit yang mereka nggak bisa keluar dari situ. Nepotisme, korupsi, exercise kekuasaan yang berlebihan menyebabkan mereka kemudian dikontrol oleh segelintir orang atau kalau orang bilang itu oligark dan lain sebagainya itu karena mereka berhenti sebagai pemikir. Mereka menjelma sebagai mesin politik atau bahkan political animal.

Dan itu yang kemudian kita melihat inovasi di partai politik kita kurang. Para tokohnya tidak berbicara tentang ide-ide segar dan kalau kita lihat juga semuanya itu ada semacam keterjebakan.

Ide-ide segar?

Partai politik itu pada dasarnya adalah kawah candradimuka bagi sebuah bangsa karena dia yang menyuplai para pemikir-pemikir dan pemimpin di tubuh bangsa itu dari tingkat daerah sampai tingkat pusat. Sebuah bangsa kan harus dikelola dengan pikiran. Kekuasaan itu sebenarnya hanya alat saja, di belakang kekuasaan itu kan harus ada pikiran. Itulah yang menyebabkan sebuah bangsa terus bisa survive dengan cara-cara baru menghadapi tantangan zaman. Itu yang saya kritik di dalam buku ini.

Apakah Anda mengetahui dan menyadari respons publik bahwa Anda merupakan sosok yang kontroversial?

Saya dihibur oleh fakta bahwa semua ide-ide besar itu di dalam sejarah memang kontroversial. Jadi kalau kita membawa sesuatu yang besar dan kita bertahan dengan kebesaran dari pikiran kita, kita akan terus kontroversial karena kita menghantam kemapanan di dalam tradisi berpikir dan berbuat di dalam masyarakat kita. Jadi memang itu harus diterima sebagai nasib kalau kita berani membawa ide-ide segar setiap saat.

Berani kontroversial?

Berani kontroversial dan bertahan dengan kontroversi itu apabila kita meyakini itulah yang benar.

Menurut Anda, apakah tindakan Anda saat turut serta dalam Aksi 212 termasuk bagian dari kontroversi?

Aksi 212 itu sebenarnya saya memberikan banyak makna di dalamnya. Tidak saja sebagai peristiwa keagamaan, tetapi juga peristiwa politik nasional. Karena proses dialektika di dalam masyarakat kita yang buntu, lalu terciptalah crowd yang begitu besar, dan kita sebagai wakil rakyat itu mustahil tidak membersamai peristiwa sebesar itu. Dan saya tentu karena diundang dan saya datang.

Dalam tradisi demokrasi, crowd itu juga disebut sebagai parlemen jalanan. Dalam sejarah, parlemen jalanan kadang-kadang lebih efektif dari pada di dalam ruangan. Itu sebabnya kita yang merupakan wakil rakyat, kadang-kadang harus membersamai parlemen jalanan.

Saya tidak saja datang ke Aksi 212, saya juga berpidato dalam demo buruh, demo mahasiswa, di depan DPR. Dan saya paling sering membuka pintu DPR untuk berdialog dengan para demonstran karena saya tidak takut dialog dengan demonstran.


Saya sebenarnya pernah mengusulkan satu konsep yang bernama Alun-alun Demokrasi. Jadi saya waktu itu minta 1 hektare tanah di depan DPR itu dibebaskan bagi tempat rakyat untuk berdemonstrasi dan kita regulasi tempat itu supaya siapapun yang berpidato di situ tidak boleh dipidana. Apapun yang dia sampaikan, apapun yang dia katakan.



Konsepnya sama seperti di Inggris, Hyde Park?


Itu kira-kira idenya seperti itu. Karena apapun sebenarnya, satu bangsa itu kan seperti, kalau kita menganut sistem demokrasi ada lembaga perwakilan seperti kita. Kalau tidak ada lagi yang berdemonstrasi, berarti proses politik di dalam lembaga perwakilan itu sudah berjalan dengan baik.

Tapi kalau Anda berdiri sebagai anggota DPR, Anda lihat ke Hyde Park atau Alun Alun-alun Demokrasi dan Anda melihat masih banyak orang-orang berdemonstrasi, something wrong with the political process.

Saya menganggap demokrasi itu mesti diteruskan dengan cara seperti itu. Dan rupanya dalam tradisi masyarakat kita, dalam tradisi masyarakat Jawa, alun-alun itu rupanya gunanya untuk itu. Tapi cara protesnya itu katanya orang-orang Jawa itu datang ke alun-alun itu kalau dia protes rajanya, dia pegang pahanya dan dia duduk, itu namanya mepe itu, raja tahu kalau ini ada masalah karena di sana protes. Dia tidak teriak pakai mikrofon tetapi dia duduk saja di situ, raja tahu di situ ada masalah.

Proses persambungan antara elite dengan rakyat, dengan masyarakatnya, antara lembaga perwakilan dengan rakyat harus dibangun secara intens. Itu ide-ide saya dalam membangun Alun-alun Demokrasi. Cuma waktu itu banyak yang bilang 'DPR ini boros', dan sebagainya. Akhirnya nggak jadi dibangun.

Kembali kepada kontroversi, jadi siapa sebetulnya Fahri Hamzah? Bahkan Istri Anda pernah mengaku tidak mengenal Anda. Bagaimana sebetulnya publik menginterpretasikan sosok Anda?

Kalimat 'Siapa sebetulnya Fahri Hamzah' itu keluar, akhir dari suatu kekalahan berdebat. Tetapi kekalahan berdebat itu mendatangkan rasa cinta yang bertambah. Jadi dia mengatakan, "Kok saya jadi tidak mengenal" itu perasaan gembira bahwa semua keraguan dia itu saya keluarkan di dalam keterangan perdebatan itu dan dia puas dengan keterangan itu. Sampai-sampai jadi dia seperti baru tahu bahwa ada dari sisi saya yang seperti itu.

Saya juga ketemu orang-orang yang tadinya benci sama saya, nggak suka sama saya, tapi baru ketemu secara insidentil, lalu bertemu lagi dan dia mengatakan 'saya kok bisa ya selama ini benci sama anda'.

Terlepas dari kontroversi, tapi ada juga yang menilai Anda sebagai politisi murni. Tanggapan Anda?

Saya pernah saat menjabat, mengundang, satu acara bernama "Ngopi Bareng Haters". Jadi bersama satu EO, saya challenge mereka berani nggak mengumpulkan haters saya di satu tempat, kafe yang agak gede, di malam hari, saya akan datang dan berdebat dengan semua yang datang. Tapi pastikan yang datang itu yang mau berdebat, mengklarifikasi pikiran-pikiran saya. Karena waktu itu banyak sekali isu tentang KPK dan sebagainya, banyak sekali kontroversi.

Akhirnya diselenggarakan itu dan teman-teman datang itu, saya membuat pembukaan, satu dua pertanyaan, sisanya sebenarnya foto-foto. Jadi tidak terlalu banyak saya lihat perlawanan. Karena itu saya merasa kita tampil dengan pikiran kita terlepas nanti orang menerima atau tidak menerima itu soal kedua karena itu proses yang akan menjelaskan. Itu sebabnya saya lebih baik tampil apa adanya lalu mungkin orang belum terima atau terima itu terserah, tapi nanti dia akan tahu pikiran saya itu ada dasarnya.

Kembali ke Aksi 212, Anda pernah mengatakan mereka harus ada yang menampung karena kalau tidak berbahaya?

Sebenarnya waktu, saya sampai sekarang masih mengkritik pola pengelolaan aspirasi di Istana, karena harusnya kalau pertemuan pertama orang-orang itu didengar, bertemu dengan presiden lalu ada yang mem-follow up secara baik komunikasinya, crowd massa nggak akan sebesar itu. Crowd itu sebagai penanda bahwa orang berharap pada presiden dan arahan dari presiden atas aspirasi mereka, dan seharusnya memang ada yang mengelola itu. Nah itu yang saya lihat itu agak kurang. Karena itulah dia akumulatif.


Saya tidak percaya bahwa massa itu akumulatif kalau tersalurkan. Pada dasarnya demokrasi itu fungsional apabila semua kegelisahan itu tidak bertumpuk tapi mereda menemukan jalan keluarnya.

Ada yang mengatakan presiden sebenarnya menyesal tidak menerima mereka? Bahkan presiden mengatakan seharusnya saya menerima mereka untuk berbincang. Apa betul?

Saya kira saya nggak tahu ya, saya punya pandangan yang makin lama makin saya anggap akurat tentang presiden kita. Presiden Joko Widodo. Pak Jokowi adalah pemimpin yang lahir dari tradisi leadership perkotaan, yang sebenarnya dia membuktikan hubungannya dengan rakyat itu direct.

Kan kita tahu dia di Solo itu bertemu dengan masyarakat. Dia berhasil membuat taman kota jadi bersih karena PKL dipindahkan ke satu tempat dan diterima oleh masyarakat. Di Jakarta juga dia berdialog dengan masyarakat. Nah tradisi itu yang kemudian menurut saya ketika dia jadi presiden diambil alih birokrasi protokoler. Dan itu yang kemudian menyebabkan semacam ada jarak aspirasi dari orang yang ingin bertemu dengan presiden dengan fakta bahwa birokrasinya makin ketat.

Beliau itu sampai turun waktu pandemi Covid-19 sekitar bulan April menemui masyarakat. Bagaimana tanggapan Anda?
Filsafat dia kan saya harus tahu apa yang terjadi di lapangan. Dia bilang begitu kan. Sebenarnya keinginan itu sangat baik sekali. Tapi dalam level dia sebagai presiden, memang dia harus juga dikelilingi oleh orang yang dia sangat percaya sehingga kualitas report kepada presiden itu 100% benar. Tapi kalau dia sekali-kali melakukan itu saya kira tidak ada masalah.

Bagaimana Anda memandang kepastian hukum di tanah air? Apa tanggapan Anda perihal praktik suap yang terpaksa dilakukan demi mendapat kepastian hukum?

Tadi seperti dikutip teaser tadi pernyataan saya tentang cara kita melihat penegakan hukum di negara demokrasi seperti mulai dipertandingkan dengan fakta bahwa negara2 nondemokrasi disebut lebih mendatangkan kepastian. Ada tren untuk menarik kembali demokrasi yang bottom line-nya adalah kebebasan atas nama kepastian, orang mau mengimpose cara berpikir atau mengelola negara dengan tradisi yang lebih top down begitu. 



Saya kira ini perubahan atau cara berpikir yang harus kita dudukkan dari awal bahwa Indonesia ini telah menjadi negara demokrasi yang utuh, negara demokrasi yang bisa dibilang sempurna. Karena exercise demokrasi kita itu dimulai dengan perubahan konstitusi secara radikal. Tiga atau empat amandemen konstitusi kita itu mengubah konstitusi yang lahir pada tanggal 18 Agustus 1945 menjadi konstitusi yang baru, yang dari seluruh ketentuan yang ada, 88% adalah ketentuan yang baru. Jadi metode berpikirnya itu dari otoriter menjadi tradisi demokrasi.


Salah satu yang paling penting dalam cara berpikir demokratis itu adalah inisiatif individual itu tunduk di bawah sistem, tunduh di bawah aturan. Jadi kepastian itu tidak kita berikan kepada manusia, tapi kepastian itu kita berikan kepada sistem. Itulah sebabnya dari tahun 2004, pasca 2003 kita mengakhiri amandemen keempat, lahirlah UU yang berbasis kepada konstitusi baru yang seluruh nafasnya adalah otoritas itu diberikan kepada banyak lembaga.

Bahkan bukan cuma itu. Negara mengintroduksi otonomi daerah secara besar-besaran, dari otonomi tingkat provinsi, lalu lahirlah UU tentang otonomi tingkat dua berbasis kepada kabupaten dan kota. Di akhir masa Pak SBY (Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono), lahir UU Nomor 6 Tahun 2014. Itu adalah UU tentang desa. Jadi bahkan di konsepsi kita sekarang, kita bukan negara federal, tetapi kita sekarang menganut otonomi desa, ketika pemerintah pusat mentransfer langsung uang kepada desa yang disebut dengan Dana Desa itu sehingga desa lebih mandiri dalam mengelola dirinya. Jadi di atas desa itu ada kabupaten dan kota, di atas kabupaten dan kota ada provinsi.


Jadi pemisahan kekuasaan itu dan penyebaran itu tidak saja diberikan secara horizontal, tetapi juga secara vertikal. Kalau dulu di pusat itu hanya ditangani satu orang katakanlah presiden yang paling berwenang di situ apa kata presiden itulah hukum sekarang kita pisah dia. Tidak hanya secara horizontal tetapi juga secara vertikal.

Kepala desa sekarang itu punya otoritas. Bupati dan wali kota punya otoritas. Gubernur sekarang punya otoritas. Dalam kerangka seperti inilah seharusnya negara kita kelola.

Bagaimana hukum sekarang dapat melindungi atau menunjang investasi di Indonesia? Anda mengatakan demokrasi kita sekarang komplet tetapi partai-partai politik, legislatif, dan konstitusi sudah amburadul.

Saya kira iya. Kalau kita bicara evaluasi 20 tahunan, kan saya sering mengatakan setiap 20 tahun, Indonesia selalu punya masalah besar. Ini warning ini, sejarah ini yang mengatakan kepada kita. 'Hai orang Indonesia, setiap 20 tahun, kalian punya masalah'. Dan menurut saya salah satu masalah kita setelah 20 tahun adalah kerumitan politik ini. Karena kita telah masuk ke dalam lorong demokrasi tapi kita tidak sepenuhnya menyadari infrastruktur apa saja yang mesti kita buat bagi demokrasi itu.

Misalnya, perizinan. Terpaksa di dalam sistem demokrasi, perizinannya banyak sekali. Kalau dulu kan presiden cuma mengatakan, "Kamu cukup ketemu dengan si ini, si ini, nanti bawa message saya ke bawah, semuanya beres". In one day. Nggak ada pertanyaan karena dia akan datang kata bos kata bos kata bos.

Tapi dalam tradisi kita menuju demokrasi nggak, semua orang punya otoritasnya. Maka yang kita perlu bangun adalah proses yang transparan dalam satu sistem untuk memastikan bahwa schedule yang ditetapkan pemerintah itu jalan.

Kalau dikatakan kalau di bahwa lembaga itu kamu cukup berurusan dua hari dan setelah dua hari nggak boleh ada tambahan karena lembaga itu akan dihukum. Misalnya katakanlah pemerintah daerah. Saya dari dulu mengusulkan kalau ada pemerintah daerah yang mempersulit perizinan, sebaiknya dana alokasi yang ditransfer dari pusat ke daerah itu harusnya ditahan sebagai hukuman terhadap pemerintah daerah yang mempersulit investasi.

Nah saya kira juga ada terobosan-terobosan yang mulai diambil oleh pemerintah, terutama saya lihat di bawah BKPM yang sekarang. Itu ada inisiatif. Tapi inisiatifnya bukan merampas kewenangan dari lembaga lain lalu diserahkan kepada suatu lembaga. Sebenarnya salah satu roh dari pada PTSP itu kan bukan itu sebenarnya. Tapi bagaimana semua dikoordinir dan sadar tentang pentingnya kita memudahkan orang dalam melakukan perizinan itu.

Dulu waktu saya membahas UU tentang investasi, saya simply bilang kepada teman-teman. Uang tidak punya warga negara, uang tidak punya agama, uang tidak punya nasionalisme, uang hanya ingin datang ke tempat yang memberikan keuntungan yang lebih baik dan jaminan keamanan dan kepastian hukum.

Pertanyaan satu, apakah kita ada kepastian hukum?
Mohon maaf, ini mungkin problem di antara saya dengan orang. Saya tidak mau, saya tidak bisa, cespleng on the spot. Jadi misalnya orang bilang "Korupsi, perkuat KPK" itu muter saya melihatnya.

Bubarkan KPK?

Bahkan lebih dari pada itu. Ini setelah sekian lama saya marah lalu saya membuat statement seperti itu.

Itu statement emosional?
Itu untuk meng-attract pikiran orang bahwa "No Simple Cure in Democracy". Jadi nggak ada lagi yang terlalu sederhana. On the spot, on the spot, on the spot. Ada problem sistemiknya gitu lho.

Atau memang bermaksud membubarkan KPK?

Membangunkan orang. Sebenarnya kan kalau kita baca UU-nya sebenarnya juga KPK harus bubar. Karena UU-nya mengatakan institusi ini dibuat karena polisi, kejaksaan dan pengadilan belum efektif dalam memberantas korupsi.

Sudah efektif sekarang?


Makanya saya mengatakan, kalau kamu tidak bereskan ini, berarti kamu gagal. Kalau kamu mengatakan ini sudah beres, harusnya kamu sudah bubar. Kan begitu?


Tetapi Anda mengatakan "Bubarkan saja KPK!"?
Ya saya bilang bubarkan.

Jadi itu statement emosional atau statement untuk membangunkan orang agar mereka bergerak supaya KPK bisa dibubarkan?

Sebenarnya bisa dua-duanya. Kalau presiden itu, dengan segala maaf saya ngomong presiden, kalau presiden itu mengerti itu orkestranya, KPK itu harus diberikan time table untuk menyelesaikan pekerjaannya.

KPK diberikan time table atau institusi kepolisian, kejaksaan dan kehakiman yang diberikan time table?

Karena dari semua institusi ini yang diberikan senjata paling besar itu adalah KPK. Karena dia punya senjata paling besar maka sebenarnya dia lebih punya kewenangan untuk membereskan kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. harusnya begitu. Tapi itu tidak dia lakukan sehingga dia sibuk.

Itu yang saya bilang di kita itu ada problem dalam perencanaan. Tiba masa tiba akal. Dalam implementasi kita itu menganggap sibuk itu sama dengan sukses. Di dalam evaluasi kita menganggap citra itu sama dengan performance. Kadang-kadang itu tiga hal yang saya lihat dalam planning, implementing, dalam evaluation gitu.

Nah pemberantasan korupsi yang sibuk itu bukan sukses, pemberantasan korupsi yang sukses adalah apabila kita makin percaya pada polisi, makin percaya kepada jaksa, dan makin percaya kepada pengadilan.

Makin percaya sekarang?


Ya itu yang tidak terjadi. Sekarang kan kalau tidak terjadi kita bisa bilang ini ada pekerjaan yang gagal. Jadi jangan KPK mengumumkan bahwa terus menerus tapi ini tambah hancur. Seharusnya sukses dia, oh hari ini tingkat kepercayaan publik kepada Polri sudah naik sekian dan kita bersyukur. Teruslah Polri bekerja, kami bangga mendukung Polri dan anak-anak bangsa akan bangga menjadi anggota Polri. Hari ini kita lihat kejaksaan kita salah satu yang terbaik di Asia Tenggara, kepercayaan masyarakatnya luar biasa, karena itu kita bangga.

Kan itu tidak terjadi kan? Yang terjadi itu kan dia terbakar dan secara sepihak dia mengumumkan dirinya sukses. Jadi sukses ini apa? Nah itu yang saya kemudian bongkar motifnya dari awal. Apa dasar dari membuat UU-nya.

Tapi saya kembali sedikit karena ini problem kita 20 tahunan. Kalau kita tidak mengerti cara kerja demokrasi, termasuk dalam membangun kepastian hukum, kita akan terus menerus kacau begini. Di tengah jalan, kita ingin menuntut absolutisme, dan meminta agar absolutisme diberikan kepada otoritas-otoritas yang ada. Mulai dari presiden, termasuk juga kepada yang lain-lain.

Omnibus Law misalnya. Kita mau merampas semua UU yang sudah dibangun dalam 20 tahun ini, kita taruh di dalam satu UU. Padahal di dalam tradisi kita membuat UU dalam 20 tahun ini, harus ada orang yang mengkoordinasi ini. Supaya kekacauan itu dapat diselesaikan secara intensif terus menerus dalam satu kerja sistem. Kerja sistem ini yang menurut saya itu tidak dimengerti cara kerjanya oleh existing goverment bahkan menurut saya existing generation. It's the problem of generation karena ini soal mindset.

Jadi menurut Anda berapa lama KPK baru bisa membereskan polisi, kejaksaan, dan pengadilan?


Saya nggak melihat KPK yang baru setelah amandemen UU memahami makna dari pada perubahan UU KPK yang kemarin. Bahkan saya mendengar ada semacam dendam bahwa mereka nggak bisa nangkap orang setiap saat lagi, nggak bisa taping (menyadap) orang berlama-lama lagi.

Dendam?

Semacam ada dendam. Kami nggak bisa lagi karena nggak begitu.

Dendam atau karena mempersulit pekerjaan mereka?

Sebenarnya itu tadi. Makna dari perubahan UU ini harus dimengerti. UU ini menghendaki KPK kembali menjadi orkestra, memimpin orkestra. Memang pemimpin tertingginya adalah presiden. Tapi KPK itu dalam penegakkan hukum, bahkan dalam pencegahan, dia punya kewenangan yang melampaui kewenangan presiden.

Pengusaha itu sudah resah, sudah tidak tahu lagi hukum apa yang harus diikuti. Apa sebetulnya yang ada di balik itu?

Ini politisi ya yang saya belajar hukum juga, saya belajar ekonomi juga, tapi sebagai sistem thinker begitu ya saya mengatakan sebenarnya ada kerusakan sistem. Dan karena itu kalau ada kerusakan sistem, mesti kita bacanya itu secara menyeluruh.

Pembacaan terhadap sistem itu paling tidak kita lakukan terhadap tiga hal. Yang pertama itu adalah regulasi. Kita mesti memeriksa kembali apakah telah lahir regulasi yang telah memberikan ruang bagi tindak kejahatan, pelambatan, pelamaan, tindakan yang mengulur-ulur, sewenang-wenang, mengulur untuk mengambil manfaat di belakang dan sebagainya itu. Itu harus kita observasi karena mungkin saja di dalam 20 tahun ini, kita telah salah memproduksi teks-teks yang di dalamnya mengandung di dalamnya itu anasir-anasir penyebab terjadinya kerusakan di kemudian hari.

Yang kedua adalah fakta dari birokrasinya atau kelembagaannya. Apakah lembaga ini sudah betul-betul transparan, terukur, penuh dengan kepastian, menjamin apa yang ada di depan, apa yang ada di belakang, menjamin time table yang diperlukan dalam pengurusan kegiatan usaha dalam perizinan, dalam pembebasan lahan, apakah tidak ada konflik antarkelembagaan yang selalu kita dengar ego sektoral dan sebagainya. Itu harus kita evaluasi.

Dan yang terakhir adalah apakah leadership di masing-masing kelembagaan itu sadar bahwa dalam tradisi kita bernegara sekarang ini, mereka adalah pelayan. Dan karena mereka adalah pelayan mereka harus memberikan kepastian kepada yang dilayani.

Bagaimana dengan Omnibus Law? Bukankah Omnibus Law justru mengatasi poin-poin yang Anda sampaikan?


Saya sudah tidak punya kuasa untuk menerima atau menolak. Tetapi sebagai masyarakat sipil yang memahami proses demokrasi ini, menurut saya tidak harus kita memakai Omnibus Law kalau tradisi di dalam birokrasi negara menyadari tiga hal yang saya sebutkan tadi itu.

Tapi bukankah itu memakan waktu?

Saya mengatakan kepada presiden secara langsung waktu itu, "Pak, kalau bapak mau merevisi beberapa undang-undang yang menurut bapak itu menghambat, kenapa mesti bapak minta DPR? Atas nama kedaruratan pak, bapak bisa membuat perpu untuk menyederhanakan. Tapi tolong pastikan tidak ada perampasan human right di situ, tidak ada lagi ruang yang disembunyikan bagi munculnya..."

Perpu itu sementara, Omnibus Law itu jangka panjang?

Enggak, perpu itu dalam sebulan itu kalau disahkan oleh DPR dia akan menjadi permanen. 



Tapi bisa tidak disahkan?

Bisa, tapi tidak boleh ada anasir atau iktikad dari lembaga-lembaga ini ingin misalnya mengambil kewenangan ada di suatu tempat yang menyebabkan nanti tempat itu terlalu kuat, terlalu dominan, dan itu sebenarnya menyalahi tradisi di dalam berdemokrasi. Sebab nanti di situ muncul masalah.

Kecuali kalau disebut Omnibus Law ini hanya berlaku selama krisis, disebut sekian tahun, boleh jadi itu kita terima. Seperti juga di UU KPK, sebenarnya kan ada pembatasan waktu. Karena itulah saya menyebut itu lembaga ad hoc. Karena seharusnya yang diperkuat adalah indikatornya jelas. Polisi, kejaksaan, pengadilan, sudah bagus, membangun lembaga negara sudah transparan, maka ini tidak perlu terjadi. Dia harus melakukan semacam bunuh diri dia, menghilangkan dirinya, karena yang lain sudah beres.

Omnibus Law juga begitu. Kekhawatirannya adalah memberikan kewenangan yang besar kepada satu lembaga, nanti lembaga ini, nanti lagi-lagi menjadi tempat bagi bermasalah. Berbeda kalau kita mengatakan, oleh presiden mengatakan, ini ada dua tiga UU yang dibuat sebenarnya punya masalah, satu dua UU ini saya sinkronkan, satu kata di situ. Yang lain juga satu kata begitu. Dan itu nggak perlu Omnibus Law, cukup presiden mengatakan, "DPR, ini ada masalah. UU ini dan UU itu ketentuannya beda."

Ini yang sering menciptakan lubang bagi permainan di bawah. Ini saya satukan, ini saya satukan. Sebab, kesatuan makna teks itu penting betul. Karena kita negara hukum yang terbuka. Nggak boleh ada makna ganda dalam teks.



Sekarang, Omnibus Law sedang diproses. Kelihatannya sudah mendekati titik final. Kalaupun itu tetap dilaksanakan atau tetap disetujui nanti bersama, kira-kira berapa tahun?

Kalau menurut saya, sebaiknya Pak Jokowi, legacy-nya yang paling besar adalah keluar dari krisis. Karena itu kita anggap saja Omnibus Law adalah alat bagi presiden untuk keluar dari krisis. Karena itu seharusnya aturan ini tidak boleh mengubah persoalan mendasar, terutama yang terkait dengan norma konstitusi. Dibuat sampai akhir pemerintahan Pak Jokowi sehingga nanti pemerintahan baru kita harapkan situasinya sudah normal. Tetapi kalau dia tidak normal dan menganggap masih memerlukan Omnibus Law, dia bisa ajukan lagi. Itu satu persoalan.


Yang kedua, tidak boleh lupa bahwa kita punya MK. Any individual di republik ini dapat datang ke MK, atas nama bahwa saya dirugikan oleh pasal UU ini, bertentangan dengan norma tertentu dalam UUD, dia bisa membatalkan UU yang merupakan karya dari DPR dan pemerintah. Itu sudah berkali-kali UU itu dibatalkan oleh seorang individual yang datang sendiri dengan lawyer-nya ke MK.

Jadi kita mesti sadar juga bahwa hukum apapun yang kita buat, plafon kita itu adalah konstitusi. Jadi kesadaran itu penting. Sebab lagi-lagi kita nggak bisa lagi menarik Indonesia mensentralisasi kekuasaan. Zaman Pak Harto saja Pak Harto bilang debirokratisasi, deregulasi, itu sudah bahasa di zaman Pak Harto. Kita tahu kekuasaan Pak Harto yang begitu kuat. Tapi beliau sudah ungkapkan itu.

Sekarang juga demikian. Maka masa depan bagi kita adalah lagi-lagi itu tadi teks-nya itu tidak boleh memungkinkan orang untuk berbuat jahat, melambat-lambatkan, tertutup, tidak transparan, dan sebagainya. Yang kedua, birokrasi negara dan kelembagaan negara harus transparan, time table-nya jelas, urus izin ini dua hari, tidak boleh tiga hari, tiga hari yang mendapat hukuman adalah...

Kita boleh men-sue lembaga negara kalau perizinan kita diperlambat oleh dia. Yang begini adalah masa depan kita dan kemudian kinerja dari pemimpin-pemimpin di lembaga negara yang harus dibuat lebih transparan.

Jadi untuk sementara, Omnibus Law, iya atau tidak?

Silakan saja karena sudah jalan. Sudah dikerjakan oleh DPR. Tapi catatannya saja dua itu tadi aja. Sadar kita bahwa ini demokrasi, tidak boleh lagi kita membuat anasir yang sentralistik sifatnya. Yang kedua sadar bahwa UU ini pasti bisa di-judicial review oleh orang.

Korupsi memang merebak sekarang. Banyak yang bilang ini inheritance atau kita warisi dari zaman Orde Baru. Kapan kita bisa berbenah?

Kita datang dalam kultur yang sama dengan beberapa negara. Singapura, Malaysia, Thailand, dan negara-negara di kawasan. Meskipun kita hidup dengan sistem yang berbeda. Ada Vietnam yang sistemnya dengan Partai Komunis. Thailand dengan sistem kerajaan. Malaysia dengan sistem federal, Singapura negara kecil dengan sistem federal juga. Tapi kalau dilihat Indeks Persepsi Korupsi, mereka relatif lebih baik dari pada kita.

Sebenarnya kalau kita baca seluruh konstruksi UU yang sudah dibuat, kata kuncinya itu pada orkestra. Pemberantasan korupsi itu sebenarnya nggak sulit. Karena pada dasarnya orang Indonesia itu, kata mencuri itu, telah dimasukkan ke dalam di antara kata yang paling jelek dalam tradisi kita, dalam semua budaya kita.

Hukuman kurang berat?

Jadi bukan soal hukuman. Ini soal orkestra. Karena kita harus membangun kultur baru yang transparan, yang lain sebagainya itu.

Apakah utang PKS senilai Rp 30 miliar sudah dibayar? Kemudian apakah tujuan akhir Partai Gelora? Akankah sama dengan PKS?

Seperti saya katakan tadi, motif saya menulis buku itu sebenarnya lebih kepada evaluasi terhadap seluruh sistem politik dan partai politik di seluruh Indonesia. Jadi saya tidak terlalu mendefinisikan sebagai konflik antara saya dan PKS saja, tapi ada kritik gitu. Dan kalau kritik saya kepada PKS sudah saya tulis itu kegagalan diri mengintegrasikan diri di dalam kultur negara. Itu kritik saya.

Makanya saya nggak ambil pribadi. Jadi kalau uang Rp 30 miliar itu saya akan hadiahkan, zakatkan, infakkan, kepada fakir miskin, kira-kira begitu. Jadi saya nggak akan nyentuh uangnya dan masih ditagih sekarang.

Terkait Partai Gelora, partai baru ini kita bangun sebenarnya untuk menghadapi perdebatan tentang kritik kita itu. Bagaimana partai politik itu bisa menjadi tenaga yang paling kuat untuk membuat Indonesia ini keluar dari tidak saja dari persoalannya tetapi bahkan keluar untuk menjadi champion di tingkat dunia begitu. Itu yang kami hari-hari latihkan.

Mudah, susah, berhasil? Threshold? 


Tidak terlalu sulit soal itunya. Yang penting sebenarnya ini kita menawarkan perdebatan kepada masyarakat. Karena partai politik harusnya kan industri pemikiran, industri ide, begitu. Kami mau kembalikan partai politik itu sebagai industri pemikiran dulu gitu. Jadi kesibukan mereka meng-exercise kekuasan ini harus kita challenge dengan pemikiran. Saya kira itu yang kita tawarkan.

Bagaimana tanggapan Anda terkait resesi di Indonesia? Apakah itu merupakan kesalahan pemerintah atau memang sesuatu yang bersama-sama dapat kita atasi?

Covid-19 ini bukan sesuatu yang dapat kita salahkan kepada satu pihak. Karena dia telah menjelma jadi persoalan kita bersama. Jadi Covid-19 itu seharusnya dipakai untuk menyatukan, bukan untuk memecah. Oleh sebab itu saya menganggap itu resesi itu justru saya anggap sebagai peluang, peluang untuk menyatukan kembali kita.

Kalau dalam 20 tahun ini dunia swasta punya komplain tentang ego sektoral misalnya, ini waktunya presiden menyatukan ego kita. Termasuk tadi lembaga-lembaga yang disebut.



Banyak pimpinan lembaga-lembaga itu, UU-nya mengatakan A, kalau saya mengambil kebijaksanaan, satu waktu saya bisa dipenjara?

Iya, tapi itu semua dapat dibicarakan karena ada maksud dari pembuat UU yang dalam sistem kita, kalau maksud itu salah atau tidak relevan lagi dengan sistem, maka presiden dapat membuat keputusan yang dapat mengubah itu semua dalam satu malam. Itulah hebatnya presidensialisme.

Jadi saya menganggap presiden itu bisa menyelesaikan problem konflik sektoral, dapat menyelesaikan kerumitan kita dalam mengurusi izin, dapat menyelesaikan kita di dalam kerumitan-kerumitan lain yang sulit dikonsolidasi dan dikoordinasi.

Apakah itu tidak dilakukannya?

Itu yang saya bilang, kritik saya kepada pemerintah itu ada dua. Dapurnya itu kurang kuat. Presiden nggak boleh kelihatan salah, nggak boleh tidak mengerti persoalan, nggak boleh tidak tepat membaca persoalan. Yang kedua operator. Operatornya harus betul-betul mengambil alih semua masalah di semua sektor.

Itu yang saya lihat akhirnya ada kultur kita yang jelek di dalam melihat pemimpin. Kita takut mendekati pemimpin apabila pemimpin itu ada kesalahan harus kita katakan kepadanya. Dan saya khawatir Pak Jokowi juga digitukan sama orang, memakai terminologi Faisal Basri tadi pagi, presiden sering dibohongi. Saya nggak memakai istilah dibohongi tapi kita sering tidak terus terang kepada presiden. Bahwa ini ada masalah.

Kultur?

Kultur. Dan itu harusnya kita lawan.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular