Wawancara eksklusif

Buka-bukaan Fahri Hamzah Soal Bubarkan KPK Hingga Resesi RI

Muhammad Iqbal, CNBC Indonesia
15 September 2020 06:00
Fahri Hamzah (Detikcom/ Lamhot Aritonang)
Wakil Ketua DPR RI 2014-2019 Fahri Hamzah (Dokumentasi www.detik.com)

Bagaimana Anda memandang kepastian hukum di tanah air? Apa tanggapan Anda perihal praktik suap yang terpaksa dilakukan demi mendapat kepastian hukum?

Tadi seperti dikutip teaser tadi pernyataan saya tentang cara kita melihat penegakan hukum di negara demokrasi seperti mulai dipertandingkan dengan fakta bahwa negara2 nondemokrasi disebut lebih mendatangkan kepastian. Ada tren untuk menarik kembali demokrasi yang bottom line-nya adalah kebebasan atas nama kepastian, orang mau mengimpose cara berpikir atau mengelola negara dengan tradisi yang lebih top down begitu. 



Saya kira ini perubahan atau cara berpikir yang harus kita dudukkan dari awal bahwa Indonesia ini telah menjadi negara demokrasi yang utuh, negara demokrasi yang bisa dibilang sempurna. Karena exercise demokrasi kita itu dimulai dengan perubahan konstitusi secara radikal. Tiga atau empat amandemen konstitusi kita itu mengubah konstitusi yang lahir pada tanggal 18 Agustus 1945 menjadi konstitusi yang baru, yang dari seluruh ketentuan yang ada, 88% adalah ketentuan yang baru. Jadi metode berpikirnya itu dari otoriter menjadi tradisi demokrasi.


Salah satu yang paling penting dalam cara berpikir demokratis itu adalah inisiatif individual itu tunduk di bawah sistem, tunduh di bawah aturan. Jadi kepastian itu tidak kita berikan kepada manusia, tapi kepastian itu kita berikan kepada sistem. Itulah sebabnya dari tahun 2004, pasca 2003 kita mengakhiri amandemen keempat, lahirlah UU yang berbasis kepada konstitusi baru yang seluruh nafasnya adalah otoritas itu diberikan kepada banyak lembaga.

Bahkan bukan cuma itu. Negara mengintroduksi otonomi daerah secara besar-besaran, dari otonomi tingkat provinsi, lalu lahirlah UU tentang otonomi tingkat dua berbasis kepada kabupaten dan kota. Di akhir masa Pak SBY (Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono), lahir UU Nomor 6 Tahun 2014. Itu adalah UU tentang desa. Jadi bahkan di konsepsi kita sekarang, kita bukan negara federal, tetapi kita sekarang menganut otonomi desa, ketika pemerintah pusat mentransfer langsung uang kepada desa yang disebut dengan Dana Desa itu sehingga desa lebih mandiri dalam mengelola dirinya. Jadi di atas desa itu ada kabupaten dan kota, di atas kabupaten dan kota ada provinsi.


Jadi pemisahan kekuasaan itu dan penyebaran itu tidak saja diberikan secara horizontal, tetapi juga secara vertikal. Kalau dulu di pusat itu hanya ditangani satu orang katakanlah presiden yang paling berwenang di situ apa kata presiden itulah hukum sekarang kita pisah dia. Tidak hanya secara horizontal tetapi juga secara vertikal.

Kepala desa sekarang itu punya otoritas. Bupati dan wali kota punya otoritas. Gubernur sekarang punya otoritas. Dalam kerangka seperti inilah seharusnya negara kita kelola.

Bagaimana hukum sekarang dapat melindungi atau menunjang investasi di Indonesia? Anda mengatakan demokrasi kita sekarang komplet tetapi partai-partai politik, legislatif, dan konstitusi sudah amburadul.

Saya kira iya. Kalau kita bicara evaluasi 20 tahunan, kan saya sering mengatakan setiap 20 tahun, Indonesia selalu punya masalah besar. Ini warning ini, sejarah ini yang mengatakan kepada kita. 'Hai orang Indonesia, setiap 20 tahun, kalian punya masalah'. Dan menurut saya salah satu masalah kita setelah 20 tahun adalah kerumitan politik ini. Karena kita telah masuk ke dalam lorong demokrasi tapi kita tidak sepenuhnya menyadari infrastruktur apa saja yang mesti kita buat bagi demokrasi itu.

Misalnya, perizinan. Terpaksa di dalam sistem demokrasi, perizinannya banyak sekali. Kalau dulu kan presiden cuma mengatakan, "Kamu cukup ketemu dengan si ini, si ini, nanti bawa message saya ke bawah, semuanya beres". In one day. Nggak ada pertanyaan karena dia akan datang kata bos kata bos kata bos.

Tapi dalam tradisi kita menuju demokrasi nggak, semua orang punya otoritasnya. Maka yang kita perlu bangun adalah proses yang transparan dalam satu sistem untuk memastikan bahwa schedule yang ditetapkan pemerintah itu jalan.

Kalau dikatakan kalau di bahwa lembaga itu kamu cukup berurusan dua hari dan setelah dua hari nggak boleh ada tambahan karena lembaga itu akan dihukum. Misalnya katakanlah pemerintah daerah. Saya dari dulu mengusulkan kalau ada pemerintah daerah yang mempersulit perizinan, sebaiknya dana alokasi yang ditransfer dari pusat ke daerah itu harusnya ditahan sebagai hukuman terhadap pemerintah daerah yang mempersulit investasi.

Nah saya kira juga ada terobosan-terobosan yang mulai diambil oleh pemerintah, terutama saya lihat di bawah BKPM yang sekarang. Itu ada inisiatif. Tapi inisiatifnya bukan merampas kewenangan dari lembaga lain lalu diserahkan kepada suatu lembaga. Sebenarnya salah satu roh dari pada PTSP itu kan bukan itu sebenarnya. Tapi bagaimana semua dikoordinir dan sadar tentang pentingnya kita memudahkan orang dalam melakukan perizinan itu.

Dulu waktu saya membahas UU tentang investasi, saya simply bilang kepada teman-teman. Uang tidak punya warga negara, uang tidak punya agama, uang tidak punya nasionalisme, uang hanya ingin datang ke tempat yang memberikan keuntungan yang lebih baik dan jaminan keamanan dan kepastian hukum.

Pertanyaan satu, apakah kita ada kepastian hukum?
Mohon maaf, ini mungkin problem di antara saya dengan orang. Saya tidak mau, saya tidak bisa, cespleng on the spot. Jadi misalnya orang bilang "Korupsi, perkuat KPK" itu muter saya melihatnya.

Bubarkan KPK?

Bahkan lebih dari pada itu. Ini setelah sekian lama saya marah lalu saya membuat statement seperti itu.

Itu statement emosional?
Itu untuk meng-attract pikiran orang bahwa "No Simple Cure in Democracy". Jadi nggak ada lagi yang terlalu sederhana. On the spot, on the spot, on the spot. Ada problem sistemiknya gitu lho.

Atau memang bermaksud membubarkan KPK?

Membangunkan orang. Sebenarnya kan kalau kita baca UU-nya sebenarnya juga KPK harus bubar. Karena UU-nya mengatakan institusi ini dibuat karena polisi, kejaksaan dan pengadilan belum efektif dalam memberantas korupsi.

Sudah efektif sekarang?


Makanya saya mengatakan, kalau kamu tidak bereskan ini, berarti kamu gagal. Kalau kamu mengatakan ini sudah beres, harusnya kamu sudah bubar. Kan begitu?


Tetapi Anda mengatakan "Bubarkan saja KPK!"?
Ya saya bilang bubarkan.

Jadi itu statement emosional atau statement untuk membangunkan orang agar mereka bergerak supaya KPK bisa dibubarkan?

Sebenarnya bisa dua-duanya. Kalau presiden itu, dengan segala maaf saya ngomong presiden, kalau presiden itu mengerti itu orkestranya, KPK itu harus diberikan time table untuk menyelesaikan pekerjaannya.

KPK diberikan time table atau institusi kepolisian, kejaksaan dan kehakiman yang diberikan time table?

Karena dari semua institusi ini yang diberikan senjata paling besar itu adalah KPK. Karena dia punya senjata paling besar maka sebenarnya dia lebih punya kewenangan untuk membereskan kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. harusnya begitu. Tapi itu tidak dia lakukan sehingga dia sibuk.

Itu yang saya bilang di kita itu ada problem dalam perencanaan. Tiba masa tiba akal. Dalam implementasi kita itu menganggap sibuk itu sama dengan sukses. Di dalam evaluasi kita menganggap citra itu sama dengan performance. Kadang-kadang itu tiga hal yang saya lihat dalam planning, implementing, dalam evaluation gitu.

Nah pemberantasan korupsi yang sibuk itu bukan sukses, pemberantasan korupsi yang sukses adalah apabila kita makin percaya pada polisi, makin percaya kepada jaksa, dan makin percaya kepada pengadilan.

Makin percaya sekarang?


Ya itu yang tidak terjadi. Sekarang kan kalau tidak terjadi kita bisa bilang ini ada pekerjaan yang gagal. Jadi jangan KPK mengumumkan bahwa terus menerus tapi ini tambah hancur. Seharusnya sukses dia, oh hari ini tingkat kepercayaan publik kepada Polri sudah naik sekian dan kita bersyukur. Teruslah Polri bekerja, kami bangga mendukung Polri dan anak-anak bangsa akan bangga menjadi anggota Polri. Hari ini kita lihat kejaksaan kita salah satu yang terbaik di Asia Tenggara, kepercayaan masyarakatnya luar biasa, karena itu kita bangga.

Kan itu tidak terjadi kan? Yang terjadi itu kan dia terbakar dan secara sepihak dia mengumumkan dirinya sukses. Jadi sukses ini apa? Nah itu yang saya kemudian bongkar motifnya dari awal. Apa dasar dari membuat UU-nya.

Tapi saya kembali sedikit karena ini problem kita 20 tahunan. Kalau kita tidak mengerti cara kerja demokrasi, termasuk dalam membangun kepastian hukum, kita akan terus menerus kacau begini. Di tengah jalan, kita ingin menuntut absolutisme, dan meminta agar absolutisme diberikan kepada otoritas-otoritas yang ada. Mulai dari presiden, termasuk juga kepada yang lain-lain.

Omnibus Law misalnya. Kita mau merampas semua UU yang sudah dibangun dalam 20 tahun ini, kita taruh di dalam satu UU. Padahal di dalam tradisi kita membuat UU dalam 20 tahun ini, harus ada orang yang mengkoordinasi ini. Supaya kekacauan itu dapat diselesaikan secara intensif terus menerus dalam satu kerja sistem. Kerja sistem ini yang menurut saya itu tidak dimengerti cara kerjanya oleh existing goverment bahkan menurut saya existing generation. It's the problem of generation karena ini soal mindset.

Jadi menurut Anda berapa lama KPK baru bisa membereskan polisi, kejaksaan, dan pengadilan?


Saya nggak melihat KPK yang baru setelah amandemen UU memahami makna dari pada perubahan UU KPK yang kemarin. Bahkan saya mendengar ada semacam dendam bahwa mereka nggak bisa nangkap orang setiap saat lagi, nggak bisa taping (menyadap) orang berlama-lama lagi.

Dendam?

Semacam ada dendam. Kami nggak bisa lagi karena nggak begitu.

Dendam atau karena mempersulit pekerjaan mereka?

Sebenarnya itu tadi. Makna dari perubahan UU ini harus dimengerti. UU ini menghendaki KPK kembali menjadi orkestra, memimpin orkestra. Memang pemimpin tertingginya adalah presiden. Tapi KPK itu dalam penegakkan hukum, bahkan dalam pencegahan, dia punya kewenangan yang melampaui kewenangan presiden.

(miq/miq)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular