WAWANCARA EKSKLUSIF

Buka-bukaan Fahri Hamzah Soal Bubarkan KPK Hingga Resesi RI

Muhammad Iqbal, CNBC Indonesia
15 September 2020 06:00
Ini Alasan Fahri Hamzah, Kerap Menjadi Sosok Kontroversial (CNBC Indonesia TV)
Foto: Fahri Hamzah (CNBC Indonesia TV)

Pengusaha itu sudah resah, sudah tidak tahu lagi hukum apa yang harus diikuti. Apa sebetulnya yang ada di balik itu?

Ini politisi ya yang saya belajar hukum juga, saya belajar ekonomi juga, tapi sebagai sistem thinker begitu ya saya mengatakan sebenarnya ada kerusakan sistem. Dan karena itu kalau ada kerusakan sistem, mesti kita bacanya itu secara menyeluruh.

Pembacaan terhadap sistem itu paling tidak kita lakukan terhadap tiga hal. Yang pertama itu adalah regulasi. Kita mesti memeriksa kembali apakah telah lahir regulasi yang telah memberikan ruang bagi tindak kejahatan, pelambatan, pelamaan, tindakan yang mengulur-ulur, sewenang-wenang, mengulur untuk mengambil manfaat di belakang dan sebagainya itu. Itu harus kita observasi karena mungkin saja di dalam 20 tahun ini, kita telah salah memproduksi teks-teks yang di dalamnya mengandung di dalamnya itu anasir-anasir penyebab terjadinya kerusakan di kemudian hari.

Yang kedua adalah fakta dari birokrasinya atau kelembagaannya. Apakah lembaga ini sudah betul-betul transparan, terukur, penuh dengan kepastian, menjamin apa yang ada di depan, apa yang ada di belakang, menjamin time table yang diperlukan dalam pengurusan kegiatan usaha dalam perizinan, dalam pembebasan lahan, apakah tidak ada konflik antarkelembagaan yang selalu kita dengar ego sektoral dan sebagainya. Itu harus kita evaluasi.

Dan yang terakhir adalah apakah leadership di masing-masing kelembagaan itu sadar bahwa dalam tradisi kita bernegara sekarang ini, mereka adalah pelayan. Dan karena mereka adalah pelayan mereka harus memberikan kepastian kepada yang dilayani.

Bagaimana dengan Omnibus Law? Bukankah Omnibus Law justru mengatasi poin-poin yang Anda sampaikan?


Saya sudah tidak punya kuasa untuk menerima atau menolak. Tetapi sebagai masyarakat sipil yang memahami proses demokrasi ini, menurut saya tidak harus kita memakai Omnibus Law kalau tradisi di dalam birokrasi negara menyadari tiga hal yang saya sebutkan tadi itu.

Tapi bukankah itu memakan waktu?

Saya mengatakan kepada presiden secara langsung waktu itu, "Pak, kalau bapak mau merevisi beberapa undang-undang yang menurut bapak itu menghambat, kenapa mesti bapak minta DPR? Atas nama kedaruratan pak, bapak bisa membuat perpu untuk menyederhanakan. Tapi tolong pastikan tidak ada perampasan human right di situ, tidak ada lagi ruang yang disembunyikan bagi munculnya..."

Perpu itu sementara, Omnibus Law itu jangka panjang?

Enggak, perpu itu dalam sebulan itu kalau disahkan oleh DPR dia akan menjadi permanen. 



Tapi bisa tidak disahkan?

Bisa, tapi tidak boleh ada anasir atau iktikad dari lembaga-lembaga ini ingin misalnya mengambil kewenangan ada di suatu tempat yang menyebabkan nanti tempat itu terlalu kuat, terlalu dominan, dan itu sebenarnya menyalahi tradisi di dalam berdemokrasi. Sebab nanti di situ muncul masalah.

Kecuali kalau disebut Omnibus Law ini hanya berlaku selama krisis, disebut sekian tahun, boleh jadi itu kita terima. Seperti juga di UU KPK, sebenarnya kan ada pembatasan waktu. Karena itulah saya menyebut itu lembaga ad hoc. Karena seharusnya yang diperkuat adalah indikatornya jelas. Polisi, kejaksaan, pengadilan, sudah bagus, membangun lembaga negara sudah transparan, maka ini tidak perlu terjadi. Dia harus melakukan semacam bunuh diri dia, menghilangkan dirinya, karena yang lain sudah beres.

Omnibus Law juga begitu. Kekhawatirannya adalah memberikan kewenangan yang besar kepada satu lembaga, nanti lembaga ini, nanti lagi-lagi menjadi tempat bagi bermasalah. Berbeda kalau kita mengatakan, oleh presiden mengatakan, ini ada dua tiga UU yang dibuat sebenarnya punya masalah, satu dua UU ini saya sinkronkan, satu kata di situ. Yang lain juga satu kata begitu. Dan itu nggak perlu Omnibus Law, cukup presiden mengatakan, "DPR, ini ada masalah. UU ini dan UU itu ketentuannya beda."

Ini yang sering menciptakan lubang bagi permainan di bawah. Ini saya satukan, ini saya satukan. Sebab, kesatuan makna teks itu penting betul. Karena kita negara hukum yang terbuka. Nggak boleh ada makna ganda dalam teks.



Sekarang, Omnibus Law sedang diproses. Kelihatannya sudah mendekati titik final. Kalaupun itu tetap dilaksanakan atau tetap disetujui nanti bersama, kira-kira berapa tahun?

Kalau menurut saya, sebaiknya Pak Jokowi, legacy-nya yang paling besar adalah keluar dari krisis. Karena itu kita anggap saja Omnibus Law adalah alat bagi presiden untuk keluar dari krisis. Karena itu seharusnya aturan ini tidak boleh mengubah persoalan mendasar, terutama yang terkait dengan norma konstitusi. Dibuat sampai akhir pemerintahan Pak Jokowi sehingga nanti pemerintahan baru kita harapkan situasinya sudah normal. Tetapi kalau dia tidak normal dan menganggap masih memerlukan Omnibus Law, dia bisa ajukan lagi. Itu satu persoalan.


Yang kedua, tidak boleh lupa bahwa kita punya MK. Any individual di republik ini dapat datang ke MK, atas nama bahwa saya dirugikan oleh pasal UU ini, bertentangan dengan norma tertentu dalam UUD, dia bisa membatalkan UU yang merupakan karya dari DPR dan pemerintah. Itu sudah berkali-kali UU itu dibatalkan oleh seorang individual yang datang sendiri dengan lawyer-nya ke MK.

Jadi kita mesti sadar juga bahwa hukum apapun yang kita buat, plafon kita itu adalah konstitusi. Jadi kesadaran itu penting. Sebab lagi-lagi kita nggak bisa lagi menarik Indonesia mensentralisasi kekuasaan. Zaman Pak Harto saja Pak Harto bilang debirokratisasi, deregulasi, itu sudah bahasa di zaman Pak Harto. Kita tahu kekuasaan Pak Harto yang begitu kuat. Tapi beliau sudah ungkapkan itu.

Sekarang juga demikian. Maka masa depan bagi kita adalah lagi-lagi itu tadi teks-nya itu tidak boleh memungkinkan orang untuk berbuat jahat, melambat-lambatkan, tertutup, tidak transparan, dan sebagainya. Yang kedua, birokrasi negara dan kelembagaan negara harus transparan, time table-nya jelas, urus izin ini dua hari, tidak boleh tiga hari, tiga hari yang mendapat hukuman adalah...

Kita boleh men-sue lembaga negara kalau perizinan kita diperlambat oleh dia. Yang begini adalah masa depan kita dan kemudian kinerja dari pemimpin-pemimpin di lembaga negara yang harus dibuat lebih transparan.

Jadi untuk sementara, Omnibus Law, iya atau tidak?

Silakan saja karena sudah jalan. Sudah dikerjakan oleh DPR. Tapi catatannya saja dua itu tadi aja. Sadar kita bahwa ini demokrasi, tidak boleh lagi kita membuat anasir yang sentralistik sifatnya. Yang kedua sadar bahwa UU ini pasti bisa di-judicial review oleh orang.

Korupsi memang merebak sekarang. Banyak yang bilang ini inheritance atau kita warisi dari zaman Orde Baru. Kapan kita bisa berbenah?

Kita datang dalam kultur yang sama dengan beberapa negara. Singapura, Malaysia, Thailand, dan negara-negara di kawasan. Meskipun kita hidup dengan sistem yang berbeda. Ada Vietnam yang sistemnya dengan Partai Komunis. Thailand dengan sistem kerajaan. Malaysia dengan sistem federal, Singapura negara kecil dengan sistem federal juga. Tapi kalau dilihat Indeks Persepsi Korupsi, mereka relatif lebih baik dari pada kita.

Sebenarnya kalau kita baca seluruh konstruksi UU yang sudah dibuat, kata kuncinya itu pada orkestra. Pemberantasan korupsi itu sebenarnya nggak sulit. Karena pada dasarnya orang Indonesia itu, kata mencuri itu, telah dimasukkan ke dalam di antara kata yang paling jelek dalam tradisi kita, dalam semua budaya kita.

Hukuman kurang berat?

Jadi bukan soal hukuman. Ini soal orkestra. Karena kita harus membangun kultur baru yang transparan, yang lain sebagainya itu.

(miq/miq)
Next Page
Dddd
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular