
Buka-bukaan Fahri Hamzah Soal Bubarkan KPK Hingga Resesi RI

Apakah utang PKS senilai Rp 30 miliar sudah dibayar? Kemudian apakah tujuan akhir Partai Gelora? Akankah sama dengan PKS?
Seperti saya katakan tadi, motif saya menulis buku itu sebenarnya lebih kepada evaluasi terhadap seluruh sistem politik dan partai politik di seluruh Indonesia. Jadi saya tidak terlalu mendefinisikan sebagai konflik antara saya dan PKS saja, tapi ada kritik gitu. Dan kalau kritik saya kepada PKS sudah saya tulis itu kegagalan diri mengintegrasikan diri di dalam kultur negara. Itu kritik saya.
Makanya saya nggak ambil pribadi. Jadi kalau uang Rp 30 miliar itu saya akan hadiahkan, zakatkan, infakkan, kepada fakir miskin, kira-kira begitu. Jadi saya nggak akan nyentuh uangnya dan masih ditagih sekarang.
Terkait Partai Gelora, partai baru ini kita bangun sebenarnya untuk menghadapi perdebatan tentang kritik kita itu. Bagaimana partai politik itu bisa menjadi tenaga yang paling kuat untuk membuat Indonesia ini keluar dari tidak saja dari persoalannya tetapi bahkan keluar untuk menjadi champion di tingkat dunia begitu. Itu yang kami hari-hari latihkan.
Mudah, susah, berhasil? Threshold?
Tidak terlalu sulit soal itunya. Yang penting sebenarnya ini kita menawarkan perdebatan kepada masyarakat. Karena partai politik harusnya kan industri pemikiran, industri ide, begitu. Kami mau kembalikan partai politik itu sebagai industri pemikiran dulu gitu. Jadi kesibukan mereka meng-exercise kekuasan ini harus kita challenge dengan pemikiran. Saya kira itu yang kita tawarkan.
Bagaimana tanggapan Anda terkait resesi di Indonesia? Apakah itu merupakan kesalahan pemerintah atau memang sesuatu yang bersama-sama dapat kita atasi?
Covid-19 ini bukan sesuatu yang dapat kita salahkan kepada satu pihak. Karena dia telah menjelma jadi persoalan kita bersama. Jadi Covid-19 itu seharusnya dipakai untuk menyatukan, bukan untuk memecah. Oleh sebab itu saya menganggap itu resesi itu justru saya anggap sebagai peluang, peluang untuk menyatukan kembali kita.
Kalau dalam 20 tahun ini dunia swasta punya komplain tentang ego sektoral misalnya, ini waktunya presiden menyatukan ego kita. Termasuk tadi lembaga-lembaga yang disebut.
Banyak pimpinan lembaga-lembaga itu, UU-nya mengatakan A, kalau saya mengambil kebijaksanaan, satu waktu saya bisa dipenjara?
Iya, tapi itu semua dapat dibicarakan karena ada maksud dari pembuat UU yang dalam sistem kita, kalau maksud itu salah atau tidak relevan lagi dengan sistem, maka presiden dapat membuat keputusan yang dapat mengubah itu semua dalam satu malam. Itulah hebatnya presidensialisme.
Jadi saya menganggap presiden itu bisa menyelesaikan problem konflik sektoral, dapat menyelesaikan kerumitan kita dalam mengurusi izin, dapat menyelesaikan kita di dalam kerumitan-kerumitan lain yang sulit dikonsolidasi dan dikoordinasi.
Apakah itu tidak dilakukannya?
Itu yang saya bilang, kritik saya kepada pemerintah itu ada dua. Dapurnya itu kurang kuat. Presiden nggak boleh kelihatan salah, nggak boleh tidak mengerti persoalan, nggak boleh tidak tepat membaca persoalan. Yang kedua operator. Operatornya harus betul-betul mengambil alih semua masalah di semua sektor.
Itu yang saya lihat akhirnya ada kultur kita yang jelek di dalam melihat pemimpin. Kita takut mendekati pemimpin apabila pemimpin itu ada kesalahan harus kita katakan kepadanya. Dan saya khawatir Pak Jokowi juga digitukan sama orang, memakai terminologi Faisal Basri tadi pagi, presiden sering dibohongi. Saya nggak memakai istilah dibohongi tapi kita sering tidak terus terang kepada presiden. Bahwa ini ada masalah.
Kultur?
Kultur. Dan itu harusnya kita lawan.
[Gambas:Video CNBC]