Wawancara eksklusif
Buka-bukaan Fahri Hamzah Soal Bubarkan KPK Hingga Resesi RI

Jakarta, CNBC Indonesia - Wakil Ketua DPR RI periode 2014-2019 Fahri Hamzah dikenal sebagai sosok yang penuh kontroversi. Salah satu wacana yang identik dengan sosok Fahri adalah pembubaran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Wacana itu diapungkan lantaran Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat Indonesia itu menilai KPK telah gagal melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia. Fahri mengatakan, KPK baru dikatakan berhasil apabila institusi kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, sukses memberantas korupsi, sesuatu yang belum tampak hari-hari ini.
Dalam Program IMPACT With Peter Gontha, Jumat (11/9/2020), eks politikus Partai Keadilan Sejahtera itu juga berbicara soal sistem demokrasi yang terjadi membuat rumit perizinan untuk investasi di tanah air. Fahri juga mengkritik Omnibus Law yang dinilainya lebih pas dalam jangka waktu tertentu.
Berikut adalah petikan wawancara Fahri:
Anda menerbitkan sebuah buku berjudul 'Buku Putih: Kronik Daulat Rakyat Vs Daulat Parpol'. Apa isinya?
Itu buku terakhir yang saya buat di DPR waktu saya berakhir. Sebenarnya itu buku sebenarnya semacam mengucapkan selamat tinggal kepada sistem kepartaian yang lama. Karena saya seperti banyak orang tahu saya konflik dengan partai, lalu saya membela diri dengan segala hak-hak saya sebagai warga negara, dan saya memenangkan pembelaan diri itu.
Di buku ini saya menulis semacam kesaksian di dalam persidangan partai politik kita itu sebenarnya di dalam masalah yang besar sekali karena mereka berhenti menjadi lembaga pemikiran dan menjelma menjadi mesin kekuasaan. Padahal sebenarnya partai politik itu lebih bertugas sebagai lembaga pemikiran daripada mesin kekuasaan.
Itulah yang menyebabkan mereka terjebak pada penyakit-penyakit yang mereka nggak bisa keluar dari situ. Nepotisme, korupsi, exercise kekuasaan yang berlebihan menyebabkan mereka kemudian dikontrol oleh segelintir orang atau kalau orang bilang itu oligark dan lain sebagainya itu karena mereka berhenti sebagai pemikir. Mereka menjelma sebagai mesin politik atau bahkan political animal.
Dan itu yang kemudian kita melihat inovasi di partai politik kita kurang. Para tokohnya tidak berbicara tentang ide-ide segar dan kalau kita lihat juga semuanya itu ada semacam keterjebakan.
Ide-ide segar?
Partai politik itu pada dasarnya adalah kawah candradimuka bagi sebuah bangsa karena dia yang menyuplai para pemikir-pemikir dan pemimpin di tubuh bangsa itu dari tingkat daerah sampai tingkat pusat. Sebuah bangsa kan harus dikelola dengan pikiran. Kekuasaan itu sebenarnya hanya alat saja, di belakang kekuasaan itu kan harus ada pikiran. Itulah yang menyebabkan sebuah bangsa terus bisa survive dengan cara-cara baru menghadapi tantangan zaman. Itu yang saya kritik di dalam buku ini.
Apakah Anda mengetahui dan menyadari respons publik bahwa Anda merupakan sosok yang kontroversial?
Saya dihibur oleh fakta bahwa semua ide-ide besar itu di dalam sejarah memang kontroversial. Jadi kalau kita membawa sesuatu yang besar dan kita bertahan dengan kebesaran dari pikiran kita, kita akan terus kontroversial karena kita menghantam kemapanan di dalam tradisi berpikir dan berbuat di dalam masyarakat kita. Jadi memang itu harus diterima sebagai nasib kalau kita berani membawa ide-ide segar setiap saat.
Berani kontroversial?
Berani kontroversial dan bertahan dengan kontroversi itu apabila kita meyakini itulah yang benar.
Menurut Anda, apakah tindakan Anda saat turut serta dalam Aksi 212 termasuk bagian dari kontroversi?
Aksi 212 itu sebenarnya saya memberikan banyak makna di dalamnya. Tidak saja sebagai peristiwa keagamaan, tetapi juga peristiwa politik nasional. Karena proses dialektika di dalam masyarakat kita yang buntu, lalu terciptalah crowd yang begitu besar, dan kita sebagai wakil rakyat itu mustahil tidak membersamai peristiwa sebesar itu. Dan saya tentu karena diundang dan saya datang.
Dalam tradisi demokrasi, crowd itu juga disebut sebagai parlemen jalanan. Dalam sejarah, parlemen jalanan kadang-kadang lebih efektif dari pada di dalam ruangan. Itu sebabnya kita yang merupakan wakil rakyat, kadang-kadang harus membersamai parlemen jalanan.
Saya tidak saja datang ke Aksi 212, saya juga berpidato dalam demo buruh, demo mahasiswa, di depan DPR. Dan saya paling sering membuka pintu DPR untuk berdialog dengan para demonstran karena saya tidak takut dialog dengan demonstran.
Saya sebenarnya pernah mengusulkan satu konsep yang bernama Alun-alun Demokrasi. Jadi saya waktu itu minta 1 hektare tanah di depan DPR itu dibebaskan bagi tempat rakyat untuk berdemonstrasi dan kita regulasi tempat itu supaya siapapun yang berpidato di situ tidak boleh dipidana. Apapun yang dia sampaikan, apapun yang dia katakan.
Konsepnya sama seperti di Inggris, Hyde Park?
Itu kira-kira idenya seperti itu. Karena apapun sebenarnya, satu bangsa itu kan seperti, kalau kita menganut sistem demokrasi ada lembaga perwakilan seperti kita. Kalau tidak ada lagi yang berdemonstrasi, berarti proses politik di dalam lembaga perwakilan itu sudah berjalan dengan baik.
Tapi kalau Anda berdiri sebagai anggota DPR, Anda lihat ke Hyde Park atau Alun Alun-alun Demokrasi dan Anda melihat masih banyak orang-orang berdemonstrasi, something wrong with the political process.
Saya menganggap demokrasi itu mesti diteruskan dengan cara seperti itu. Dan rupanya dalam tradisi masyarakat kita, dalam tradisi masyarakat Jawa, alun-alun itu rupanya gunanya untuk itu. Tapi cara protesnya itu katanya orang-orang Jawa itu datang ke alun-alun itu kalau dia protes rajanya, dia pegang pahanya dan dia duduk, itu namanya mepe itu, raja tahu kalau ini ada masalah karena di sana protes. Dia tidak teriak pakai mikrofon tetapi dia duduk saja di situ, raja tahu di situ ada masalah.
Proses persambungan antara elite dengan rakyat, dengan masyarakatnya, antara lembaga perwakilan dengan rakyat harus dibangun secara intens. Itu ide-ide saya dalam membangun Alun-alun Demokrasi. Cuma waktu itu banyak yang bilang 'DPR ini boros', dan sebagainya. Akhirnya nggak jadi dibangun.
Kembali kepada kontroversi, jadi siapa sebetulnya Fahri Hamzah? Bahkan Istri Anda pernah mengaku tidak mengenal Anda. Bagaimana sebetulnya publik menginterpretasikan sosok Anda?
Kalimat 'Siapa sebetulnya Fahri Hamzah' itu keluar, akhir dari suatu kekalahan berdebat. Tetapi kekalahan berdebat itu mendatangkan rasa cinta yang bertambah. Jadi dia mengatakan, "Kok saya jadi tidak mengenal" itu perasaan gembira bahwa semua keraguan dia itu saya keluarkan di dalam keterangan perdebatan itu dan dia puas dengan keterangan itu. Sampai-sampai jadi dia seperti baru tahu bahwa ada dari sisi saya yang seperti itu.
Saya juga ketemu orang-orang yang tadinya benci sama saya, nggak suka sama saya, tapi baru ketemu secara insidentil, lalu bertemu lagi dan dia mengatakan 'saya kok bisa ya selama ini benci sama anda'.
Terlepas dari kontroversi, tapi ada juga yang menilai Anda sebagai politisi murni. Tanggapan Anda?
Saya pernah saat menjabat, mengundang, satu acara bernama "Ngopi Bareng Haters". Jadi bersama satu EO, saya challenge mereka berani nggak mengumpulkan haters saya di satu tempat, kafe yang agak gede, di malam hari, saya akan datang dan berdebat dengan semua yang datang. Tapi pastikan yang datang itu yang mau berdebat, mengklarifikasi pikiran-pikiran saya. Karena waktu itu banyak sekali isu tentang KPK dan sebagainya, banyak sekali kontroversi.
Akhirnya diselenggarakan itu dan teman-teman datang itu, saya membuat pembukaan, satu dua pertanyaan, sisanya sebenarnya foto-foto. Jadi tidak terlalu banyak saya lihat perlawanan. Karena itu saya merasa kita tampil dengan pikiran kita terlepas nanti orang menerima atau tidak menerima itu soal kedua karena itu proses yang akan menjelaskan. Itu sebabnya saya lebih baik tampil apa adanya lalu mungkin orang belum terima atau terima itu terserah, tapi nanti dia akan tahu pikiran saya itu ada dasarnya.
Kembali ke Aksi 212, Anda pernah mengatakan mereka harus ada yang menampung karena kalau tidak berbahaya?
Sebenarnya waktu, saya sampai sekarang masih mengkritik pola pengelolaan aspirasi di Istana, karena harusnya kalau pertemuan pertama orang-orang itu didengar, bertemu dengan presiden lalu ada yang mem-follow up secara baik komunikasinya, crowd massa nggak akan sebesar itu. Crowd itu sebagai penanda bahwa orang berharap pada presiden dan arahan dari presiden atas aspirasi mereka, dan seharusnya memang ada yang mengelola itu. Nah itu yang saya lihat itu agak kurang. Karena itulah dia akumulatif.
Saya tidak percaya bahwa massa itu akumulatif kalau tersalurkan. Pada dasarnya demokrasi itu fungsional apabila semua kegelisahan itu tidak bertumpuk tapi mereda menemukan jalan keluarnya.
Ada yang mengatakan presiden sebenarnya menyesal tidak menerima mereka? Bahkan presiden mengatakan seharusnya saya menerima mereka untuk berbincang. Apa betul?
Saya kira saya nggak tahu ya, saya punya pandangan yang makin lama makin saya anggap akurat tentang presiden kita. Presiden Joko Widodo. Pak Jokowi adalah pemimpin yang lahir dari tradisi leadership perkotaan, yang sebenarnya dia membuktikan hubungannya dengan rakyat itu direct.
Kan kita tahu dia di Solo itu bertemu dengan masyarakat. Dia berhasil membuat taman kota jadi bersih karena PKL dipindahkan ke satu tempat dan diterima oleh masyarakat. Di Jakarta juga dia berdialog dengan masyarakat. Nah tradisi itu yang kemudian menurut saya ketika dia jadi presiden diambil alih birokrasi protokoler. Dan itu yang kemudian menyebabkan semacam ada jarak aspirasi dari orang yang ingin bertemu dengan presiden dengan fakta bahwa birokrasinya makin ketat.
Beliau itu sampai turun waktu pandemi Covid-19 sekitar bulan April menemui masyarakat. Bagaimana tanggapan Anda?
Filsafat dia kan saya harus tahu apa yang terjadi di lapangan. Dia bilang begitu kan. Sebenarnya keinginan itu sangat baik sekali. Tapi dalam level dia sebagai presiden, memang dia harus juga dikelilingi oleh orang yang dia sangat percaya sehingga kualitas report kepada presiden itu 100% benar. Tapi kalau dia sekali-kali melakukan itu saya kira tidak ada masalah.