Jakarta, CNBC Indonesia - Pinjaman online (pinjol) merebak sejak pandemi Covid-19. Meskipun sudah ada sebelum itu, namun tekanan ekonomi yang dihadapi semasa Covid-19 menuntut untuk memaksimalkan layanan tersebut.
Di zaman teknologi seperti saat ini semua hal terasa serba mudah. Begitu pun dengan permodalan, jika dulu masyarakat Indonesia sangat sulit mendapatkan pinjaman kini untuk mendapatkan pinjaman uang begitu mudah.
Salah satu yang memudahkan ialah adanya platform penyedia jasa pinjaman secara digital atau biasa disebut pinjaman online(pinjol). Kehadiran industri fintech dalam menawarkan produk keuangan berbasis digital seakan membuka pintu baru bagi masyarakat yang ingin mengajukan pinjaman.
Berbanding terbalik dengan layanan pinjaman konvensional yang ditawarkan bank atau koperasi, berbagai fintech menawarkan produk pinjamanpeer to peer lending (P2P Lending)atau pinjaman online yang dapat diajukan dengan sangat mudah dan tanpa persyaratan yang rumit. Karena kemudahan dan kecepatannya itulah fintech.
Jika berkaca pada kondisi saat ini, pandemi Covid-19 sudah mulai bisa hidup berdampingan dengan masyarakat. Meskipun tekanan ekonominya masih terasa di beberapa sektor namun jauh lebih baik ketimbang 2020 lalu.
Kendati demikian, apakah pinjol masih wajar dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia? Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan karena tak mampu atau pemenuhan gaya hidup saja? Fenomena ini rasanya begitu menarik untuk diperbincangkan.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan, nilai penyaluran pinjaman online (pinjol) di Indonesia mencapai Rp 19,49 triliun pada September 2022. Jumlah tersebut disebarkan ke 14,17 juta akun nasabah di seluruh Indonesia.
Jika dilihat berdasarkan wilayahnya, ternyata Jawa Barat menjadi provinsi dengan jumlah nasabah pinjol terbanyak di Indonesia di mana tercatat ada 3,92 juta nasabah pinjol di provinsi yang dipimpin oleh Ridwan Kamil tersebut.
Kemudian, DKI Jakarta menyusul di posisi kedua dengan 3,01 juta nasabah pinjol. Kemudian, terdapat 1,6 juta nasabah pinjol di Jawa Timur. Sementara, jika melihat nasabah pinjol di Banten dan Jawa Tengah masing-masing sebanyak 1,31 juta akun dan 1,15 juta akun. Lalu, ada 424.750 nasabah pinjol di Sumatera Utara. Sementara, nasabah pinjol paling sedikit berada di Sulawesi Barat, yakni 10.998 akun.
Per September 2022, Otoritas Jasa Keungan (OJK) melaporkan jumlah penyaluran pinjaman fintech lending sebanyak Rp 19,49 triliun. Nilai tersebut naik 1,41% dibandingkan pada bulan sebelumnya.
Jumlah penyaluran pinjaman fintech lending juga lebih tinggi 36,67% jika dibandingkan setahun sebelumnya. Pada September 2021, jumlah penyaluran pinjaman fintech lending sebesar Rp14,26 triliun. Adapun, jumlah penerima pinjaman fintech lending sebanyak 14,17 juta entitas pada September 2022.
Jika melihat jumlah penyaluran pinjamannya ke sektor produktif, maka angkanya mencapai Rp9,32 triliun pada September 2022. Jumlah tersebut mencapai 47,83% dari total penyaluran pinjaman fintech lending.
Adapun, sektor produktif yang paling besar mendapatkan pinjaman fintech lending adalah perdagangan besar dan eceran, reparasi, serta perawatan mobil dan sepeda motor sebesar Rp3,26 triliun. Posisinya diikuti sektor penyediaan akomodasi dan penyediaan makan minum sebesar Rp1,23 triliun.
Layanan pinjaman online (pinjol) bisa dilihat dari 2 sisi. Pertama, membantu memenuhi kebutuhan dikala sedang dalam kesusahan atau sisi kedua yang justru mendorong masyarakat memiliki gaya hidup baru yang lebih konsumtif.
Dari sisi pemenuhan kebutuhan, pinjol bisa membantu membiayai ketika sedang benar-benar kesulitan, untuk optimalisasi pembiayaan UMKM, meningkatkan layanan proses bisnis, mempermudah pembayaran transaksi dan membantu UMKM menyusun laporan keuangan dengan catatan bahwa pinjol yang legal.
Keberadaan pinjaman online ini menjadi polemik karena rendahnya literasi keuangan pada masyarakat Indonesia. Hal ini tentu berisiko membuat debitur pinjaman online untuk terjebak jeratan utang yang terlalu berat hingga tak mampu membayar cicilannya.
Banyak berita yang tersebar di media, yang menceritakan berbagai ancaman yang akan mengintai kalau sampai tidak mampu melunasi cicilan pinjaman online.
Namun, benar saja belakangan pinjaman online ini lebih dinilai sebagai suatu hal yang negatif, karena banyak yang ilegal. Efek dari pinjaman online ilegal bukan hanya bunganya yang besar. Namun bisa berdampak pada kehidupan peminjam termasuk rumah tangga yang berantakan hingga bunuh diri.
Ini terjadi karena peminjam tak mampu membayar. Pada akhirnya mereka memiliki dampak masalah yang jauh lebih besar.
Per September 2022, total kredit bermasalah Fintech P2P Lending mencapai Rp5,1 triliun atau lompat 125% secara tahunan (year on year/yoy). Jumlah itu terdiri atas Pinjaman Tidak Lancar senilai Rp3,6 triliun dan Pinjaman Macet senilai Rp1,5 triliun.
Peningkatan kredit bermasalah menyebabkan rasio Tingkat Keberhasilan Bayar 90 Hari (TKB90) Fintech P2P Lending melandai. Pada Agustus 2022, rasio TKB90 tercatat 97,11%.
Nilainya sedikit turun menjadi 96,93% pada September 2022. Selaras dengan penurunan TKB90, Tingkat Wanprestasi/Kelalaian Penyelesaian Kewajiban 90 Hari (TWP90) juga naik ke 3,07% pada September 2022. Angka ini menjadi yang tertinggi sepanjang 2022, dan naik signifikan dari TWP90 September 2021 yang sebesar 1,9%.
TWP90 adalah ukuran tingkat wanprestasi kegagalan pembayaran kewajiban yang diperjanjikan dengan kemoloran 90 hari sejak tanggal jatuh tempo. Indikator ini mirip seperti rasio NPL yang biasa digunakan oleh perbankan.
Secara keseluruhan, industri Fintech P2P Lending di Indonesia mencatat rugi bersih senilai Rp141,2 miliar pada September 2022. Tahun lalu, industri ini mampu mencetak laba Rp203 miliar.
Kerugian terjadi meski pendapatan pelaku Fintech P2P Lending justru melesat 72% (yoy), dari Rp3,6 triliun menjadi Rp6,3 triliun. Artinya, kinerja penyaluran kredit tidaklah terkendala. Yang bermasalah adalah penagihan utang (collection).
Pinjaman Tidak Lancar didominasi oleh debitur kategori perorangan mencapai Rp3,34 triliun. Dari angka tersebut, generasi Milenial dan Gen Z ternyata menjadi debitur atau peminjam yang paling banyak.
Secara total, mereka menunggak Rp2,17 triliun melalui 1,28 juta akun. Debitur kategori perorangan juga mendominasi Pinjaman Macet dengan total outstanding mencapai Rp1,33 triliun. Peminjam berusia 19-34 tahun menjadi kontributor terbanyak, yakni senilai Rp902 miliar dari 349 ribu akun.
Untuk kategori perorangan, pembiayaan senilai Rp12,14 triliun disalurkan ke pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dan Rp28,97 triliun untuk non-UMKM. Sementara itu, penyaluran badan usaha ke UMKM senilai Rp5 triliun dan non-UMKM senilai Rp2,62 triliun.
Dengan data ini, dapat diketahui bahwa generasi Milenial dan Gen Z terdata mendominasi layanan Fintech P2P Lending di Indonesia. Sebagai pengguna mayoritas, tak heran jika mereka juga berperan besar terhadap rasio kredit bermasalah.
Menurut OJK, terdapat beberapa alasan masyarakat kerap terjerat pinjaman online ilegal Mulai dari untuk membayar utang lain. "Jadi ini seperti gali lubang tutup lubang". Alasan lain melihat latar berlakang ekonomi menengah ke bawah. Kemudian pencairan dana pinjol yang lebih cepat.
Di sisi lain, ada juga masyarakat yang meminjam pinjol ilegal demi memenuhi kebutuhan gaya hidup, bukan kebutuhan. Hal ini yang sangat disayangkannya.
Meski demikian, bagaimanapun pemanfaatannya, platform fintech P2P lending ini harus di dorong agar lebih efisien, sehingga lebih bisa meringankan pinjaman dan ditindak lanjuti peruntukan pinjaman tersebut meskipun 'kemudahan' memang ciri khas pinjol namun bida berdampak tak baik utamanya bagi anak muda yang hanya memenuhi gaya hidup.
Mengacu pada standard NPL perbankan yang masih dikategorikan aman ketika rasionya di bawah 5%, maka rasio TWP90 yang sebesar 3,07% pun masih dinilai terkendali. Tetapi langkah pencegahan harus terus diperkuat.
TIM RISET CNBC INDONESIA