
Lagi Tren Pinjaman Online, Buat Kebutuhan atau Gaya Hidup?

Layanan pinjaman online (pinjol) bisa dilihat dari 2 sisi. Pertama, membantu memenuhi kebutuhan dikala sedang dalam kesusahan atau sisi kedua yang justru mendorong masyarakat memiliki gaya hidup baru yang lebih konsumtif.
Dari sisi pemenuhan kebutuhan, pinjol bisa membantu membiayai ketika sedang benar-benar kesulitan, untuk optimalisasi pembiayaan UMKM, meningkatkan layanan proses bisnis, mempermudah pembayaran transaksi dan membantu UMKM menyusun laporan keuangan dengan catatan bahwa pinjol yang legal.
Keberadaan pinjaman online ini menjadi polemik karena rendahnya literasi keuangan pada masyarakat Indonesia. Hal ini tentu berisiko membuat debitur pinjaman online untuk terjebak jeratan utang yang terlalu berat hingga tak mampu membayar cicilannya.
Banyak berita yang tersebar di media, yang menceritakan berbagai ancaman yang akan mengintai kalau sampai tidak mampu melunasi cicilan pinjaman online.
Namun, benar saja belakangan pinjaman online ini lebih dinilai sebagai suatu hal yang negatif, karena banyak yang ilegal. Efek dari pinjaman online ilegal bukan hanya bunganya yang besar. Namun bisa berdampak pada kehidupan peminjam termasuk rumah tangga yang berantakan hingga bunuh diri.
Ini terjadi karena peminjam tak mampu membayar. Pada akhirnya mereka memiliki dampak masalah yang jauh lebih besar.
Per September 2022, total kredit bermasalah Fintech P2P Lending mencapai Rp5,1 triliun atau lompat 125% secara tahunan (year on year/yoy). Jumlah itu terdiri atas Pinjaman Tidak Lancar senilai Rp3,6 triliun dan Pinjaman Macet senilai Rp1,5 triliun.
Peningkatan kredit bermasalah menyebabkan rasio Tingkat Keberhasilan Bayar 90 Hari (TKB90) Fintech P2P Lending melandai. Pada Agustus 2022, rasio TKB90 tercatat 97,11%.
Nilainya sedikit turun menjadi 96,93% pada September 2022. Selaras dengan penurunan TKB90, Tingkat Wanprestasi/Kelalaian Penyelesaian Kewajiban 90 Hari (TWP90) juga naik ke 3,07% pada September 2022. Angka ini menjadi yang tertinggi sepanjang 2022, dan naik signifikan dari TWP90 September 2021 yang sebesar 1,9%.
TWP90 adalah ukuran tingkat wanprestasi kegagalan pembayaran kewajiban yang diperjanjikan dengan kemoloran 90 hari sejak tanggal jatuh tempo. Indikator ini mirip seperti rasio NPL yang biasa digunakan oleh perbankan.
Secara keseluruhan, industri Fintech P2P Lending di Indonesia mencatat rugi bersih senilai Rp141,2 miliar pada September 2022. Tahun lalu, industri ini mampu mencetak laba Rp203 miliar.
Kerugian terjadi meski pendapatan pelaku Fintech P2P Lending justru melesat 72% (yoy), dari Rp3,6 triliun menjadi Rp6,3 triliun. Artinya, kinerja penyaluran kredit tidaklah terkendala. Yang bermasalah adalah penagihan utang (collection).
(aum/aum)