Jakarta, CNBC Indonesia - Perkembangan teknologi keuangan membuat masyarakat kini memilih untuk melakukan transaksi melalui pembayaran digital, dibandingkan dengan menggunakan uang cash atau uang kartal.
Maka tak heran, saat ini jika keluar rumah tanpa dompet adalah 'kiamat'. Tidak bisa apa-apa, tidak bisa makan, minum, jajan, dan sebagainya, kini hal itu tidak berlaku lagi.
Saat ini, ke luar rumah tanpa dompet tidak masalah, yang penting jangan ketinggalan telepon seluler (ponsel). Karena semua rata-rata orang di Indonesia saat ini lebih memilih menaruh uangnya di dalam ponsel.
Uang di dalam ponsel itu disebut dompet elektronik alias e-wallet. Selain di ponsel, uang juga kini bisa berbentuk kartu yang kini wajib digunakan untuk bertransaksi di jalan tol. Uang dalam bentuk aplikasi dan kartu itu disebut uang elektronik.
Lantas, bagaimana masa depan uang kartal ke depannya? Besar kemungkinan uang kartal mungkin akan ditinggalkan masyarakat.
Terlebih, BI juga berencana untuk menerbitkan rupiah digital atau Central Bank Digital Currency (CBDC) dalam waktu dekat.
Sayangnya, hingga berita ini diturunkan, Bank Indonesia (BI) belum merespon pertanyaan CNBC Indonesia mengenai masa depan uang kartal.
Kendati demikian, kiamat uang kartal di depan mat mulai terlihat dari beberapa fakta yang juga dilaporkan oleh Bank Indonesia. Simak!
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Destry Damayanti, menyampaikan pertumbuhan mobile banking juga mengalami peningkatan sebesar 49%. Sedangkan pertumbuhan penggunaan uang kertas, menurutnya sangat kecil atau hanya berada di kisaran 6-9%.
"Kalau kita lihat dari transaksi penggunaan untuk mobile banking kita itu tumbuhnya sampai 49%. Sementara penggunaan uang kartal itu relatif kecil, hanya 6-9%. Jadi artinya, mayoritas insight dari masyarakat kita untuk digitalisasi itu makin baik. Dan penggunanya, dalam hal ini merchant-merchant UMKM itu juga mereka sudah banyak sekali yang menggunakan," tutur Destry akhir pekan lalu.
Dalam laporan tahunan BI 2021, disebutkan transaksi uang elektronik pada 2021 diperkirakan mencapai Rp 40.000 triliun atau akan naik 41,2% secara tahunan (year on year/yoy). Serta akan kembali tumbuh tinggi 16,3% (yoy) hingga mencapai Rp 337 triliun pada 2022.
Adapun transaksi e-commerce pada tahun ini diramal akan menembus Rp 403 triliun atau tumbuh 51,6% (yoy) dan akan terus meningkat pada 2022 hingga mencapai Rp 530 triliun atau tumbuh 31,4% (yoy).
Sejalan dengan perkembangan ekonomi digital, transaksi pembayaran digital banking pada 2021 juga diproyeksikan naik 46,1% (yoy) atau mencapai Rp 40.000 triliun dan berlanjut naik 21,8% hingga mencapai Rp 48.600 triliun pada 2022.
Dalam merespons kondisi global yang semakin cepat berubah, khususnya dalam sistem pembayaran. Ditambah maraknya masyarakat berinvestasi pada cryptocurrency, membuat BI menyepakati untuk segera menerbitkan rupiah digital atau Central Bank Digital Currency (CBDC).
"Kami juga nggak mau tinggal diam, kami percepat proses penerbitan rupiah digital, ini sedang kami siapkan. Insya Allah tahun depan bisa kami presentasikan konsep role desainnya, konsepnya sudah ada," ujar Perry.
Menurut Perry, ada prasyarat untuk mengoperasikan rupiah digital, yakni konsep atau desain, serta infrastruktur sistem pembayaran dan pasar yang yang harus saling tersambung.
"Ini sedang kami bangun Kenapa kami bangun BI-Fast, dan lain-lain, supaya RTGS ini menjadi tempat distribusinya," tuturnya.
Adapun kata Perry, BI juga belum menentukan platform teknologi apa yang akan dipilih untuk menerbitkan rupiah digital.
"Apakah blockchain, DLt, atau stable coin. Seluruh dunia sedang coba-coba, ini belum sepakat mana teknologi yang pas, ini kami koordinasi dengan tujuh bank sentral. Insya Allah kami sudah ada konsep desainnya," jelas Perry.