Banking View

Begini Kekuatan Jagoan-Jagoan Bank Digital RI

Tim Riset, CNBC Indonesia
09 April 2021 12:03
[DALAM] Nasib Digital Banking di Masa Depan
Bank Digital

Jakarta, CNBC Indonesia - Babak baru revolusi industri keuangan di Indonesia telah dimulai. Pemerintah bakal merilis aturan bank digital, di tengah bermunculannya bank-bank 'murni digital' yang secara radikal berbeda dari 'bank tradisional berlayanan online.'

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan menerbitkan aturan bank digital pada semester I-2021, untuk melengkapi regulasi lama yakni Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 12/POJK.03/2018 tentang Penyelenggaraan Layanan Perbankan Digital Oleh Bank Umum yakni internet banking, phone banking, SMS banking dan mobile banking.

Perkembangan positif tersebut sangat ditunggu pelaku industri, mengingat prospek industri keuangan di era digital ini sangat menjanjikan. Dalam riset yang dirilis pada 2019, Global Market Insight (GMI) memperkirakan pasar perbankan digital global bakal mencapai US$ 9 triliun (Rp 130 kuadriliun) pada 2024, melesat 28,6% dari US$ 7 triliun pada 2017.

Melihat arah zaman tersebut, OJK tentunya sadar bahwa aturan yang ada sudah tidak relevan untuk menjadi acuan operasi industri bank digital, karena hanya mengatur penyelenggaraan digital branch (cabang digital) di bank umum, dan tak spesifik mengenai bank digital murni yang kini bermunculan di Indonesia.



Mengutip Giacomo Buchi dkk, bank digital murni berbeda dari bank umum berlayanan digital. Dalam riset berjudul "New Banks in The 4th Industrial Revolution: A Review and Typology" (2019), dia mengklasifikasikan lima jenis bank digital yang kini marak di dunia.

Kelima bank tersebut dirunut dengan mengacu pada lima hal, di antaranya bisnis inti, pengalaman pasar, pendekatan yang dipakai, perizinan, dan aktor. Hasilnya, ada beta bank, neo bank, challengers bank, big tech's bank, dan retailers' bank.

Bank Digital 1Foto: Bank Digital


Ketika dunia keuangan digital mulai digarap di Indonesia pada 2013, sejauh ini yang banyak berusaha menggarap pasar tersebut dengan inovasi layanan keuangan berbasis digital adalah para startup crusaders.

Mereka menciptakan lembaga financial technology (fintech) yang didukung pemodal ventura (venture capital). GMI melaporkan nilai investasi fintech pada 2017 telah mencapai US$16,5 miliar dengan menguasai 87% pangsa pasar keuangan digital di dunia. Bank, di sisi lain, baru menggarap 13% dari sisa pangsa pasar tersebut.

Halaman Selanjutnya >> Dari Bank Berplatform Digital, ke Bank Murni Digital

Pada saat fintech bermunculan dan menjadi Challengers Bank di tahun 2013, bank yang ada belum berani "hijrah"menjadi bank murni digital, melainkan sebatas membangun layanan atau fitur berbasis platform digital. Digitalisasi dilakukan di level back-office (sistem straight through processing/STP) maupun front office (layanan nasabah).

Sampai saat ini, digitalisasi layanan perbankan di Indonesia masih berjalan dan dikembangkan. Sebagai contoh, Jenius (PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk/BTPN) pada 2016, digibank (PT Bank DBS Indonesia), dan Tyme Digital (PT Bank Commonwealth Indonesia).

Selanjutnya pada 2017, muncul Wokee (PT Bank Bukopin Tbk), diikuti Pinang (PT Bank Rakyat Indonesia Agroniaga BRI Agro) pada 2018 dan BriMo (PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BRI) pada 2018. Terbaru pada 2020 ada Nyala (PT OCBC NISP Indonesia) dan TMRW (PT UOB Indonesia).

Namun sejak 2019, pandangan pelaku industri perbankan dan investor mulai berubah dengan menggarap bank digital secara murni. Menurut analisis Tim Riset CNBC Indonesia, klasifikasi bank digital di Indonesia bermuara pada empat jenis bank, yakni beta bank, new bank, neo bank, dan challengers bank.

Bank Digital 2Foto: Bank Digital



Bank digital berkategori Beta Bank, yang dijalankan oleh pemain incumbent, diinisiasi oleh PT Bank Central Asia Tbk (BCA) yang mengakuisisi PT Bank Royal pada 2019 dan kemudian disulap menjadi PT Bank Digital BCA. BRI menyusul dengan berencana mengubah anak usahanya yakni BRI Agro.

Pada kurun waktu yang sama, New Bank juga muncul dari tangan dingin mantan bankir Jerry Ng. Bersama pendiri Northstar Group Patrick Walujo, mantan Direktur Utama BTPN ini mengakuisisi 51% saham PT Bank Artos Indonesia pada 2019, dan mengubahnya menjadi PT Bank Jago setelah penerbitan saham baru (right issue) Rp 1,34 triliun.

Meski bukan pemain petahana, tetapi posisinya tak bisa dipandang sebelah mata karena perseroan bersinergi dengan Decacorn Tanah Air, yakni Gojek melalui PT Dompet Karya Anak Bangsa (GoPay), yang mengakuisisi 22% saham perseroan senilai Rp 2,8 triliun.

Selain itu, ada PT Bank Harda Internasional Tbk yang diakuisisi oleh Mega Corpora, yang juga merupakan pengendali PT Bank Mega Tbk. Di bawah kendali konglomerat Chairul Tanjung, Bank Mega memiliki keunggulan unik sebagai bank berbasis ekosistem Trans Corp.

Untuk kategori Neo Bank, Indonesia memiliki PT Bank Yudha Bakti Tbk, yang dicaplok startup fintech Tanah Air yakni PT Akulaku Silvrr Indonesia pada 2019. Setahun kemudian, Akulaku menjadi pemegang saham pengendali dan mengubah nama perseroan menjadi PT Bank Neo Commerce Tbk.

Keberadaan perseroan juga tak bisa dipandang sebelah mata menyusul masuknya investor bertaraf global yakni Alipay, yang merupakan bagian dari raksasa keuangan digital asal Tiongkok, Ant Group Financial.

PT Bank Kesejahteraan Ekonomi (Bank BKE) menjadi Neo Bank terbaru, setelah pada Februari 2021 mengganti nama perusahaan menjadi PT Bank Seabank Indonesia (SeaBank) setelah resmi diakuisisi oleh Sea Group, induk perusahaan e-commerce Shopee.

Value di Balik Sosok Pendiri

Berdasarkan data perkembangan neobank di negara lain, digital bank yang mengadopsi teknologi mutakhir untuk melayani nasabah dengan pendekatan omnichannel, dan tertanam dalam ekosistem berpeluang besar menjadi market leader.

Dalam laporan berjudul "AI-Bank of The Future: Can Banks Meet The AI Challenge?" (September 2020), McKinsey menekankan bahwa untuk memenangi persaingan digital, bank harus menjadi institusi yang menjadikan AI sebagai pusat strategi dan operasi mereka (AI-first).

Artinya, AI harus menjadi dasar penciptaan nilai baru dalam jasa dan produknya, serta pengalaman unik bagi nasabahnya agar tak berpindah ke kompetitor. Misalnya, penggunaan scanning wajah untuk mengenali nasabah, analisis ekspresi mikro dengan petugas virtual, dan penggunaan biometrik virtual untuk otorisasi transaksi digital.

Di samping itu, bank digital yang bakal menjadi pemenang adalah entitas yang dikomandoi oleh tim berisikan digital crusader kenamaan, yang berkolaborasi dengan bankir senior dan investor dengan jam terbang tinggi dalam hal pendanaan. Mereka bisa kita temukan di bank murni digital penantang baru (non-incumbent), baik yang berupa New Bank maupun Neo Bank.

Jika dilihat dari komposisi tersebut, terlihat bahwa Bank Jago memiliki tiga pilar terpenting dalam pengembangan bank digital. Dari pilar expertise, ada Jerry Ng yang merupakan bankir kenamaan yang makan asam dan garam di dunia keuangan nasional selama 30 tahun. Dia telah teruji dan menjadi tokoh sentral dibalik transformasi digital Bank BTPN.

Tokoh sentral lainnya adalah Kharim Indra Gupta Siregar. Sebelum didapuk menjadi CEO Bank Jago, dia menjabat direktur IT BTPN yang membidani lahirnya produk inovatif, Jenius. Manajemen Jago juga diperkuat Peterjan Van Nieuwenhuizen, direktur bank digital. Peter telah melakukan banyak terobosan di sejumlah bank, termasuk menjadi arsitek Jenius.

Manajemen Bank Jago memiilki rekam jejak kuat yang terbukti di mampu mengubah BTPN menjadi bank digital yang disegani.

Dari pilar investor, ada GIC Private Ltd, Gojek, Jerry Ng dan Patrick Walujo. Mereka bukan hanya kuat dari permodalan, juga memiilki komitmen jangka panjang dalam berinvestasi.Terakhir dari pilar teknologi, ada tim Gojek yang memback up mereka untuk menciptakan bisnis model yang khas dan secara bersamaan menyediakan basis ekosistem bagi Bank Jago.

Ketika merancang Jago, Jerry Ng mengombinasikan bisnis model bank digital di berbagai negara. Ia belajar dari praktik bank digital di Eropa dan Amerika yang menonjolkan life style (transaction), dan di saat yang sama mencermati best practises bank digital di China dan Korea yang berorientasi pada ekosistem (lending).

Bank Jago adalah campuran keduanya dengan tetap memperhatikan kearifan lokal. Dengan melihat keunggulan-keunggulan tersebut, Bank Jago berpeluang menjadi penantang utama yang bakal berakhir sebagai jagoan dalam persaingan bank digital ke depannya.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular