
Epidemiolog UI Ungkap Kejanggalan Vaksin Nusantara Terawan

Jakarta, CNBC Indonesia - Vaksin Nusantara memiliki sejumlah kejanggalan. Epidemiolog UI, Pandu Riono menyebutkan vaksin nusantara bukan vaksin. Vaksin Nusantara ini digagas oleh mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dan menggunakan sel dendritik.
Dia mengatakan antigen yang dihasilkan haruslah spesifik. Sementara untuk vaksin harus bisa digunakan secara massal, mudah diberikan dan tidak bersifat individual.
"Bukan bersifat individual tapi harus mengenali virus-virus yang beredar di populasi yang menyebabkan penularan. Karena virusnya kan bermutasi. Itu diklaim kemudian kalau pakai dendritik akan bisa mengatasi semua virus, padahal waktu spesifik antigen-nya kan antigen virus tertentu juga," kata Pandu dalam Podcast Pandemic Talks dikutip Rabu (24/3/2021).
Dengan begitu sudah bisa dibantah karena tidak relevan untuk pandemi. Vaksin Nusantara juga pernah dikatakan untuk komorbid atau mengalami gangguan imun, namun menurut Pandu itu pun berbeda dengan kanker.
Pada penderita kanker, imunitas rendah dan perlu dirangsang. Namun menjadi masalah kalau pengobatan ini dilakukan pada orang sehat.
"Ini vaksinasi terhadap orang yang dianggap tidak sakit, tidak menderita penyakit itu. Menurut saya dibolak-balik diputer-puter untuk pembenaran bahwa prinsip terapi kanker dengan prinsip sel dendritik itu cukup logis bisa diterima secara akal sehat untuk vaksinasi. Padahal tidak logis tidak praktis dan tidak ada manfaatnya. Karena toh klaim tidak terbukti," jelas Pandu.
Dia pun membandingkan dengan vaksin Merah Putih, vaksin yang dibuat oleh sejumlah lembaga dan perguruan tinggi asal Indonesia. Menurutnya vaksin Merah Putih mengikuti jalur ilmiah paling benar dan memang prosesnya panjang.
Pandu juga mendukung independensi Badan POM (BPOM) dan menganggap otoritas obat itu memiliki SOP-nya. Menurutnya sebagai lembaga independen, BPOM tidak boleh dikontrol.
Vaksin Nusantara juga sempat bermasalah karena telah melakukan uji klinis I namun belum mengantongi ijin uji klinis II dari BPOM. Komisi IX DPR RI sempat mempertanyakan hal tersebut dan membandingkan Sinovac serta AstraZeneca yang disetujui namun tidak melakukan penelitian.
Menurutnya keduanya berbeda sebab vaksin tersebut adalah produk bukanlah riset. Untuk produk juga harus membahas menilai laporan dari penelitian.
"Kita membaca tingkat validitas laporan penelitian yang dilakukan oleh peneliti biasanya melakukan uji klinis III dengan melihat itu kita mempelajari fase II fase II. Mempelajari juga mungkin sudah ada negara yang pengalaman memulai lebih dulu penggunaan vaksin tadi. Kita baru sepakat atau memutuskan apakah ini bisa digunakan di Indonesia atau tidak," kata Pandu.
(roy/roy)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sempat Heboh, Ini Salah Kaprah Vaksin Nusantara versi Ahli UI
