Gojek Cs Kejar Profit, Era Bakar Uang Startup Segera Usai?

Roy Franedya, CNBC Indonesia
13 February 2020 15:55
Gojek Cs Kejar Profit, Era Bakar Uang Startup Segera Usai?
Foto: Gojek (dok Gojek)
Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah merugi bertahun-tahun, startup unicorn atau bervaluasi di atas US$ 1 miliar tanah air seperti Gojek, Tokopedia, Bukalapak kini mencoba menghasilkan profit. Apakah ini tanda era bakar startup bakar uang usai?

Sudah jadi rahasia umum banyak startup rela rugi bertahun-tahun demi mengejar pertumbuhan bisnis dan pangsa pasar. Mereka membakar duit investor yang dikumpulkan melalui diskon dan cashback hingga menggratiskan layanan kepada pengguna.


Namun kini startup besar di Indonesia mengambil langkah berbeda dengan mencoba mengejar profit. Tokopedia contohnya menargetkan tahun ini akan mencetak profit. Manajemen juga akan mendorong inovasi sebagai strategi bersaing ketimbang pakai bakar uang.

Gojek juga mengambil langkah yang sama. Merubah fokus menjadi perusahaan dengan bisnis berkelanjutan sudah mulai diusahakan sejak 2018.

"Dalam 3-4 bulan ini lagi hot-hotnya startup yang lagi berubah haluan supaya tidak cuma bakar uang. Ini tentunya bukan sesuatu yang baru buat kami. Sebenarnya effort kami membangun perusahaan yang long term sudah mulai dari 2018," kata Co-CEO Gojek Kevin Aluwi di Jakarta, Selasa (11/02/2020).

Ekonom INDEF Bhima Yudistira mengatakan perubahan strategi ini bisa diartikan investor startup sudah menuntut segera balik modal alias menghitung return on investment (ROI).

"Jadi startup dituntut secepat mungkin mencatatkan profit. Tentu banyak hal yang harus dilakukan, misalnya setop beri banyak diskon dan promo, efisiensi dan merubah bisnis model," jelas Bhima kepada CNBC Indonesia, Kamis (13/2/2020).

"Masalahnya ada beberapa startup yang sudah enjoy bakar uang, SDM-nya tidak disiapkan untuk make profit. Nah ini yang repot. Banyak yang gagap."

Bhima Yudistira juga menyoroti soal dampaknya kebijakan ini kepada konsumen di mana mereka berpotensi mengurangi pembelian karena terbiasa menerima cashback atau promo.

"Dalam era digital itu tidak ada yang namanya costumer loyalty. Ketika promo selesai, bisa saja jadi switch (pindah) ke yang lain atau rem belanja. Jeleknya promo buat konsumen enggan membayar lebih dari jasa yang sama," jelasnya.

[Gambas:Video CNBC]


Dulu tidak banyak investor yang rewel dengan aksi bakar uang startup. Strategi ini dinilai wajar untuk bisa dengan cepat menarik pengguna dan untuk menggambarkan prospek bisnis di masa depan.

Namun kondisi mulai berubah ketika dua startup andalan SoftBank, Uber Technologies (ride hailing) dan WeWork (co-working space) ingin mencatatkan saham di bursa saham AS. Kedua perusahaan ini mencatatkan kerugian yang besar karena aksi bakar uang dan subsidi pengguna. Investor pun mempertanyakan kemampuan startup untuk mencetak laba.


Akhirnya Uber yang berhasil IPO di bursa saham AS. Namun hingga kini investor malah rugi karena harga sahamnya masih berada di bawah harga IPO, yang menunjukkan investor ragu dengan fundamental perusahaan.

Sedangkan WeWork batal IPO. Padahal IPO menjadi jalan untuk menyelamatkan perusahaan dari kehabisan uang.

Mengutip Business Insider, Kamis (13/2/2020), menurut perhitungan Bernstein, startup yang dibikin Adam Neumann ini membakar US$2,8 miliar per tahun dan perusahaan akan berhenti beroperasi pada 2020 seandainya tidak lagi mendapatkan kucuran dana.

WeWork membutuhkan setidaknya USD 6 miliar agar dapat beroperasi dengan cashflow positif. Jika ada resesi ekonomi menghantam, angka tersebut bisa melonjak sampai USD 8 milia

Akhirnya SoftBank menyelamatkan perusahaan dengan menyuntikkan dana segar US$6,5 miliar ke WeWork. Bentuknya paket bailout US$5 miliar dan percepatan pencairan dana US$1,5 miliar ke WeWork.

SoftBank berencana melakukan tender offer saham SoftBank sebesar US$3 miliar untuk membeli saham milik pemegang saham eksisting dengan harga US$19,9 per saham. Pasca penyelamatan ini WeWork memiliki 80% saham WeWork.



Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular