
Elon Musk vs Jeff Bezos, Siapa yang Akan Kuasai Luar Angkasa?
Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
10 May 2019 16:56

Elon Musk mendirikan Space Exploration Technologies (SpaceX) pada tahun 2002, mengutip situs resminya. Misi SpaceX adalah untuk memungkinkan manusia hidup di luar angkasa dan menjadi spesies multi-planet dengan membangun kota mandiri di Mars.
Pada 2008, SpaceX's Falcon 1 menjadi kendaraan peluncuran bahan bakar cair pertama yang dikembangkan secara pribadi untuk mengorbit bumi.
Perusahaan roketnya ini menjadi perbincangan hangat di dunia saat mengemukakan ambisinya untuk meluncurkan kendaraan komersial pertama ke Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS).
SpaceX mencatatkan sejarah pada 2012 ketika berhasil mendaratkan satelit dan pesawat luar angkasa, Dragon, ke orbitnya. Kedua benda itu merupakan muatan dari roket Falcon 9, roket pertama di dunia yang bisa digunakan berulang-ulang.
Falcon 9, bersama dengan pesawat ruang angkasa Dragon, dirancang sejak awal untuk mengantarkan manusia ke ruang angkasa dan berdasarkan perjanjian dengan NASA, di mana SpaceX secara aktif bekerja mewujudkan tujuan ini.
SpaceX kembali meluncurkan Falcon 9 pada 21 Februari 2019 ke ruang angkasa, berisi tiga muatan campuran ke orbit, termasuk pesawat ruang angkasa Israel yang mewakili misi bulan pertama yang didanai swasta dan satelit telekomunikasi milik Indonesia, Nusantara Satu.
Muatan ketiga di atas Falcon 9 adalah pesawat ruang angkasa eksperimental kecil untuk Laboratorium Penelitian Angkatan Udara AS yang dinamai S5. Ini adalah misi ketiga yang berhasil dilakukan dengan menggunakan pendorong roket milik perusahaan.
Pada 12 April 2019, roket operasional terkuat di dunia milik SpaceX, Falcon Heavy, diluncurkan dalam misi komersial pertamanya.
Sejatinya, roket buatan perusahaan yang didirikan Elon Musk itu akan diluncurkan Rabu (10/4/2019) malam dari Kennedy Space Center di Orlando, Amerika Serikat (AS). Namun, peluncuran itu harus ditunda akibat tingginya perubahan angin yang tiba-tiba atau wind shear di atas atmosfer.
Roket itu berisi muatan yang penting berupa satelit komunikasi milik Arab Saudi, Arabsat-6A. Satelit itu akan membantu menayangkan tayangan televisi, internet, dan sinyal ponsel ke Tmur Tengah, Afrika, dan Eropa.
Sebelumnya pada Februari 2018, Falcon Heavy pernah diluncurkan dan menghebohkan dunia karena berhasil membawa mobil buatan Tesla tahun 2008, Roaster, menuju planet Mars. Pencapaiannya ini membuat SpaceX memperoleh penghargaan dari NASA dan Angkatan Udara AS.
Mengutip CNBC International, SpaceX memiliki valuasi lebih dari US$ 28 miliar, menjadikannya perusahaan swasta paling bernilai ketiga di dunia.
Dalam keterangannya Februari tahun lalu, CEO Elon Musk mengklaim roket Falcon Heavy yang dapat diperluas milik perusahaan akan menelan biaya hanya US$150 juta (Rp 2,1 triliun). Angka ini sekitar US$250 juta lebih murah daripada kompetitor terdekatnya, Delta IV Heavy milik ULA, joint venture dari Boeing dan Lockheed Martin.
Murahnya biaya yang ditawarkan startup decacorn ini ternyata disebabkan oleh strategi dan inovasinya yang membuat roketnya mampu kembali lagi ke Bumi setelah diluncurkan ke luar angkasa. Ini membuat roket tersebut bisa dipergunakan lagi untuk peluncuran selanjutnya.
“SpaceX percaya roket yang dapat digunakan kembali sepenuhnya dengan cepat adalah terobosan penting yang dibutuhkan untuk menurunkan biaya akses menuju luar angkasa dengan substansial,” tulis perusahaan dalam situs webnya, dilansir Jumat (22/2/2019).
“Sebagian besar biaya peluncuran muncul dari pembuatan roket yang terbang hanya sekali,” tambahnya.
Teranyar, melansir the Economist, pada 15 Mei perusahaan akan meluncurkan salah satu roket Falcon-nya dengan muatan puluhan satelit kecil dari desain SpaceX sendiri. Satelit kecil itu adalah prototipe untuk proyek yang disebut Starlink, yang bertujuan untuk menyebarkan ribuan satelit di orbit yang dekat dengan bumi untuk menyediakan akses internet di seluruh penjuru bumi, menyediakan konektivitas berkualitas tinggi.
Mengutip laporan Inverse, SpaceX juga sedang merancang Starship. Roket ini pertama kali diluncurkan dengan nama BFR pada September 2017, dirancang untuk menggantikan semua roket SpaceX yang ada, juga oksigen cair dan desain mesin metana. Dengan semua itu, manusia akan dapat menggunakannya untuk kembali dari Mars dan bahkan menjelajah lebih jauh ke luar angkasa.
Musk telah menyatakan tujuannya mendirikan sebuah kota di Mars pada tahun 2050, di mana akan didirikan depot propelan agar dapat mencapai ruang angkasa lebih jauh. Pada September 2018, ketika dia meluncurkan perjalanan mengelilingi bulan untuk tahun 2023, dia mengatakan bahwa “ada begitu banyak hal yang membuat orang sedih atau tertekan tentang masa depan, tetapi saya pikir menjadi peradaban penjelajahan ruang adalah salah satu hal yang membuat Anda bersemangat tentang masa depan."
BERLANJUT KE HALAMAN 3
(prm)
Pada 2008, SpaceX's Falcon 1 menjadi kendaraan peluncuran bahan bakar cair pertama yang dikembangkan secara pribadi untuk mengorbit bumi.
Perusahaan roketnya ini menjadi perbincangan hangat di dunia saat mengemukakan ambisinya untuk meluncurkan kendaraan komersial pertama ke Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS).
Falcon 9, bersama dengan pesawat ruang angkasa Dragon, dirancang sejak awal untuk mengantarkan manusia ke ruang angkasa dan berdasarkan perjanjian dengan NASA, di mana SpaceX secara aktif bekerja mewujudkan tujuan ini.
SpaceX kembali meluncurkan Falcon 9 pada 21 Februari 2019 ke ruang angkasa, berisi tiga muatan campuran ke orbit, termasuk pesawat ruang angkasa Israel yang mewakili misi bulan pertama yang didanai swasta dan satelit telekomunikasi milik Indonesia, Nusantara Satu.
Muatan ketiga di atas Falcon 9 adalah pesawat ruang angkasa eksperimental kecil untuk Laboratorium Penelitian Angkatan Udara AS yang dinamai S5. Ini adalah misi ketiga yang berhasil dilakukan dengan menggunakan pendorong roket milik perusahaan.
Pada 12 April 2019, roket operasional terkuat di dunia milik SpaceX, Falcon Heavy, diluncurkan dalam misi komersial pertamanya.
Sejatinya, roket buatan perusahaan yang didirikan Elon Musk itu akan diluncurkan Rabu (10/4/2019) malam dari Kennedy Space Center di Orlando, Amerika Serikat (AS). Namun, peluncuran itu harus ditunda akibat tingginya perubahan angin yang tiba-tiba atau wind shear di atas atmosfer.
![]() |
Roket itu berisi muatan yang penting berupa satelit komunikasi milik Arab Saudi, Arabsat-6A. Satelit itu akan membantu menayangkan tayangan televisi, internet, dan sinyal ponsel ke Tmur Tengah, Afrika, dan Eropa.
Sebelumnya pada Februari 2018, Falcon Heavy pernah diluncurkan dan menghebohkan dunia karena berhasil membawa mobil buatan Tesla tahun 2008, Roaster, menuju planet Mars. Pencapaiannya ini membuat SpaceX memperoleh penghargaan dari NASA dan Angkatan Udara AS.
Mengutip CNBC International, SpaceX memiliki valuasi lebih dari US$ 28 miliar, menjadikannya perusahaan swasta paling bernilai ketiga di dunia.
Dalam keterangannya Februari tahun lalu, CEO Elon Musk mengklaim roket Falcon Heavy yang dapat diperluas milik perusahaan akan menelan biaya hanya US$150 juta (Rp 2,1 triliun). Angka ini sekitar US$250 juta lebih murah daripada kompetitor terdekatnya, Delta IV Heavy milik ULA, joint venture dari Boeing dan Lockheed Martin.
Murahnya biaya yang ditawarkan startup decacorn ini ternyata disebabkan oleh strategi dan inovasinya yang membuat roketnya mampu kembali lagi ke Bumi setelah diluncurkan ke luar angkasa. Ini membuat roket tersebut bisa dipergunakan lagi untuk peluncuran selanjutnya.
![]() |
“SpaceX percaya roket yang dapat digunakan kembali sepenuhnya dengan cepat adalah terobosan penting yang dibutuhkan untuk menurunkan biaya akses menuju luar angkasa dengan substansial,” tulis perusahaan dalam situs webnya, dilansir Jumat (22/2/2019).
“Sebagian besar biaya peluncuran muncul dari pembuatan roket yang terbang hanya sekali,” tambahnya.
Teranyar, melansir the Economist, pada 15 Mei perusahaan akan meluncurkan salah satu roket Falcon-nya dengan muatan puluhan satelit kecil dari desain SpaceX sendiri. Satelit kecil itu adalah prototipe untuk proyek yang disebut Starlink, yang bertujuan untuk menyebarkan ribuan satelit di orbit yang dekat dengan bumi untuk menyediakan akses internet di seluruh penjuru bumi, menyediakan konektivitas berkualitas tinggi.
Mengutip laporan Inverse, SpaceX juga sedang merancang Starship. Roket ini pertama kali diluncurkan dengan nama BFR pada September 2017, dirancang untuk menggantikan semua roket SpaceX yang ada, juga oksigen cair dan desain mesin metana. Dengan semua itu, manusia akan dapat menggunakannya untuk kembali dari Mars dan bahkan menjelajah lebih jauh ke luar angkasa.
Musk telah menyatakan tujuannya mendirikan sebuah kota di Mars pada tahun 2050, di mana akan didirikan depot propelan agar dapat mencapai ruang angkasa lebih jauh. Pada September 2018, ketika dia meluncurkan perjalanan mengelilingi bulan untuk tahun 2023, dia mengatakan bahwa “ada begitu banyak hal yang membuat orang sedih atau tertekan tentang masa depan, tetapi saya pikir menjadi peradaban penjelajahan ruang adalah salah satu hal yang membuat Anda bersemangat tentang masa depan."
BERLANJUT KE HALAMAN 3
(prm)
Next Page
Blue Origin
Pages
Most Popular