
Fintech
Fintech: Dari Bunga Mencekik dan Teror Debt Collector
Gita Rossiana, CNBC Indonesia
24 August 2018 08:44

Jakarta, CNBC Indonesia - Hingga Juni 2018, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, sebanyak 63 perusahaan peer to peer lending (P2P) lending resmi terdaftar dan berizin. Namun di sisi lain, terdapat pula 227 perusahaan fintech ilegal.
Dari sisi keuangan, P2P lending berhasil membukukan peningkatan pembiayaan yang fantatis, yakni dari Rp 2,57 triliun pada Januari 2018 menjadi Rp 5,44 triliun pada Mei 2018. Rasio pembiayaan bermasalah (non performing loan/NPL) pun berada di angka 0,63%.
Dari sisi lender atau pemberi pinjaman, sampai Mei 2018 sudah mencapai 199,53 ribu orang. Sedangkan penerima pinjaman mencapai 1,85 juta orang.
Dengan peningkatan pembiayaan dan cakupan penerima pinjaman sebanyak 1,85 juta orang tersebut, industri fintech mengklaim sudah bisa menjadi bagian dari upaya peningkatan keuangan inklusif yang ditargetkan 75% pada 2019. Pasalnya, bank sebagai lembaga keuangan konvensional tidak bisa sendiri menjawab tantangan ini.
Namun demikian, di balik prestasi tersebut, sejumlah masalah terjadi di industri fintech baik yang sudah terdaftar di OJK bahkan oleh fintech ilegal. Hal ini terjadi mulai dari pengenaan bunga dan denda yang terlalu tinggi hingga sistem penagihan yang tidak manusiawi.
Fandi misalnya, dia hanya meminjam uang Rp 800 ribu dari aplikasi pinjaman online. Namun, ia terlambat membayar 8 hari sehingga ia dikenakan denda dan total pembayarannya mencapai Rp 3,23 juta.
Belum lagi, Risky Yuliani (26), ia sampai depresi karena diteror oleh debt collector aplikasi pinjaman online. Sampai-sampai semua kontak di telepon genggamnya dihubungi oleh debt collector.
Dalam hal ini, Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) menyepakati lima larangan yang tidak diperbolehkan dalam menagih pinjaman ke borrower. Ketua Bidang Pinjaman Cash Loan Aftech Sunu Widyatmoko menjelaskan, pihaknya juga meniadakan adanya praktik predatory lending agar nasabah bisa membayar tunggakannya.
Diharapkan, dengan adanya kode perilaku tidak ada lagi praktik di industri fintech yang di luar kewajaran. Pasalnya, apabila hal tersebut terjadi, siap-siap keanggotaan dari asosiasi akan dicabut.
(roy/roy) Next Article China Bersih-bersih Sektor P2P Lending, Banyak Fintech Tutup!
Dari sisi keuangan, P2P lending berhasil membukukan peningkatan pembiayaan yang fantatis, yakni dari Rp 2,57 triliun pada Januari 2018 menjadi Rp 5,44 triliun pada Mei 2018. Rasio pembiayaan bermasalah (non performing loan/NPL) pun berada di angka 0,63%.
Namun demikian, di balik prestasi tersebut, sejumlah masalah terjadi di industri fintech baik yang sudah terdaftar di OJK bahkan oleh fintech ilegal. Hal ini terjadi mulai dari pengenaan bunga dan denda yang terlalu tinggi hingga sistem penagihan yang tidak manusiawi.
Fandi misalnya, dia hanya meminjam uang Rp 800 ribu dari aplikasi pinjaman online. Namun, ia terlambat membayar 8 hari sehingga ia dikenakan denda dan total pembayarannya mencapai Rp 3,23 juta.
Belum lagi, Risky Yuliani (26), ia sampai depresi karena diteror oleh debt collector aplikasi pinjaman online. Sampai-sampai semua kontak di telepon genggamnya dihubungi oleh debt collector.
Dalam hal ini, Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) menyepakati lima larangan yang tidak diperbolehkan dalam menagih pinjaman ke borrower. Ketua Bidang Pinjaman Cash Loan Aftech Sunu Widyatmoko menjelaskan, pihaknya juga meniadakan adanya praktik predatory lending agar nasabah bisa membayar tunggakannya.
Diharapkan, dengan adanya kode perilaku tidak ada lagi praktik di industri fintech yang di luar kewajaran. Pasalnya, apabila hal tersebut terjadi, siap-siap keanggotaan dari asosiasi akan dicabut.
(roy/roy) Next Article China Bersih-bersih Sektor P2P Lending, Banyak Fintech Tutup!
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular