
Minuman Manis Kena Cukai, Ekonomi Jadi Pahit?

Jakarta, CNBC Indonesia- Rencana penerapan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) kembali menjadi sorotan. Setelah bertahun-tahun tertunda, wacana ini kini mendekati realisasi, dengan rencana penerapan pada 2026. Pemerintah menilai kebijakan ini penting untuk mengendalikan konsumsi gula masyarakat, sekaligus menambah sumber penerimaan negara.
Namun, di balik logika fiskal dan kesehatan publik itu, terselip perdebatan panjang mengenai dampaknya terhadap industri, petani, dan keseimbangan ekonomi hulu-hilir.
Dari sisi kesehatan, data yang dirilis Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) menunjukkan urgensi yang tak bisa diabaikan.
Sebanyak 68% rumah tangga Indonesia tercatat rutin mengonsumsi MBDK setidaknya sekali dalam seminggu, dengan rata-rata 29 liter per bulan per rumah tangga.
Tak heran bila angka obesitas nasional melonjak hampir tiga kali lipat dalam dua dekade terakhir, dan jumlah penderita diabetes dewasa mencapai 20,4 juta orang, menempatkan Indonesia di posisi kelima dunia menurut International Diabetes Federation (IDF, 2024).
CISDI memproyeksikan bahwa jika harga MBDK naik 20% akibat penerapan cukai, konsumsi minuman manis bisa turun hingga 18%, dan lebih dari 3 juta kasus diabetes tipe 2 dapat dicegah dalam satu dekade.
Secara ekonomi, langkah ini bisa menghemat lebih dari Rp40 triliun dalam biaya pengobatan penyakit tidak menular. Karena itulah, lembaga riset kesehatan ini menilai kebijakan cukai berbasis harga lebih efektif ketimbang sekadar imbauan konsumsi sehat.
Namun di sisi lain, kebijakan ini menimbulkan efek riak ke sektor industri dan rantai pasok hulu. Asosiasi produsen minuman menilai bahwa kenaikan harga 20% akan menekan margin keuntungan hingga 15-20%, memicu pengurangan produksi, dan berpotensi berdampak pada tenaga kerja sektor minuman ringan.
Kekhawatiran ini diperkuat dengan pandangan bahwa penurunan konsumsi bisa menular ke sektor penyedia bahan baku. Tapi data menunjukkan realitas yang berbeda.
Faktanya, industri minuman berpemanis di Indonesia sebagian besar tidak menggunakan gula dari petani lokal, melainkan gula kristal rafinasi (GKR) yang diproduksi dari raw sugar impor.
Berdasarkan laporan USDA Sugar Annual 2024, impor gula mentah Indonesia mencapai 4,7 juta ton, dan lebih dari 90% di antaranya diserap oleh industri makanan dan minuman, termasuk produsen MBDK. Gula dari petani lokal, yang berbentuk gula kristal putih (GKP), digunakan terutama untuk konsumsi rumah tangga. Artinya, ketika konsumsi MBDK menurun, petani tebu rakyat praktis tidak terdampak langsung, karena rantai pasok mereka tidak terhubung ke industri minuman kemasan.
Dengan demikian, meski cukai berpotensi mengubah pola konsumsi, dampaknya terhadap petani lokal nyaris nihil. Justru yang akan menanggung beban terbesar adalah sektor hilir-pabrikan minuman yang selama ini bergantung pada gula rafinasi impor.
Meski begitu, kebijakan ini bisa membuka peluang baru jika diiringi inovasi. Beberapa produsen telah mulai mengembangkan produk rendah gula berbasis pemanis alami lokal seperti gula kelapa, aren, stevia, hingga sirup jagung lokal, yang bisa menciptakan pasar baru bagi petani non-tebu di Jawa, Sulawesi, dan Kalimantan.
Antara Fiskal dan Efek Jangka Panjang
Dari sisi fiskal, peran cukai dalam struktur penerimaan negara tetap vital. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPB) per Desember 2024, realisasi penerimaan cukai mencapai Rp192,73 triliun, atau 78,3% dari target Rp246,08 triliun.
Sebagian besar masih disumbang oleh hasil tembakau (Rp184,34 triliun), disusul MMEA atau minuman mengandung etil alkohol (Rp8,13 triliun), sementara cukai plastik dan MBDK belum terealisasi. Dengan target baru pada 2025, pemerintah memproyeksikan total penerimaan cukai akan meningkat menjadi Rp244,2 triliun, di mana MBDK ditargetkan menyumbang sekitar Rp3,8 triliun, meski penerapannya diperkirakan baru efektif tahun berikutnya.
Secara makro, tambahan dari cukai MBDK memang relatif kecil dibanding kontribusi cukai rokok yang mencapai lebih dari Rp230 triliun per tahun. Namun, diversifikasi sumber penerimaan negara tetap penting, terutama di tengah tren perlambatan pendapatan dari sektor tembakau dan kebutuhan pembiayaan kesehatan yang terus meningkat.
Cukai MBDK memberi warna bahwa kebijakan fiskal tak melulu hanya soal uang, tapi juga soal kesehatan publik.
Meski demikian, implementasi kebijakan ini tak bisa terburu-buru. Tantangan regulasi, kesiapan industri, serta pengawasan produk impor masih menjadi titik rawan. Jika tidak hati-hati, cukai MBDK bisa menimbulkan efek domino seperti inflasi pangan atau pergeseran konsumsi ke produk ilegal atau tanpa label cukai. Karena itu, transparansi mekanisme pengenaan tarif dan pemanfaatan hasil cukai akan menjadi kunci agar kebijakan ini tak berhenti pada level simbolik.
Cukai MBDK berada di persimpangan antara idealisme kesehatan publik dan realitas ekonomi rakyat.
Ia bisa jadi "pajak manis" yang menyehatkan APBN dan masyarakat-atau justru "pahit" bagi petani dan pekerja industri.
Pada akhirnya, efektivitas kebijakan ini akan bergantung pada keberanian pemerintah menjaga keseimbangan antara kepentingan fiskal, sosial, dan kesehatan.
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)