
RI Hanya Jadi Penonton, Siapa Sebenarnya Raja Gula Dunia?

Jakarta, CNBC Indonesia- Gula sejak lama disebut sebagai "emas putih", karena posisinya yang strategis dalam ekonomi global. Dari dapur rumah tangga hingga industri makanan dan minuman, gula menjadi komoditas yang tak tergantikan.
Secara global, peta gula dunia memperlihatkan jurang antara negara produsen dan konsumen.
Melansir dari Voronoi, Brasil tetap menjadi raja produksi dengan 43,7 juta ton, jauh melampaui India yang "hanya" 28 juta ton. Namun India justru menjadi konsumen terbesar, mencapai 29,5 juta ton per tahun, diikuti Uni Eropa dan China.
Amerika Serikat pun menempati posisi penting dengan konsumsi 11 juta ton, meski produksinya hanya 8,4 juta ton.
Indonesia sendiri menempati posisi menarik yakni konsumsi gula nasional mencapai 7,6 juta ton, cukup besar bila dibandingkan kapasitas produksi domestik. Namun, tren konsumsi rumah tangga justru menunjukkan penurunan dalam 15 tahun terakhir.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa konsumsi per kapita gula pasir per minggu turun dari 1,654 ons pada 2007, menjadi hanya 1,03 ons pada 2024.
Menurunnya konsumsi ini bisa ditafsirkan dua arah. Pertama, sebagai hasil dari meningkatnya kesadaran kesehatan masyarakat yang mulai mengurangi asupan gula. Kedua, sebagai refleksi daya beli yang tertekan akibat harga gula yang kerap bergejolak di pasar domestik.
Sementara itu, di sisi produksi, Indonesia masih belum mampu mengejar kebutuhan. Menurut data BPS yang dikutip Kompas, produksi gula nasional dalam lima tahun terakhir hanya berkisar 2,1-2,4 juta ton. Angka ini jauh dari kebutuhan konsumsi domestik yang mencapai lebih dari 7 juta ton, sehingga defisit ditutup lewat impor.
Dengan kapasitas produksi yang stagnan, Indonesia konsisten menjadi importir gula terbesar kedua di dunia setelah China. Setiap tahun, impor RI tembus 5-6 juta ton, mayoritas untuk kebutuhan industri makanan dan minuman. Situasi ini menjadi ironi bagi negara agraris yang pernah berjaya sebagai eksportir gula di era kolonial.
Pemerintah sudah menargetkan swasembada gula pada 2028 melalui ekspansi lahan tebu, revitalisasi pabrik, hingga varietas tebu unggul. Namun, berbagai hambatan klasik seperti rendahnya produktivitas petani dan umur pabrik gula yang sudah tua membuat target ini seringkali terdengar lebih sebagai jargon daripada realitas.
Ke depan, tantangan bagi Indonesia bukan hanya memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri, tapi juga menata ulang tata niaga gula agar tidak sepenuhnya bergantung pada impor. Di sisi lain, tren global yang memperlihatkan jurang antara produksi dan konsumsi menjadi cermin bahwa "manisnya gula" selalu hadir bersama problematika serius yang harus dipecahkan.
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)
