
Harga Ethanol Global Meledak, Petani RI Malah Menangis

Jakarta, CNBC Indonesia- Harga ethanol di pasar global melesat. Namun, ironisnya harga tetes tebu atau molase di dalam negeri sedang memasuki fase terpuruk.
Harga ethanol naik menjadi US$1,95 per galon pada 29 Agustus 2025, meningkat 2,23% dibandingkan hari sebelumnya. Harga tersebut adalah yang tertinggi sejak Juli 2024 atau lebih dari setahun.
Harga etanol telah naik 13% sepanjang tahun ini. Lonjakan harga dipicu, terutama turunnya stok di Amerika Serikat (AS) hingga ke level terendah dalam delapan tahun.
![]() Harga ethanol |
Harga Tetes Tebu Lokal Jeblok
Tetes tebu merupakan bahan baku utama dalam pembuatan ethanol, khususnya di negara-negara produsen gula seperti Brasil, India, dan juga Indonesia.
Tetes tebu adalah produk samping (by-product) dari proses pembuatan gula. Kandungan gula yang masih tinggi (sukrosa, glukosa, fruktosa) membuatnya ideal untuk difermentasi menjadi ethanol.
Di tengah lonjakan harga ethanol dunia, harga tetes tebu lokal justru jeblok. Harga tetes tebu yang biasanya berada di kisaran Rp2.500-Rp3.000 per kg kini ambruk hanya sekitar Rp1.000 per kg.
Dampaknya besar bagi petani, setiap kuintal tebu menghasilkan rata-rata 3 kg tetes, sehingga penurunan harga Rp1.500-Rp2.000 per kg berarti hilangnya Rp4.500-Rp6.000 per kuintal tebu. Kondisi ini membuat pendapatan petani anjlok drastis, apalagi di tengah biaya produksi tebu yang terus naik.
Tak berhenti di situ, kelebihan stok tetes juga menimbulkan masalah lain. Tangki penampungan di pabrik gula sudah penuh, sementara tetes tak bisa sembarangan dipindahkan atau dibuang.
Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen bahkan mengingatkan potensi bahaya kimiawi. Jika disimpan terlalu lama, tetes bisa mengalami reaksi Maillard yang membuatnya panas, memadat, bahkan berisiko meledak. Situasi ini menambah urgensi penyerapan tetes oleh industri, baik sebagai bahan baku etanol maupun pakan ternak.
Harga Global, Stabil tapi Beragam
Berbeda dengan kondisi domestik, harga molase di pasar global justru relatif stabil cenderung naik meski dengan variasi antar negara.
Data kuartal II 2025 dari imarc mencatat harga molase di Amerika Serikat mencapai US$290 per metrik ton (MT), di Prancis US$270/MT, China US$230/MT, Jepang US$225/MT, sementara India yang punya stok berlimpah mencatat harga terendah yakni US$180/MT.
Tingkat harga tersebut mencerminkan dinamika masing-masing negara. Di AS, permintaan tinggi dari industri etanol dan pakan hewan menjaga harga tetap kuat, ditambah biaya logistik yang mahal.
Di sisi lain, India mampu menjaga harga rendah karena produksi tebu yang sangat besar diserap oleh program pencampuran etanol domestik. Jepang yang sangat bergantung pada impor justru menghadapi kerentanan dari fluktuasi kurs dolar dan ongkos freight internasional.
Ada beberapa faktor yang membentuk harga global molase. Pertama, fluktuasi panen gula baik tebu maupun bit, yang menentukan ketersediaan tetes. Kedua, permintaan biofuel yang terus tumbuh, terutama di India, Brasil, dan AS, sehingga menyedot pasokan untuk pencampuran etanol.
Ketiga, biaya energi dan transportasi yang langsung mempengaruhi ongkos produksi serta distribusi. Keempat, siklus musiman panen yang menciptakan volatilitas harga tahunan. Kelima, faktor kurs di negara pengimpor seperti Jepang, yang membuat harga landed cost molase sangat fluktuatif.
Ke depan, analis memperkirakan harga molase global akan berada di bawah tekanan naik moderat sepanjang 2025-2026. Pendorong utamanya adalah permintaan bioenergi dan fermentasi yang kian kuat, sementara sisi pasokan terbatas oleh faktor cuaca dan biaya produksi. Bahkan, proyeksi pasar menempatkan nilai industri molase dunia bisa mencapai US$18,1 miliar pada 2032, tumbuh dengan CAGR 4,3% pada periode 2025-2033.
Namun, potensi penyesuaian harga tetap ada seiring masuknya panen baru pertengahan tahun dan strategi stok oleh importir besar. Dengan kata lain, pasar dunia masih punya ruang fluktuasi, meski tren jangka menengah cenderung naik.
Ironisnya, di saat harga global masih bertahan relatif tinggi, Indonesia justru membiarkan tetes tebu menumpuk dan harga domestik ambruk. Ini menunjukkan lemahnya rantai penyerapan industri hilir di dalam negeri.
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)