
Harga Kakao Jadi Mainan Spekulan, Ambruk ke Level Terendah 1 Tahun

Jakarta,CNBC Indonesia- Harga kakao global tengah merosot tajam sejak akhir September 2025. Ambruknya harga kakao bisa berdampak buruk terhadap petani di Indonesia.
Berdasarkan data Refinitiv, harga kakao ditutup di posisi US$ 4.147 per ton pada Jumat (10/10/2025). Harga ini adalah yang terendah sejak 3 Oktober 2024 atau lebih dari setahun terakhir. Dalam sebulan, harga kakao juga sudah ambruk 12% lebih. Anjloknya harga ini menggambarkan tekanan besar di pasar global.
Laporan Vibiznews menyebut lonjakan pasokan di pelabuhan-pelabuhan utama Ghana sebagai pemicu utama. Negara produsen terbesar kedua dunia itu mencatat peningkatan stok yang signifikan, membuat pasar kebanjiran biji mentah.
Sementara itu, laporan pasar internasional yang dikutip CNBC International mengungkapkan bahwa bank-bank investasi besar mulai memperingatkan risiko "extreme sell-off" akibat aksi jual besar-besaran dari spekulan yang sebelumnya sudah meraup untung besar saat harga melonjak pada awal tahun.
Bagi Indonesia, dinamika ini membawa risiko nyata. Harga kakao yang terjun bebas dapat menekan pendapatan petani, terutama di sentra-sentra produksi seperti Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sumatera Barat.
Sebagian besar petani kakao Tanah Air belum memiliki sistem lindung nilai, sehingga perubahan harga global langsung memukul pendapatan mereka. Bila tren ini berlanjut, daya beli masyarakat di wilayah penghasil bisa menurun dan memperlambat perputaran ekonomi desa.
Penurunan harga juga dapat memengaruhi industri pengolahan kakao domestik. Meski harga bahan baku yang lebih rendah tampak menguntungkan, fluktuasi yang ekstrem justru menyulitkan pabrik dalam menetapkan harga kontrak dan menjaga kestabilan pasokan.
Ketika harga global tiba-tiba berbalik naik, biaya produksi berpotensi melonjak dan menekan margin keuntungan. Ketidakpastian seperti ini menjadi tantangan serius bagi sektor yang tengah berupaya memperkuat posisi di rantai pasok global.
Selain menekan sektor hulu, anjloknya harga kakao juga berpotensi melemahkan kinerja ekspor nasional. Indonesia masih mengekspor sebagian besar produknya dalam bentuk biji mentah, sehingga setiap penurunan harga internasional otomatis memangkas nilai ekspor dan penerimaan devisa. Dampaknya terasa langsung di daerah penghasil yang ekonominya bergantung pada komoditas primer.
Gejolak harga ini juga bisa menghambat upaya pembangunan berkelanjutan di sektor perkebunan. Perusahaan dan lembaga internasional yang menjalankan program sertifikasi, traceability, dan agroforestry mungkin menahan investasi baru ketika harga kakao jatuh. Akibatnya, target peningkatan produktivitas dan kualitas biji kakao nasional bisa tertunda, padahal aspek tersebut menjadi kunci agar Indonesia mampu bersaing di pasar global yang semakin selektif.
Secara global, tekanan harga kakao kali ini mencerminkan perubahan cepat dalam keseimbangan antara pasokan dan permintaan. Panen yang membaik di Pantai Gading dan Ghana meningkatkan suplai, sementara penggilingan di Eropa dan Asia melambat seiring inflasi yang menekan konsumsi cokelat.
Data pasar menunjukkan bahwa posisi spekulan kini berbalik arah dari net-long menjadi net-short, sehingga memperdalam koreksi harga dan memperbesar ketidakpastian di pasar berjangka.
Untuk menghadapi situasi ini, Indonesia perlu memperkuat ketahanan di level petani sekaligus mempercepat hilirisasi industri.
Pendampingan petani dalam manajemen risiko, diversifikasi pendapatan, serta penguatan koperasi dapat menjadi langkah awal untuk meredam dampak fluktuasi.
Di sisi lain, peningkatan kapasitas industri pengolahan di dalam negeri akan memperkecil ketergantungan pada harga biji mentah. Produk turunan seperti pasta, lemak, dan bubuk kakao bernilai tambah tinggi dapat menjadi penopang baru ketika harga bahan baku jatuh.
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)