Jakarta, CNBC Indonesia- Harga kakao dunia makin tertekan dan kini menjadi komoditas pertanian dengan koreksi terdalam sepanjang 2025.
Harga kakao pada Kamis (24/11/2025) di US$5.035,24 per ton, merosot 56,23% sepanjang tahun ini (year-to-date/YtD). Harga kakao dalam sebulan turun 18,55%, dan secara tahunan anjlok 42,26%.
Gambaran tekanan ini juga tercermin dari kontrak berjangka kakao (LCCc1) ditutup di US$3.782 per ton pada 21 November, jatuh dari US$4.109 sepekan sebelumnya dan dari US$4.358 pada 10 November. Dalam 10 hari perdagangan, harga susut lebih dari US$500 per ton.
Penyebab utama jatuhnya harga datang dari ekspektasi surplus suplai global, terutama setelah ekspektasi panen besar di Afrika Barat semakin menguat.
Petani di Pantai Gading dan Ghana dua produsen kakao terbesar dunia melaporkan kondisi tanaman jauh lebih baik dibanding musim sebelumnya. Kondisi cuaca yang lebih kering mempermudah proses pengeringan biji kakao, sementara perkembangan buah dinilai lebih cepat dan lebih merata.
Produsen cokelat Mondelez mencatat hitungan pod kakao di Afrika Barat 7% di atas rata-rata lima tahun dan secara material lebih tinggi dari panen tahun lalu. Optimisme panen ini mendorong pasar memperkirakan kelebihan suplai pada musim 2024/2025.
Proyeksi tersebut juga tercermin dalam laporan International Cocoa Organization (ICCO). Setelah defisit besar pada 2023/2024, ICCO kini memperkirakan pasar kakao berbalik surplus sebesar 142.000 ton pada 2024/2025.
Produksi global diperkirakan meningkat 7,8% secara tahunan menjadi 4,84 juta ton, perubahan dramatis yang membuat tekanan harga semakin sulit terhindarkan. Pasar bergerak mengantisipasi lonjakan suplai jauh sebelum panen mencapai puncaknya, sehingga pelemahan harga berlangsung agresif.
Arah pasar semakin menurun setelah Presiden Donald Trump pada 14 November mengeluarkan perintah eksekutif yang mencabut tarif 10% atas kakao, kopi, buah tropis, kacang dan sejumlah komoditas pertanian lainnya.
Pencabutan tarif tersebut berlaku secara retroaktif, memperlonggar hambatan perdagangan ke Amerika Serikat dan membuka ruang suplai tambahan ke pasar terbesar produk cokelat dunia.
Di saat yang sama, Uni Eropa juga menambah tekanan melalui langkah untuk menunda regulasi deforestasi (EUDR) selama satu tahun.
Penundaan tersebut memungkinkan negara-negara Eropa tetap mengimpor komoditas dari Afrika, Indonesia dan Amerika Selatan tanpa hambatan regulasi baru, sehingga kekhawatiran gangguan suplai yang sebelumnya menopang harga kini menghilang.
Di tengah tekanan dari sisi suplai, permintaan cokelat global juga melemah. CEO Hershey menyebut penjualan cokelat pada periode Halloween-musim yang menyumbang 18% dari penjualan permen tahunan di AS-lebih rendah dari perkiraan.
Data asosiasi industri juga menunjukkan penurunan aktivitas pengolahan kakao (grindings) di pasar utama. Penggilingan kakao di Asia pada kuartal III turun 17% secara tahunan dan menjadi yang terendah dalam sembilan tahun. Di Eropa, grindings turun 4,8% dan mencapai level terendah dalam satu dekade.
Amerika Utara mencatat pertumbuhan 3,2%, tetapi peningkatan ini dianggap bias karena adanya penambahan perusahaan pelapor. Di sisi ritel, volume penjualan cokelat di Amerika Utara dalam 13 minggu hingga 7 September turun lebih dari 21% dibanding periode yang sama tahun lalu.
Sempat terjadi pemulihan harga pada 25 November, dipicu aksi short covering setelah data menunjukkan jumlah kakao yang dikirim ke pelabuhan Pantai Gading sejak awal musim panen turun 3,7% dibanding tahun lalu dan inventori ICE di Amerika Serikat mencapai titik terendah dalam delapan setengah bulan. Nigeria juga memperkirakan produksi kakao 2025/2026 turun 11%. Meski demikian, kabar positif ini belum cukup kuat menandingi tekanan besar dari ekspektasi surplus global dan lemahnya permintaan.
Sejauh ini, pasar membaca penurunan harga kakao bukan sebagai sebagai penyesuaian terhadap struktur baru suplai dan permintaan global.
Surplus mulai terbentuk, hambatan dagang berkurang, dan minat konsumsi melemah. Jika tidak ada kejutan dari sisi panen atau demand, harga kakao masih berpotensi bergerak dalam tekanan hingga beberapa bulan ke depan.
Produksi Kakao RI Turun
Analis Ahli Madya Direktorat Strategi PNBP DJSEF, Nurlaidi menjelaskan, bahwa produksi hasil perkebunan kakao mengalami penurunan dari 721 ribu ton pada tahun 2020, menjadi 633 ribu ton pada 2024.
Setali tiga uang, dalam paparannya, Analis Ahli Madya Direktorat Strategi PNBP DJSEF, Nurlaidi menjelaskan, bahwa produksi hasil perkebunan kakao mengalami penurunan dari 721 ribu ton pada tahun 2020, menjadi 633 ribu ton pada 2024.
Dari sisi luas lahan, besarannya juga terus menurun dari 1,51 juta hektar pada 2020, menjadi 1,46 juta hektar pada 2021, dan terus turun menjadi 1,39 hektar pada 2024.
Padahal, industri kakao cukup strategis bagi perekonomian nasional. Terutama untuk penerimaan negara dari perpajakan. Kontribusi kakao kepada APBN pada 2024 bersumber dari sektor pajak mencapai Rp3,7 triliun dan bea keluar mencapai Rp240 miliar. Sedangkan, pada 2025, realisasi bea keluar periode Januari-September mencapai Rp150,7 miliar.
Belum lagi aspek strategis lainnya, seperti nilai tambah produk melalui pengolahan kakao menjadi cokelat dan produk turunan lainnya. Juga sebagai upaya mediversifikasi ekonomi, dan mengurangi ketergantungan komoditas ekspor pertanian seperti kelapa sawit.
Aspek lainnya, terang Nurlaidi adalah industri kakao bermanfaat untuk pembangunan daerah. Industri kakao sering kali terpusat di daerah pedesaan yang kurang berkembang.
"Peningkatan produksi dan pengolahan kakao dapat membantu mengangkat ekonomi daerah tersebut melalui pembangunan infrastruktur dan peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat," ujarnya.
Untuk itu, Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kementerian Keuangan telah menyiapkan dan akan fokus menjalankan program peremajaan perkebunan kakao. Pemerintah menargetkan peremajaan 5.000 hektare lahan tahun depan.
"Jadi prinsipnya target kami target nasional. Jadi permajaan yang diharapkan dari 1 juta sekian dari kakao, itu sifatnya target nasional. Nah kebetulan pusat-pusat kakao ini berbeda dengan pusat-pusatnya sawit. Nah, pusat-pusat kakao itu salah satunya ada di Jawa Timur, ada juga yang di Jogja, ada juga yang di Bali, kemudian sebagian dari Sulawesi bagian tengah," tutur Kepala Divisi Umum BPDP Kemenkeu, Adi Sucipto.
Dia menambahkan, bahwa target peremajaan 5.000 hektare pada 2026 ditetapkan berdasarkan kesediaan bibit. Selain itu, sambungnya, juga terkait dengan aturan main, di mana permentannya sampai dengan hari ini belum selesai.
"Nah yang kedua, ketika permentan itu ditetapkan, ada perlu yang namanya cap dirjen. bagaimana pola mainnya, per hektare itu mau dapet berapa? Apa yang kami bisa bantu?" tukasnya.
"Berapapun alokasi yang ditetapkan oleh Kementan, full support oleh BPDP. Contoh kemarin sawit sebelumnya kan 30 ribu hektare, kemudian diubah jadi 60 ribu hektare, kami pun akan support 60 ribu sepanjang itu sudah diputuskan," tandas Adi.
Selain melakukan Program Peremajaan Kakao Rakyat, BPDP juga telah menyiapkan program lain untuk meningkatkan produktivitas lahan dan hasil produksi perkebunan Kakao di Tanah Air.
BPDP menyiapkan program terkait sarana dan prasarana perkebunan yang dimaksudkan untuk peningkatan produksi, produktivitas, dan mutu hasil perkebunan.
Kemudian ada Program Pengembangan SDM seperti prorgam beasiswa D1, D3 Dan D4/S1. Juga dengan melengkapi dengan program pelatihan kepada para petani.
Lalu BPDP juga menyiapkan Program Penelitan dan Pengembangan untuk meningkatkan produktivitas atau efisiensi, aspek sustainability. Juga mendorong penciptaan produk atau pasar baru. Tidak ketinggalan juga dengan memerhatikan aspek sosial dan ekonomi.
Terakhir, Program Promosi Perkebunan juga disiapkan dalam upaya perluasan pasar. Hal ini dilakukan dengan menggelar kegiatan di dalam Dan luar negeri. Pun dengan melakukan kerja sama dengan pemangku kepentingan. Serta memberikan dukungan kepada UMKM.
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)