MARKET DATA

Satu per Satu Runtuh: Bendungan Raksasa Dunia Mandek Hasilkan Listrik

Emanuella Bungasmara Ega Tirta,  CNBC Indonesia
24 November 2025 14:50
Bendungan Three Gorges
Foto: Reuters

Jakarta, CNBC Indonesia- Tenaga air selama puluhan tahun dipuja sebagai tulang punggung energi bersih dunia.

Ia stabil, kapasitasnya besar, dan mampu menopang jaringan listrik skala nasional. Namun realitas terbaru mengkhawatirkan, pembangkit listrik tenaga air (PLTA) semakin tidak andal justru ketika permintaan listrik global melonjak.

Melansir dari The New York Times, di Brasil, fenomena tidak andalnya PLTA ini terlihat paling gamblang.

Bendungan Tucuruí, salah satu PLTA terbesar di dunia kini mengalami penurunan kinerja akibat kemarau panjang dan cuaca ekstrem. Kebocoran di dinding bendungan hingga keterbatasan pasokan air membuat produksi listrik terganggu, bahkan jauh di bawah kapasitas desainnya. Kondisi serupa mulai terjadi bukan hanya di satu wilayah, tetapi menyebar ke banyak negara.

Tahun lalu, produksi listrik tenaga air Brasil turun 3%. Brasil selama ini bergantung pada tenaga air untuk lebih dari setengah kebutuhan listrik nasional. Ketika output turun, tekanan pada sistem energi meningkat signifikan.

Bendungan tenaga air di Brasil beroperasi di bawah kapasitas historisnyaFoto: The New York Times
Bendungan tenaga air di Brasil beroperasi di bawah kapasitas historisnya

Masalah utamanya adalah perubahan iklim kekeringan berkepanjangan membuat debit sungai turun drastis, sedangkan banjir ekstrem merusak peralatan pembangkit. Dengan kata lain, apa pun kondisi cuacanya, PLTA semakin sering berada di posisi yang tidak ideal untuk menghasilkan listrik.

Tekanan ini juga terjadi di Kanada, China, hingga Amerika Serikat mengalami penurunan kinerja PLTA dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2023, produksi tenaga air global mencatat penurunan tahunan terbesar sejak 1965, setara dengan konsumsi listrik tahunan satu negara sebesar Chile atau Filipina.

PLTA Malea di Kabupaten Tana Toraja. (Dok. PLN)Foto: PLTA Malea di Kabupaten Tana Toraja. (Dok. PLN)
PLTA Malea di Kabupaten Tana Toraja. (Dok. PLN)

Krisis keandalan ini muncul bersamaan dengan meningkatnya kebutuhan listrik, terutama akibat industrialisasi, digitalisasi, dan elektrifikasi sektor transportasi. Pertanyaan besar pun muncul: apakah tenaga air masih bisa menjadi tulang punggung transisi energi?

Brazil mencoba menjawab dengan modernisasi jumbo. Pengelola Tucuruí, AXIA Energia, menggelontorkan US$ 270 juta untuk mengganti generator, trafo, hingga sistem otomasi agar pembangkit lebih efisien di tengah cuaca ekstrem. Modernisasi ini diharapkan menjaga umur teknis bendungan dan mengurangi risiko gangguan pasokan listrik nasional.

Strategi lain yang semakin menonjol adalah diversifikasi energi. Ketika produksi hydropower melambat, tenaga surya dan angin bangkit sebagai penyelamat. Pada Agustus, dua sumber energi tersebut untuk pertama kalinya menyumbang lebih dari sepertiga kebutuhan listrik Brasil. Solar bahkan melonjak sekitar 10 kali lipat hanya dalam empat tahun terakhir.

Meski banyak tantangan, minat membangun PLTA baru justru belum surut. Beberapa negara mendorong proyek bendungan jumbo demi meningkatkan kapasitas listrik sekaligus mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.

Air mengalir keluar dari pintu air di Bendungan Tiga Ngarai di Sungai Yangtze dekat Yichang di Provinsi Hubei, China tengah, Jumat, 17 Juli 2020. (Wang Gang/Xinhua via AP/File Foto)Foto: Air mengalir keluar dari pintu air di Bendungan Tiga Ngarai di Sungai Yangtze dekat Yichang di Provinsi Hubei, China tengah, Jumat, 17 Juli 2020. (AP/Wang Gang/File Foto)
Air mengalir keluar dari pintu air di Bendungan Tiga Ngarai di Sungai Yangtze dekat Yichang di Provinsi Hubei, China tengah, Jumat, 17 Juli 2020. (Wang Gang/Xinhua via AP/File Foto)

 

Contoh paling ekstrem adalah proyek bendungan raksasa China di Tibet yang dijadwalkan beroperasi pada 2030 diproyeksikan menjadi pembangkit terbesar di dunia. Namun proyek tersebut memunculkan kekhawatiran geopolitik dan lingkungan karena dampaknya terhadap India dan Bangladesh di hilir sungai.

Dari sisi lingkungan dan sosial, PLTA tetap menuai kritik klasik. Pembangunan bendungan mengubah ekosistem sungai, mengusik habitat satwa liar, hingga menyebabkan deforestasi.

Di Amazon, ribuan warga terdampak pembangunan Tucuruí dan Belo Monte, memicu penolakan dari komunitas lokal serta kelompok lingkungan. Para aktivis menilai pemerintah seharusnya berfokus pada revitalisasi bendungan lama ketimbang membuka lahan baru.

PLTA Malea di Kabupaten Tana Toraja. (Dok. PLN)Foto: PLTA Malea di Kabupaten Tana Toraja. (Dok. PLN)
PLTA Malea di Kabupaten Tana Toraja. (Dok. PLN)

Asosiasi industri hydropower mengakui masalah tersebut, namun menegaskan bahwa dunia masih membutuhkan teknologi ini untuk memenuhi kebutuhan listrik terutama bagi sekitar 600 juta orang yang belum memiliki akses listrik sama sekali.

Solusinya menurut mereka adalah dengan memastikan pembangunan dan pengoperasian yang lebih berkelanjutan, serta memanfaatkan inovasi seperti pumped-storage hydropower untuk penyimpanan energi.

Konklusinya hydropower tidak sedang kalah oleh surya atau angin, namun sedang memasuki fase penyesuaian besar.

Jika dulu air dianggap sumber energi paling stabil, kini pembangkit tenaga air harus bertransformasi untuk bertahan di era cuaca ekstrem. Modernisasi, desain bendungan yang lebih adaptif, dan integrasi dengan sumber energi lain.

CNBC Indonesia Research

(emb/emb)


Most Popular