
Kiamat Cokelat Berlanjut, RI Untung Apa Ikut Buntung?

Jakarta, CNBC Indonesia- Dunia tengah menghadapi ancaman "kiamat cokelat". Pasokan kakao global bisa menyusut sepertiga atau setara 1,5 juta ton dalam 15 tahun ke depan bila perubahan iklim dan penyakit tanaman tak ditangani.
Di Afrika Barat yang menyumbang 60% pasokan dunia, penyakit swollen shoot sudah menginfeksi hampir 12% area tanam di Pantai Gading. Dampaknya harga kakao sempat melonjak ke rekor US$12.000/ton pada 2024, sebelum terkoreksi sepertiga di 2025, namun tetap bertengger di level historis tinggi.
Volatilitas harga masih berlanjut. Menurut Refinitiv, kontrak kakao di ICE London pada 17 September 2025 ditutup di US$6.871/ton, turun tipis dari sehari sebelumnya. Sementara data Trading Economics menunjukkan harga masih di kisaran US$7.352/ton, terkoreksi 8,23% dalam sebulan terakhir.
Fluktuasi ini mencerminkan stok global terbatas, namun permintaan di Asia, Eropa, dan AS sempat melemah akibat harga terlalu tinggi, membuat pabrik penggilingan menekan konsumsi kakao dan mencari substitusi.
Indonesia, produsen kakao terbesar ketiga dunia setelah Pantai Gading dan Ghana, berada di persimpangan antara peluang dan ancaman.
Potensi produksinya besar, namun berbagai tantangan masih menggunung, pohon tua, produktivitas rendah, dan keterbatasan peremajaan kebun. Meski luas lahan mencapai jutaan hektar, kualitas biji kerap kalah saing di pasar internasional karena praktik budidaya yang belum modern.
Di sisi industri, per Agustus lalu, perusahaan cokelat global sudah mulai mengubah resep. Nestlé hingga Barry Callebaut menambah kacang dan minyak nabati sebagai substitusi, sementara alternatif kakao buatan laboratorium maupun hasil daur ulang bahan pangan mulai dipasarkan.
Kalau melihat peta besar pasar kakao, Indonesia sebenarnya berada di posisi strategis. Produksi nasional memang tidak sebesar Pantai Gading atau Ghana, tapi Indonesia tetap masuk tiga besar dunia. Artinya, saat pasokan global tertekan karena penyakit dan iklim, RI berpeluang mengisi celah pasar. Harga kakao yang masih di kisaran US$7.000-an per ton jelas bisa menjadi angin segar bagi petani.
Namun keuntungan itu tidak datang otomatis. Realitanya, produktivitas kebun kakao Indonesia masih rendah. Menurut laporan Kompas, banyak pohon sudah tua dan kualitas biji belum konsisten. Jika masalah struktural ini tak dibenahi, petani Indonesia hanya jadi penonton: harga global naik, tapi volume ekspor stagnan, sehingga potensi devisa hilang.
Di sisi lain, ancaman terbesar datang dari sisi permintaan. Banyak pabrik cokelat global mulai mengurangi penggunaan kakao murni dengan mengganti resep mulai dari menambahkan kacang, minyak nabati, hingga melirik kakao sintetis berbasis lab. Kalau tren substitusi ini kian masif, harga kakao mungkin bertahan tinggi, tapi volume pembelian bisa menurun. Bagi Indonesia, kondisi ini berarti margin sempit: untung di harga, buntung di volume.
Indonesia belum tentu untung penuh. Kenaikan harga memang peluang, tapi tanpa peningkatan produktivitas dan kualitas, serta tanpa diversifikasi industri hilir cokelat, keuntungan hanya akan terasa sesaat.
Jika tren substitusi ini berlanjut, permintaan terhadap kakao alam bisa tertekan, yang artinya peluang harga tinggi tidak serta-merta menjadi berkah bagi petani Indonesia.
CNBCÂ Indonesia Research
(emb/emb)