Newsletter

IHSG Menggila & Cetak Rekor Bersejarah, Rupiah Masih Bikin Takut

Elvan Widyatama, CNBC Indonesia
22 July 2025 06:20
Rupiah & IHSG Jeblok
Foto: Masih Dihantui Virus Corona, IHSG Merah. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
  • Pasar keuangan Indonesia ditutup beragam di mana IHSG menguat sementara rupiah melemah.
  • Wall Street ditutup beragam, Nasdag dan S&P menguat sementara Dow Jones melemah
  • Investor masih menanti arah kebijakan The Fed hingga perkembangan uang beredar periode Juni 2025.

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditutup beragam pada Senin (21/7/2025). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah, dan Surat Berharga Negara (SBN) terpantau semakin diburu investor.

Pasar keuangan domestik diproyeksikan masih akan dipengaruhi oleh sentimen baik dari luar negeri maupun dalam negeri pada Selasa (22/7/2025). Selengkapnya mengenai proyeksi bisa dibaca pada halaman 3 artikel ini.

IHSG pada penutupan perdagangan kemarin (21/7/2025), ditutup menguat 1,18% ke posisi 7.398,19. Hal ini menandakan penguatan IHSG selama 11 hari beturut-turut.

Penguatan selama 11 hari ini merupakan rekor bersejarah bagi bursa saham Indonesia.

Nilai transaksi indeks kemarin mencapai sekitar Rp16,24 triliun dengan melibatkan 31,25 miliar saham yang berpindah tangan sebanyak 1,95 juta kali. Sebanyak 327 saham menguat, 285 saham melemah, dan 192 saham stagnan.

Dari sisi investor asing, terpantau net sell sebesar Rp180,30 miliar di seluruh pasar.

Sebanyak delapan dari 11 sektor ditutup di zona hijau yang dipimpin oleh sektor teknologi yang melesat 8,40%, diikuti sektor properti 5,28% dan utilitas 1,85%.

Di sisi lain, sektor keuangan dan energi justru berada di zona pelemahan dengan penurunan masing-masing sebesar 0,14% dan 0,22%. 

Melihat dari sisi konstituen, saham konglomerat Toto Sugiri, PT DCI Indonesia Tbk (DCII) menjadi penyumbang kenaikan IHSG terbesar yakni sebanyak 47,35 poin, kemudian diikuti saham afiliasi Prajogo Pangestu, PT Barito Pacific Tbk (BRPT) dan PT Chandra Daya Investasi Tbk (CDIA) masing-masing menyumbang 8,07 poin dan 7,30 poin.

Sementara itu, saham banking big caps menempati sebagai laggard IHSG paling besar. PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) menyeret turun 5,25 poin, dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) 4,94 poin.

Beralih ke pasar mata uang, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terpantau ditutup pada posisi Rp16.305/US$ atau melemah 0,12%.

Rupiah masih dalam tren pelemahan. Dalam enam hari terakhir, rupiah hanya menguat sekali sementara sisanya ambruk.

Pelemahan rupiah hari ini di tengah pelaku pasar menanti pidato Ketua The Fed, Jerome Powell pada Selasa (22/7/2025), yang diharapkan memberi sinyal arah kebijakan moneter selanjutnya, terutama di tengah rencana penerapan tarif resiprokal.

Pidato ini diharapkan memberikan petunjuk baru bagi investor sebelum pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) pada 29-30 Juli 2025. Dengan proyeksi bahwa suku bunga akan dipertahankan di kisaran 4,25%-4,5%. Hal ini nampaknya menjadikan tekanan terhadap rupiah.

Dari dalam negeri, keputusan Bank Indonesia memangkas BI-Rate sebesar 25 basis poin menjadi 5,25% pada Juli 2025 ternyata memberi tekanan terhadap nilai tukar rupiah.

Hal ini tercermin dari capital outflow yang terjadi sepanjang 14-17 Juli 2025. Berdasarkan data Bank Indonesia, investor asing tercatat melakukan jual neto sebesar Rp10,49 triliun di pasar keuangan domestik. Penjualan paling besar terjadi di instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sebesar Rp8,95 triliun, disusul oleh pasar saham sebesar Rp1,91 triliun.

Adapun dari pasar obligasi Indonesia, pada perdagangan Senin (21/7/2025) imbal hasil SBN tenor 10 tahun terpantau turun 0,47% menjadi 6,520%.

Imbal hasil obligasi yang menguat menandakan bahwa para pelaku pasar sedang membuang surat berharga negara (SBN). Begitu pun sebaliknya, imbal hasil obligasi yang melemah menandakan bahwa para pelaku pasar sedang kembali mengumpulkan surat berharga negara (SBN).

Dari bursa Amerika Serikat, Wall Street ditutup beragam pada perdagangan Senin waktu AS atau Selasa dini hari waktu Indonesia.

Sebagian indeks menguat karena optimisme terhadap musim laporan keuangan mengalahkan kekhawatiran investor atas perkembangan terbaru dalam perdagangan internasional.

Indeks S&P naik 0,14% dan ditutup di level 6.305,60. Ini adalah pertama kalinya indeks tersebut mengakhiri sesi di atas ambang 6.300. Nasdaq Composite melonjak 0,38% ke rekor penutupan di 20.974,17.

Kedua indeks mencetak rekor intraday tertinggi sepanjang masa di awal sesi, didorong oleh penguatan saham teknologi besar seperti Meta Platforms dan Amazon. Sementara itu, Dow Jones Industrial Average turun tipis 19,12 poin atau 0,04%, dan ditutup di level 44.323,07.

Kenaikan ini terjadi seiring awal musim laporan keuangan kuartal kedua yang menunjukkan hasil kuat. Saham Verizon melonjak 4% setelah membukukan laba kuartal kedua yang melampaui ekspektasi, memicu optimisme bahwa laporan keuangan perusahaan lain juga akan solid.

Data dari FactSet menunjukkan sebanyak 62 perusahaan dalam S&P 500 telah melaporkan kinerjanya, dan lebih dari 85% di antaranya berhasil melampaui ekspektasi.

Menurut Bank of America, sejauh ini laba kuartal kedua diperkirakan tumbuh 5% dibanding tahun lalu setelah minggu pertama laporan dirilis.

Alphabet menjadi sorotan dalam sesi perdagangan, naik lebih dari 2% menjelang rilis laporan keuangannya pada Rabu setelah penutupan pasar. Saham Alphabet dan Tesla yang menjadi perusahaan pertama dari kelompok "Magnificent Seven" yang akan melaporkan kinerja berpotensi mendorong rata-rata indeks utama jika mampu mengalahkan perkiraan. Saham Tesla sendiri ditutup sedikit melemah.

Perusahaan-perusahaan megacap (berkapitalisasi pasar sangat besar) diperkirakan menjadi pendorong utama pertumbuhan laba selama musim laporan keuangan kuartal kedua ini.

John Butters dari FactSet memperkirakan kelompok "Magnificent Seven" akan mencatat pertumbuhan laba 14%, jauh lebih tinggi dibandingkan 493 perusahaan lainnya dalam S&P 500 yang diperkirakan hanya tumbuh 3,4%.

Kepercayaan terhadap musim laporan keuangan ini menjadi fokus utama para investor, meskipun Gedung Putih kembali menegaskan sikapnya terhadap tarif akhir pekan lalu.

Pada Minggu, Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick menyebut 1 Agustus sebagai batas waktu keras bagi negara-negara lain untuk mulai membayar tarif, meskipun ia juga menambahkan bahwa tidak ada yang menghentikan negara-negara untuk tetap berdiskusi dengan kami setelah 1 Agustus.

"Jarang orang terluka saat jatuh dari jendela basement. Karena ekspektasi terhadap musim laporan keuangan begitu rendah, saya pikir hasil akhirnya akan lebih baik dari yang diperkirakan. Ini memberikan dorongan positif bagi pasar." ujar Sam Stovall, kepala strategi investasi di CFRA Research, kepada CNBC International.

Secara lebih luas, Stovall juga menekankan bahwa pasar sedang bertindak seperti biasanya, mengungkapkan bahwa pasar cenderung naik rata-rata sekitar 10% lagi setelah berhasil pulih dari penurunan sebesar 20%.

Dengan demikian, ia memperkirakan S&P 500 bisa mencapai 6.600 sebelum masuk ke fase penurunan baru, yang berarti ada potensi kenaikan sekitar 4,7% dari level penutupan hari Senin.

"Banyak sentimen negatif biasanya telah hilang dari pasar selama masa koreksi seperti ini, dan sekarang kita mulai melihat artikel-artikel yang menyatakan bahwa kondisi ekonomi mungkin tidak seburuk yang kita bayangkan sebelumnya, kepercayaan konsumen mulai membaik, dan angka inflasi tidak terlalu terpengaruh oleh tarif impor," lanjut Stovall.

Dia menambahkan mungkin hanya tinggal menunggu waktu sampai semua faktor ini berdampak nyata. Menurutnya, pasar menunjukkan sinyal ingin naik lebih tinggi.

Pasar keuangan Indonesia hari ini akan dipengaruhi oleh sejumlah sentimen penting, mulai dari rilis data uang beredar Juni 2025 oleh Bank Indonesia yang akan memberikan gambaran arah konsumsi dan kredit, hingga sikap Bank Sentral China yang mempertahankan suku bunga di tengah sinyal perlambatan ekonomi.

Hasil negoisasi tarif pemerintah dengan Amerika juga menjadi penggerak sentimen hari ini. 

IHSG yang sudah menguat dalam 11 hari beruntun tentu menjadi kabar menggembirakan tetapi pasar keuangan Indonesia masih menunggu kebangkitan rupiah.

Berikut rincian beberapa sentimen yang akan mempengaruhi gerak IHSG - Rupiah hari ini :

IHSG Rekor

IHSG menutup perdagangan kemarin dengan menguat 1,8%. Dengan demikian IHSG sudahh mengaut selama 11 hari beruntun dengan penguatan menembus 7,8%.

Merujuk data Refinitiv, rekor 11 hari beruntun belum pernah tercatat setidaknya sejak 1999 atau Era Reformasi.
Beberapa kali IHSG memang mengaut secara beruntun tetapi selalu terpotong pada hari ke-10 atau ke-19.


Dalam rentang waktu Oktober 2019 hingga perdagangan Senin kemarin, IHSG juga pernah mengalami rally-rally panjang. Namun, rally panjang hanya berlangsung delapan hari hingga 10 hari. IHSG sempat mencatatkan kenaikan 10 hari beruntun pada 11-24 Oktober 2019 tetapi kemudian melemah.



Menanti Perkembangan Uang Beredar Juni 2025

Bank Indonesia pada hari ini akan mengumumkan data uang beredar periode Juni 2025. Data ini akan menjadi cerminan seberapa kuat konsumsi, kredit, dan dana pihak pada Juni.

Sebagai catatan, uang beredar (M2) pada Mei 2025 tumbuh sebesar 4,9% (yoy), pertumbuhan uang beredar lebih lambat dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 5,2% (yoy) sehingga tercatat Rp9.406,0 triliun. Perkembangan tersebut didorong oleh pertumbuhan uang beredar sempit (M1) sebesar 6,3% (yoy) dan uang kuasi sebesar 1,5% (yoy).

Perkembangan M2pada Mei 2025 terutama dipengaruhi oleh perkembangan penyaluran kredit dan tagihan bersih kepada Pemerintah Pusat (Pempus). Penyaluran kredit pada Mei 2025 tumbuh sebesar 8,1% (yoy), setelah pada bulan sebelumnya tumbuh sebesar 8,5% (yoy).

Hasil Suku Bunga China

Pada kemarin Senin (21/7/2025), China memutuskan untuk mempertahankan suku bunga pinjaman acuannya, di tengah lesunya sentimen konsumen dan perlambatan ekonomi.

Bank Rakyat China (PBoC) mempertahankan suku bunga pinjaman pokok (LPR) tenor 1 tahun di level 3,0%, dan LPR tenor 5 tahun di 3,5%.

LPR sendiri merupakan suku bunga referensi yang biasanya diberikan kepada nasabah prioritas perbankan. Angka LPR ini ditentukan dari rata-rata usulan suku bunga oleh puluhan bank komersial terpilih kepada bank sentral.

LPR 1 tahun digunakan sebagai acuan kredit korporasi dan sebagian besar pinjaman rumah tangga, sedangkan LPR 5 tahun digunakan sebagai patokan suku bunga KPR (kredit properti).

Keputusan ini muncul setelah data PDB kuartal II menunjukkan pertumbuhan sebesar 5,2% (yoy), melambat dari kuartal sebelumnya yang tumbuh 5,4%, namun masih sedikit lebih tinggi dari ekspektasi pasar sebesar 5,1% menurut survei Reuters.

Sementara itu, penjualan ritel di Juni hanya tumbuh 4,8% (yoy), melambat dari bulan Mei yang tumbuh 6,4%, dan juga lebih rendah dari estimasi analis sebesar 5,4%.

Menurut Frederic Neumann, Kepala Ekonom Asia di HSBC, tidak ada urgensi besar bagi PBoC untuk memangkas suku bunga saat ini karena pertumbuhan ekonomi masih di atas target.

"Selain itu, karena suku bunga sudah cukup rendah, pelonggaran moneter tambahan mungkin tidak akan terlalu efektif mendorong permintaan dibandingkan stimulus fiskal," kata Neumann kepada CNBC International.

Neumann juga menambahkan bahwa PBoC tampaknya masih ingin menyimpan amunisi kebijakan dan baru akan memangkas suku bunga jika dampak tarif AS terhadap ekspor Tiongkok semakin terasa.

Meski begitu, Neumann menyebut bank sentral tetap bisa melonggarkan kebijakan jika tekanan disinflasi terus berlangsung dan suku bunga riil masih relatif tinggi.

Analis dari Nomura dalam riset pada 9 Juli 2025, memperingatkan bahwa meskipun data ekonomi saat ini masih bertahan, fundamental ekonomi China bisa memburuk signifikan di paruh kedua tahun ini.

Mereka memperkirakan permintaan akan melemah di banyak sektor, harga aset bisa kembali tertekan, dan suku bunga pasar berpotensi melandai lebih jauh.

Dengan kondisi tersebut, para analis memperkirakan pemerintah Beijing kemungkinan besar akan segera meluncurkan gelombang stimulus baru di semester II.

Nomura bahkan menyebut Tiongkok menghadapi risiko "jurang permintaan" akibat penurunan ekspor karena tarif AS dan kelesuan penjualan di sektor properti.

"Di tengah tekanan tersebut, situasi fiskal di banyak kota bisa semakin memburuk. Kami memperkirakan pertumbuhan PDB akan turun ke 4,0% (yoy) di semester II dari sekitar 5,1% di semester I," ujar Nomura.

Menanti Pidato Powell

Ketua The Federal Reserve, Jerome Powell dijadwalkan akan berpidato malam ini dalam acara European Central Bank Forum on Central Banking2025 di Sintra, Portugal pada hari ini. Pelaku pasar menantikan pernyataan Powell sebagai petunjuk arah kebijakan moneter ke depan, khususnya dalam merespons dinamika baru seperti kebijakan tarif resiprokal yang mulai diberlakukan.

Fokus utama pasar adalah pada kemungkinan perubahan suku bunga acuan menjelang pertemuan FOMC berikutnya yang akan digelar pada 29-30 Juli 2025. Berdasarkan proyeksi dari perangkat FedWatch, The Fed diperkirakan masih akan mempertahankan suku bunga di kisaran 4,25%-4,5% pada bulan ini.

The Fed diperkirakan akan menurunkan suku bunga sebanyak dua kali lagi di sisa tahun ini, masing-masing 25 basis poin pada pertemuan September dan Desember. Dengan begitu, suku bunga acuan AS diproyeksikan berada di kisaran 3,75%-4% pada akhir 2025.

Penandatanganan I-EU CEPA dan Tarif AS Dorong Daya Saing Produk RI

Indonesia membuka pekan ini dengan dua capaian besar dalam sektor perdagangan internasional, yakni tercapainya kesepakatan tarif dengan Amerika Serikat (AS) dan penandatanganan perjanjian dagang Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (I-EU CEPA).

Dalam hal tarif, Indonesia dikenakan bea masuk sebesar 19% ke AS. Ini dinilai relatif unggul dibanding negara lain yang memiliki surplus perdagangan signifikan terhadap AS. Produk serupa dari Indonesia pun tetap kompetitif, sehingga ekspor ke AS berpeluang meningkat.

Sementara itu, I-EU CEPA memungkinkan 80% produk Indonesia bebas tarif masuk ke pasar Uni Eropa, membuka peluang diversifikasi tujuan ekspor yang penting di tengah kondisi global yang dinamis.

"Dengan adanya diversifikasi, ketergantungan pada salah satu pasar menjadi berkurang, sehingga memperkuat ketahanan pangsa ekspor Indonesia apabila terjadi gejolak di pasar terkait," kata Arfian Prasetya Aji, Ekonom KISI Asset Management.

Kemudahan akses pasar ini juga dinilai akan menarik minat investor untuk menjadikan Indonesia sebagai basis produksi barang ekspor ke AS maupun Uni Eropa.

Prabowo Resmikan 80.081 Koperasi Merah Putih di Seluruh Desa & Kelurahan

Presiden Prabowo Subianto meresmikan 80.081 unit Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih dalam acara yang digelar di Desa Bentangan, Jawa Tengah, kemarin Senin (21/7/2025). Acara ini bertepatan dengan peringatan Hari Koperasi Nasional ke-78 dan disebut menjadi tonggak baru dalam penguatan ekonomi kerakyatan.

Menteri Perdagangan sekaligus Ketua Satgas Koperasi Merah Putih, Zulkifli Hasan (Zulhas), menjelaskan bahwa koperasi ini dibentuk sebagai upaya negara untuk memperkuat ekonomi desa, memperpendek rantai distribusi hasil pertanian, serta memberantas praktik tengkulak dan rentenir yang merugikan petani.

Koperasi Merah Putih dirancang sebagai lembaga ekonomi rakyat yang memperkuat ekosistem pertanian berkelanjutan, serta menjadi perpanjangan tangan pemerintah dalam menghadapi tekanan ekonomi global. Model bisnis koperasi ini akan difokuskan pada penguatan usaha riil dan pemberdayaan petani, nelayan, serta pelaku ekonomi desa melalui prinsip gotong royong.

Untuk memastikan keberhasilan implementasi, Presiden Prabowo membentuk Satgas khusus yang tersebar dari pusat hingga daerah. Satgas ini bertugas mendampingi masyarakat desa dalam mendirikan dan mengoperasikan koperasi secara aktif, dengan memanfaatkan aset lokal seperti balai desa dan gedung sekolah yang tidak terpakai.

Zulhas mengungkapkan bahwa hingga saat ini sudah ada 108 koperasi percontohan yang siap beroperasi. Dalam waktu tiga bulan ke depan, seluruh koperasi ditargetkan sudah aktif di masing-masing desa dan kelurahan. Ia optimistis bahwa koperasi ini akan menjadi motor penggerak ekonomi desa dalam 3-4 tahun ke depan.

Gerakan koperasi ini, kata Zulhas, bukan hanya konsep di atas kertas. Ia menegaskan bahwa prosesnya sudah berjalan dan melibatkan satu juta pengelola koperasi di seluruh Indonesia yang siap mendampingi masyarakat desa membangun ekonomi dari bawah.

Hasil Negosiasi Dagang

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menyelenggarakan sosialisasi terkait kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat kepada para pelaku usaha, kementerian/lembaga, hingga Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) kemarin, Senin (21/7/2025).
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menjelaskan bahwa tarif yang diberlakukan sebesar 19% sudah final. Kendati demikian, tarif tersebut akan diberlakukan setelah pengumuman kesepakatan bersama antara RI dan AS.

Indonesia masih akan menggunakan tarif dasar 10% ditambah dengan tarif Most Favoured Nation (MFN) yang besarannya tergantung oleh masing-masing negara dan komoditas.

Airlangga pun membandingkan tarif tersebut dengan tarif yang dikenakan kepada negara pesaing di kawasan. Menurutnya, angka 19 % justru lebih rendah dibandingkan tarif yang diberlakukan untuk negara-negara Asia Tenggara lainnya, seperti Vietnam dan Filipina (20%), Malaysia dan Brunei (25%), serta Kamboja dan Thailand (36%).

Sementara itu, pesaing utama Indonesia di sektor tekstil seperti Bangladesh (35%), Sri Lanka (30%), Pakistan (29%), dan India (27%) juga dikenakan tarif lebih tinggi.

Terkait tarif impor dari AS ke RI yang dikenakan sebesar 0%, Airlangga menjelaskan bahwa hal tersebut bukanlah yang pertama. Ia menjelaskan di semua kerjasama Free Trade Agreement (FTA) dan Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) juga 0.

Sebagai contoh, bersama dengan ASEAN Trade In Good Agreement, lebih dari 90% barang yang diimpor ke Indonesia juga dikenakan tarif 0%. Selain itu, bersama dengan Selandia Baru dan Jepang dalam Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement atau IJEPA

Pemerintah menyatakan bahwa tarif impor sebesar 19% yang ditetapkan oleh Pemerintah AS merupakan angka yang final. Artinya tidak ada lagi negosiasi yang dilakukan antar kedua negara.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menjelaskan bahwa angka 19% itu adalah perjanjian dari negosiasi tingkat tinggi antara Presiden Indonesia Prabowo Subianto dan Presiden Amerika Donald Trump.

Airlangga menjelaskan bahwa hingga terjadi pengumuman kesepakatan bersama antara RI dan AS, Indonesia akan menggunakan tarif dasar 10% ditambah dengan tarif Most Favoured Nation (MFN) yang tergantung oleh masing-masing negara dan komoditas.

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  •  Perkembangan uang beredar Bank Indonesia periode Juni 2025
  •  Pidato ketua the Fed Jerome Powell
  • Inflasi Harga Produsen (PPI) Korea Selatan untuk periode Juni 2025
  • Presiden Republik Indonesia berkenan untuk melakukan peluncuran Tema dan Logo Hari Ulang tahun (HUT) ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 2025 bertempat di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat.

  • Kunjungan kerja Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) ke Apartemen Meikarta, Kabupaten Bekasi, Provinsi Jawa Barat.

  • Menteri Perdagangan akan menyaksikan kegiatan penandatanganan MoU antara GP Ansor dengan PT Indomaret Group di kantor Pimpinan Pusat GP Ansor, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat.

  • Kegiatan peluncuran Taxpayers' Charter oleh Dirjen Pajak yang diselenggarakan di Aula CBB KPDJP, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

  • Webinar Gaza Terkini: Gencatan Senjata, Krisis Kemanusiaan dan Solidaritas Global. Narasumber antara lain Ketua Departemen Hubungan Internasional Universitas Indonesia.

  • FPCI akan mengadakan sebuah press briefing tentang Indonesia Net Zero Summit 2025 di Amalgam Coffee Brewery, Jakarta Pusat.

 

Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:

         RUPS SDMU dan BUVA

-          Pembayaran Dividen SIMP dan ICBP

Berikut untuk indikator ekonomi RI : 

CNBC INDONESIA RESEARCH 

Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular