CNBC Indonesia Research

Bursa Karbon: China Paling Ambisius, Eropa Kenyang Pengalaman

Aulia Mutiara, CNBC Indonesia
25 September 2023 08:20
INFOGRAFIS, Operasional Bank Mandiri Bebas Emisi di 2030
Foto: Infografis/ Operasional Bank Mandiri Bebas Emisi di 2030/ Edward Ricardo
  • Komitmen mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim terus di sorot dunia.
  • Salah satu komitmen mengurangi GRK ini diwujudkan dalam pajak karbon dan bursa karbon.
  • Apa itu pajak karbon? Negara mana yang sudah menerapkan hal ini dan bagaimana skema di negara lain?

Jakarta, CNCB Indonesia - Komitmen mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim terus di sorot dunia. Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations melalui United Nations Framework Conventions of Climate Change telah menyeragamkan aksi dari seluruh negara di dunia dengan membuat sebuah perjanjian untuk menekan produksi emisi karbon.

Secara umum, kebijakan transisi energi menuju pemanfaatan energi bersih yang lebih luas didorong oleh concern global terhadap isu perubahan iklim. Penggunaan energi fosil yang berlebih selama telah mendorong peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) jauh melebihi batas aman yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim.

Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations melalui United Nations Framework Conventions of Climate Change telah menyeragamkan aksi dari seluruh negara di dunia dengan membuat sebuah perjanjian untuk menekan produksi emisi karbon. Perjanjian ini ditanda-tangani oleh 195 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), termasuk Indonesia, di Kota Paris, Prancis pada tanggal 23 April Tahun 2016 lalu.

Perjanjian inilah yang kemudian dikenal dengan istilah Paris Agreement. Perjanjian ini meminta agar setiap negara anggota PBB untuk mengurangi produksi emisi gas rumah kaca.

Kebijakan net zero emission ini banyak dicanangkan berbagai negara saat ini merupakan salah satu wujud kebijakan yang dilakukan untuk mencapai target penurunan laju emisi tersebut. Terkait dengan net zero emission, bagaimana kebijakan negara-negara di dunia?

Dengan komitmen bersama mengurangi GRK ini maka salah satunya dengan penerapan pajak karbon dan bursa karbon. Negara-negara di dunia juga bisa memilih caranya masing-masing untuk mengurangi emisi. Indonesia mau mencontoh yang mana?

Menyorot China dengan Bursa Karbonnya

Perjalanan China membangun bursa karbonnya tentu tidak mudah, negeri tirai bambu ini terus melakukan evaluasi dan perubahan. Kalau dilihat ke belakang, pada Desember 2017, pemerintah China merilis Rencana Pembangunan Pasar Perdagangan Emisi Karbon Nasional (Industri Pembangkit Listrik), yang memulai sistem perdagangan emisi karbon nasional.

Kemudian, negara penghasil emisi terbesar di dunia ini telah meluncurkan sistem perdagangan emisi terbesar di dunia, yang akan memainkan peran penting dalam mencapai puncak dan mengurangi emisi karbon Tiongkok.

PLTU ChinaFoto: Reuters
PLTU China

China secara resmi meluncurkan uji coba perdagangan karbon di tujuh provinsi dan kota pada tahun 2013. China tampak tidak melakukan ini dengan setengah-setengah. Sistem perdagangan emisi nasional (ETS), yang diluncurkan pada 16 Juli 2021, sejauh ini hanya mencakup satu sektor: pembangkit listrik.

Namun, 2.162 perusahaan yang termasuk di dalamnya menghasilkan sekitar 4,5 miliar ton emisi CO2 setiap tahunnya. Bandingkan dengan batas emisi EU ETS pada tahun 2021 sebesar 1,6 miliar ton CO2.

ETS merupakan bagian dari rencana Cina untuk menggunakan "mekanisme pasar" dalam mencapai puncak emisi karbonnya pada 2030 yang sejalan dan target emisi karbon nol bersih pada 2060 yang dijanjikan Presiden Xi Jingping.

Tujuan utama ETS Tiongkok adalah untuk menutupi sebagian besar emisi yang terkait dengan energi dan memberikan dukungan yang hemat biaya dan berbasis pasar terhadap target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) yang merupakan bagian integral dari rencana Tiongkok untuk mencapai puncak emisinya pada tahun 2030 dan menjadi upaya iklim. netral pada tahun 2060.

Sistem ini yang merupakan kelanjutan dari sejumlah uji coba regional yang dilakukan sejak tahun 2013 dirancang untuk memberikan insentif kepada dunia usaha, investor, dan pelaku pasar lainnya agar berkontribusi terhadap dekarbonisasi dan transisi energi ramah lingkungan di Tiongkok.

Pada November 2021, volume perdagangan karbon di Cina sukses melampaui tonggak 1 miliar yuan atau sekitar Rp 2,2 triliun sejak diluncurkan pada pertengahan Juli 2021 atau hanya sekitar empat bulan. Perdagangan karbon di Negeri Panda dilakukan dengan skema carbon emission trading scheme (ETS).

Kementerian Ekologi dan Lingkungan Cina menjelaskan bahwa skema perdagangan karbon tersebut berjalan dengan mulus dan tertib. Volume karbon yang diperdagangkan pun terus meningkat seiring tenggat pertama pengendalian emisi yang semakin dekat.

"Sejak ETS diterapkan pada 16 Juli, volume perdagangan kumulatif telah mencapai 1,044 miliar yuan," tulis keterangan Kementerian Ekologi dan Lingkungan Cina yang dikutip dari Reuters.

Pada 2030, Cina akan mengurangi emisi karbonnya sebesar 65% dari level 2005. Selain dengan mekanisme perdagangan karbon juga dengan meningkatkan kapasitas terpasang pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT), khususnya angin dan surya, menjadi lebih dari 1.200 gigawatt (GW). Kemudian pangsa bahan bakar non-fosil dalam konsumsi energi primernya bakal mencapai 25% pada 2030. Namun angka ini naik dari komitmen sebelumnya yang hanya 20%.

Upaya Cina lainnya dalam menekan emisi karbon juga dilakukan dengan menghentikan dukungan pendanaan terhadap proyek yang terkait dengan batu bara di luar negeri, khususnya Asia. Menurut laporan Global Energy Monitor (GEM), ini membuat 66% proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Asia yang telah direncanakan atau berada dalam pipeline, dalam tahap pra konstruksi atau belum financial closing, batal.

Swedia dan Finlandia dengan Pajak Karbon

Pajak karbon adalah pajak yang dikenakan atas setiap emisi karbon yang mampu memberikan dampak buruk bagi lingkungan hidup. Emisi karbon yang dimaksud dalam pengertian ini adalah gas karbon dioksida, gas metana, dan gas yang rumah kaca lainnya.

Pajak karbon umumnya akan dikenakan atas setiap kegiatan ekonomi yang menghasilkan emisi karbon, baik kegiatan produksi maupun kegiatan konsumsi. Dari sisi produksi, pajak karbon akan dikenakan terhadap pabrikan yang menghasilkan emisi karbon dalam proses manufaktur, sedangkan dari sisi konsumsi, pajak karbon akan dikenakan atas penggunaan barang/jasa yang menghasilkan emisi karbon.

Tax Foundation (2020) juga menjelaskan bahwa pengenaan pajak karbon ini ditujukan untuk mengurangi emisi karbon yang dapat membuat perubahan iklim global semakin memburuk.

Berdasarkan penelitian Anderson dan Ekins serta penelitian Ekins dan Speck dalam tulisannya tahun 2011 menjelaskan bahwa penerapan pajak karbon dapat menurunkan emisi karbon dan sekaligus dapat meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara jika tarif pajak lingkungan yang diterapkan sudah tepat. Hal serupa juga dikemukakan oleh Lee et.al (2012).

Pajak karbon yang diterapkan di Jepang dinilai tidak akan memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap penurunan emisi karbon sekaligus terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Jepang karena tarif pajak karbon yang diterapkan cukup rendah.

Pajak karbon bukanlah pajak yang baru. Sebelum Indonesia telah banyak negara-negara lain yang telah mengenakan pajak karbon. Finlandia adalah negara pertama di dunia yang mengenakan pajak karbon, tepatnya sejak tahun 1990 dan kemudian diikuti oleh 16 negara Eropa lainnya. Lantas negara mana saja yang sudah menerapkan kebijakan ini?

Mekanisme dan Pajak Karbon di Swedia

Kita ambil salah satu contohnya yakni Swedia, Seperti halnya yang telah disebutkan dalam subbab sebelumnya, bahwa Swedia adalah negara dengan tarif pajak karbon tertinggi di dunia. Pada tahun 1991, Swedia mulai menerapkan pajak karbon dengan tarif US$ 26 per ton CO₂ ekuivalen, atau setara dengan Rp390.000 per ton CO2 ekuivalen dengan asumsi kurs Rp15.000.

Tarif ini terus mengalami peningkatan seiring berjalannya waktu. Berdasarkan data yang diperoleh dari Tax Foundation. diketahui bahwa Swedia mengenakan tarif pajak karbon sebesar US$137 per ton CO₂ ekuivalen.

Dibandingkan dengan seluruh negara di dunia yang telah menerapkan pajak karbon, Swedia memang memiliki tarif tertinggi. Sebagai sesama negara maju, Swedia bahkan memiliki tarif pajak karbon hampir 2 (dua) kali lipat lebih tinggi dibanding Finlandia, yang juga merupakan negara tetangganya, yang hanya menetapkan tarif pajak karbon sebesar €62 atau setara dengan US$73,02.

Regulasi terkait penerapan pajak karbon di Swedia ini sudah mengalami perubahan berkali-kali dalam 30 tahun penerapannya. Pada awal penerapannya di tahun 1991, Swedia menetapkan tarif pajak karbon sebesar US$26 per ton CO₂ ekuivalen. Tarif ini kemudian mengalami peningkatan drastis sejak tahun 2000 hingga tahun 2004.

Dimana pada tahun 2000, pemerintah Swedia menaikkan tarif pajak karbon dari US$26 menjadi US32 per ton CO₂ ekuivalen dan pada tahun 2004 kembali dinaikkan menjadi US$95 per ton CO₂ ekuivalen. Peningkatan tarif ini kemudian terus dilakukan secara perlahan-lahan hingga pada tahun 2021 mencapai angka US$137 per ton CO₂ ekuivalen.

Adapun, penerapan pajak karbon dilakukan selaras dengan reformasi perpajakan yang dilakukan oleh Pemerintah Swedia. Pada tahun 1991, Swedia melakukan reformasi perpajakan yang disebut dengan grön skatteväxling atau "green tax-switch".

Salah satu tujuan dalam reformasi perpajakan ini adalah untuk membentuk sebuah ketentuan pemajakan baru yang berbasis lingkungan guna mengatasi permasalahan lingkungan yang memang sudah mulai diperhatikan sejak tahun 1988. Salah satu hasil dari reformasi perpajakan ini adalah munculnya pajak baru, yakni pajak karbon yang diterapkan di Swedia.

Pemerintah Swedia mengenakan pajak karbon atas bahan bakar fosil yang digunakan untuk transportasi dan tujuan pemanasan (heating purposes). Bahan bakar fosil yang dimaksud ini termasuk bensin, batu bara dan minyak diesel.

Meskipun demikian, sejak penerapannya di tahun 1991, Swedia telah mengecualikan banyak sektor dari pengenaan pajak karbon. Pengecualian ini dilakukan sebagai langkah untuk mempertahankan kondisi perekonomian Swedia.

Adapun beberapa contoh sektor yang dikecualikan dari pengenaan pajak karbon adalah sektor industri, sektor pertambangan, sektor pertanian, dan sektor perhutanan. Akan tetapi, meskipun Swedia tidak menerapkan pajak karbon atas sektor ini, Pemerintah Swedia tetap mewajibkan sektor-sektor ini untuk membayar atas emisi yang dihasilkan yaitu dengan skema perdagangan karbon atau dikenal dengan European Union Emission Trading Scheme (EU ETS).

Europan Union Emission Trading Scheme atau EU ETS adalah skema perdagangan emisi karbon yang dibentuk dan diperuntukkan untuk negara-negara Eropa. Perlu diketahui bahwa harga atau tarif karbon dalam EU ETS ini sangat kecil jika dibanding dengan tarif pajak karbon di Swedia. Hal ini membuat Pemerintah Swedia membuat sektor-sektor yang strategis seperti industri, pertanian, perhutanan dan pertambangan untuk dikenakan EU ETS dan bukan pajak karbon.

Dalam pengenaan pajak karbon ini, Swedia menetapkan 3 (tiga) Subjek pajak, yakni Importir, distributor, dan konsumen besar (large consumer). Hal ini karena Swedia tidak memiliki produsen atas bahan bakar fosil di negaranya sehingga pengenaan pajak karbon dilakukan pada tingkat importir, distributor, dan konsumen dengan jumlah besar.

Misalnya, dalam hal importir mengimpor bahan bakar gas dari negara lain untuk dijual kepada Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum di Swedia maka pajak karbon akan dikenakan terhadap importir tersebut.

Meskipun demikian, beban pajak karbon yang dibayar oleh importir atau distributor ini biasanya akan dibebankan atau dialihkan sebagian atau seluruhnya kepada rantai berikutnya. Importir atau distributor akan membebankan biaya pajak karbon sebagai komponen biaya sehingga akan membuat harga bahan bakar menjadi meningkat.

Tingginya tarif pajak karbon yang diterapkan menghasilkan penerimaan pajak karbon yang sangat tinggi pula bagi Swedia.

Berdasarkan data penerimaan pajak dari OECD (2019), diketahui bahwa per tahun 2019, Swedia berhasil mengumpulkan penerimaan pajak karbon sebesar US$2,3 miliar atau setara dengan 32,7 triliun rupiah. Seluruh penerimaan dari pajak karbon ini akan masuk seluruhnya sebagai penerimaan pemerintah pusat dan tanpa dialokasikan ke hal-hal tertentu.

Mekanisme dan Pajak Karbon di Finlandia

Setahun lebih cepat dibanding Swedia, Finlandia telah menerapkan pajak karbon sejak tahun 1990. Seperti yang telah dijelaskan pada subbab sebelumnya, hal ini sekaligus menjadikan Finlandia sebagai negara pertama di dunia yang mengenakan pajak karbon.

Finlandia menerapkan tarif sebesar €1,12 atau setara dengan US$1,20 per ton CO₂ ekuivalen. Tarif ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan tarif yang diterapkan oleh Swedia pada tahun 1991, yakni sebesar US$26 per ton CO₂ ekuivalen.

Meskipun terdapat perbedaan tarif yang sangat signifikan, Pemerintah Finlandia terus melakukan perubahan dan pembaharuan kebijakan serta secara perlahan meningkatkan tarif pajak karbon disana, hingga per tahun 2021 tarif pajak karbon di Finlandia menyentuh angka €62 atau setara dengan US$73,02 per ton CO₂ ekuivalen.

Pada saat diterapkan di tahun 1990, pajak karbon Finlandia ini dikenakan tidak hanya berdasarkan pada emisi karbon yang dihasilkan dari sebuah produk, melainkan dasar pengenaan pajaknya adalah berdasarkan emisi karbon yang dihasilkan dan komponen atau besaran energi yang dihasilkan bahan bakar tersebut, dengan perbandingan 60:40.

Fenomena ini menunjukkan bahwa awalnya Finlandia ingin mencoba mengenakan pajak, baik atas emisi dan sekaligus atas energi, melalui satu mekanisme yakni pajak karbon. Meskipun demikian, ketentuan terkait pajak karbon di Finlandia ini telah mengalami perubahan yang signifikan dalam 30 tahun terakhir.

Berdasarkan laporan dari website Kementerian Lingkungan Finlandia yang dikutip dari Khastar et.al (2020), diketahui bahwa ketentuan pajak karbon ini telah mengalami perubahan yang signifikan pada tahun 1997 dan pada tahun 2011. Pada tahun 1997, Pemerintah Finlandia melakukan amandemen atas ketentuan terkait pajak karbon yakni dengan meningkatkan tarif pajak karbon secara signifikan.

Kemudian untuk amandemen yang dilakukan pada tahun 2011, Pemerintah Finlandia secara resmi telah memisahkan antara pajak karbon dengan pajak energi sehingga kini basis pengenaan pajak karbon di Finlandia 100% didasarkan atas emisi karbon yang dihasilkan atas penggunaan bahan bakar tersebut dan tanpa mempertimbangkan besaran energi yang dihasilkan.

Dengan kebijakan yang dirancang, Pemerintah Finlandia terbukti berhasil dalam menekan emisi karbon. Bavbek (2016) menyebutkan bahwa sejak tahun 1990 hingga tahun 1998, Finlandia telah berhasil menekan emisi karbon sebesar 7% dari total emisi yang dihasilkan.

Keberhasilan dalam menekan emisi ini tidak hanya terjadi sejak 1990 hingga 1998. Emisi karbon dari Finlandia selama 30 tahun terakhir terus mengalami penurunan (The World Bank, 2018). Sejak tahun 2000 hingga akhir tahun 2018, emisi karbon Finlandia telah mengalami penurunan yang sangat signifikan yakni sebesar 19,49%. Angka ini juga tidak jauh berbeda dengan negara tetangganya, Swedia, yang mengalami penurunan emisi karbon sebesar 27% sejak penerapannya di tahun 1991.

Meskipun demikian, harus disadari bahwa mengenakan pajak karbon juga akan memberi dampak yang negatif terhadap perekonomian. Dimana pengenaan pajak karbon akan membuat harga dari barang yang mengandung karbon dan jasa terkait akan mengalami kenaikan.

Tapi kalau tidak ikut diterapkan Indonesia bisa tertinggal. Mengapa demikian?

Penerapan pajak karbon yang kini sedang direncanakan secara global dipastikan akan berpengaruh kepada persaingan produk Indonesia.

Artinya, apa jadinya negara-negara kalau ketinggalan dalam mengurangi emisinya. Akibatnya industri yang menggunakan energi fosil akan terkena pajak. Itu akan menyebabkan tidak kompetitifnya produksi kita di pasar internasional.

Perlu diketahui tantangan penerapan bursa karbon ini sangat berat. Untuk Indonesia, bursa karbon ini adalah permulaan dari langkah besar. Maka dari itu, peningkatan kapabilitas, memperdalam pemahaman para pemangku kebijakan dan pemangku kepentingan (stakeholder) terhadap regulasi serta mekanisme perdagangan karbon menjadi keharusan yang harus dilakukan.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(aum/aum)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation